Berbeda dengan ibadah haji sebelumnya, ibadah haji tahun 2022 ini dirayakan dengan penuh suka cita. Hal ini karena umat Islam dari seluruh belahan dunia, termasuk dari Indonesia, bisa kembali melaksanakan ibadah tahunan ke Makkah sebagai rukun Islam yang kelima itu, setelah dua tahun sebelumnya tak dimungkinkan akibat covid 19. Namun, ada banyak sisi persamaan dengan tahun-tahun sebelumnya, seperti fenomena banyaknya jamaah haji yang sesungguhnya tidak kaya, bahkan termasuk kaum dhu’afa. Di antaranya adalah dua pasangan suami istri yang hanya berjualan mainan di pinggir jalan yang bisa berhaji. Bahkan, ada satu orang di tahun 2018 dan satu lagi di 2019 yang bekerja sebagai pemulung. Setelah menabung sekitar 25 tahun, mereka bisa berangkat haji.
Runtuhnya Tesis Marxis
Hajinya bagi kalangan yang secara ekonomi tidak kaya di atas, agaknya meruntuhkan tesis kaum Marxis. Tesis itu menyebut agama adalah keluh kesah masyarakat miskin yang tertindas. Agama adalah “candu masyarakat” yang hanya memberi penenang sementara, semu, tidak mampu menghilangkan kondisi-kondisi yang menimbulkan penderitaan/kemiskinan.
Ungkapan Marx yang sarkastik itu berawal dari pandangannya bahwa faktor ekonomi merupakan basis utama yang paling menentukan kehidupan manusia. Agama sebagaimana faktor lainnya seperti politik ditentukan oleh faktor ekonomi. Baginya juga, ada empat fungsi agama yang membuatnya sebagai candu: (1) melalui elitnya (Gereja), agama, telah menjadi alat justifikasi transendental bagi terpeliharanya hak-hak istimewa mereka yang membuat sistem ekonomi kapitalistik nan eksploitatif tidak mendapat protes. (2) Penekanannya pada dunia transenden (non material) dan harapan akan hidup setelah mati membantu mengalihkan perhatian kaum proletar dari kesulitan material selama hidup di dunia ke kehidupan akhirat. (3) Kemiskinan diubah oleh agama menjadi kebajikan, sementara kekayaan harta material dipandang sebagai kemiskinan rohani. Kemiskinan dipandang mempunyai nilai rohani yang positif, jika ditanggung dengan sabar, bahkan, memperbesar kesempatan untuk masuk surga. (4) Kemiskinan dan penderitaan hidup dianggap sebagai takdir Tuhan yang harus diterima dengan pasrah.
Haji berbeda dengan tesis Marx di atas yang reduksionis (mereduksi keanekaan ungkapan sosial manusia pada bidang ekonomi saja). Dari sudut pandang haji, dalam analisis Marx kebutuhan transendental manusia sebagai makhluk theomorfis (homo religius) menjadi luput. Haji dalam hal ini sebanding dengan apa yang diungkap Henri-Louis Bergson, filosuf kenamaan Prancis (1859-1941): “…agama tak dapat menghilang dari kehidupan manusia. Bisa jadi, dahulu atau masa kini, kita menemukan masyarakat yang tidak mengenal ilmu pengetahuan atau seni atau filsafat, tetapi tidak ada masyarakat yang tanpa agama.” Wajar, haji menjadi dambaan setiap kaum Muslimin, bahkan yang kaya sekalipun. Jika tidak dibatasi oleh banyak hal, mereka yang sudah haji pun ingin naik haji kembali hingga berkali-kali.
Satu hal yang tidak terbaca oleh Marx, yaitu faktor kekuasaan sebagai fenomena yang tidak hilang, dalam haji diakui. Kini, istithâ’ah (mampu berhaji), pengertiannya menjadi luas, termasuk di dalamnya ada kuota haji dan penentuan penyelenggaraan haji oleh Pemerintah Saudi, seperti tampak dari tiadanya haji selama dua tahun yang lalu. Paspor dan visa juga memperlihatkan eksistensi kekuasaan dua pemerintah, asal negara para haji dan Pemerintah Saudi. Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran negara yang berkuasa dalam haji sangat dirasakan.
Dari haji, tampak juga ajaran Islam mengenai ekonomi. Islam berbeda dengan Marx yang memandang penekanan agama pada dunia ruhani, keakhiratan mengalihkan perhatian kaum proletar dari kesulitan material duniawi ke keakhiratan. Islam sebagaimana tampak dalam haji adalah agama ruhaniah (akhirat) sekaligus jasmaniah (duniawi). Bukan seorang Muslim yang baik, jika tidak bersikap moderat dan seimbang dalam memenuhi sisi jasmaniah maupun ruhaniah, sebagaimana disebut dalam hadis Nabi: “Sesungguhnya, badanmu juga mempunyai hak.”
Karenanya, seorang tidak boleh haji, kecuali mempunyai biaya transportasi, pergi-pulang, dan bekal material selama berada di Mekah dan Madinah. Bahkan, ibadah haji adalah ibadah yang banyak bertumpu terhadap badan yang nutrisinya harus diperhatikan. Doa yang dianjurkan Allah untuk dibaca setelah prosesi haji selesai adalah doa diberi kebaikan di dunia/kekayaan material dan kebaikan di akhirat/ruhaniah (QS. 2: 201).
Haji juga tampak berbeda dengan Marx yang memandang bahwa kemiskinan dipandang agama sebagai suatu kebajikan. Sebagai agama untuk semua, Islam memang memandang juga kemiskinan mempunyai nilai rohani yang positif, jika ditanggung dengan sabar. Dalam Islam, hidup adalah ujian, siapa dari manusia yang amalnya paling baik, baik bagi orang kaya maupun miskin (QS 67: 2).
Namun, sebagaimana haji, Islam memandang bahwa manusia, idealnya hidup kaya. Jika tidak, maka rukun (dasar ajaran) Islam yang ketiga (zakat) dan haji (rukun Islam kelima) tidak bisa dilaksanakan. Bahkan harfiah, dalam hadis riwayat Bukhari Muslim Nabi bersabda, mati meninggalkan keluarga dalam keadaan kaya lebih baik ketimbang miskin. Maka, wasiat harta untuk disedekahkan maksimal hanya sepertiga dari harta. Maka, haji juga tidak boleh dilakukan, jika tida ada uang nafkah bagi keluarga yang ditinggal haji.
Karenanya, berbeda dengan Marx yang memandang kemiskinan dalam agama sebagai takdir Tuhan yang harus diterima dengan pasrah, dalam haji, kemiskinan harus dilawan. Takdir dalam Islam adalah suatu kenyataan setelah berusaha maksimal. Karenanya, uang, minimal sepertiganya bahkan bisa lebih, harus diinvestasikan untuk hal-hal yang lebih penting seperti untuk ibadah haji, sebagaimana dilakukan oleh mereka yang tak kaya di atas. Menjadi seorang yang kaya dalam haji/Islam harus diupayakan, sedangkan kemiskinan harus dilawan dengan cara yang dimungkinkan dan dihalalkan, misalnya, selain dengan hidup hemat, juga di antaranya dengan melakukan usaha seperti jual beli, bercocok tanam, bekerja sebagai pegawai dengan penggajian tetap (ujrah), mudhârabah (kemitraan modal), dan musyârakah (usaha patungan). Bahkan, pekerjaan jual beli secara suka rela agar bisa kaya (memiliki harta) bukan saja dalam Islam dinilai halal, tetapi diperintahkan sebagai kewajiban seorang Muslim mencari nafkah untuk keluarganya (QS. 62: 10, 2: 233 dan 65: 4).
Dalam ibadah haji berusaha untuk hidup lebih baik secara material dan ruhaniah disimbolkan dengan thawaf (mengelilingi Ka’bah) tujuh kali, dimana kaum Muslmin dianjurkan berusaha untuk hidup lebih baik harmoni bersama masyarakat sekitar dengan mencobanya minimal tujuh kali. Disimbolkan juga dengan sa’i yang secara harfiah berarti berupaya/bersegera (tidak malas) dari shafâ (dimulai dengan niat yang bersih) menuju marwah (harkat dan martabat [hidup mulia dengan mempunyai derajat yang dianggap baik oleh Allah dan masyarakat).
Terakhir, haji juga tampak berbeda dengan Marx yang memandang bahwa agama telah menjadi alat justifikasi transendental bagi berlangsungnya ketidakadilan ekonomi di atas. Haji membebaskan manusia dari belenggu selain Allah, baik harta [tidak mau berbagi demi keadilan ekonomi), maupun tahta (termasuk di dalamnya motif pengakuan sosial dan sikap tidak demokratis (ketidakdilan politik), dan juga cinta yang membelenggu.
Hal itu tampak dari niat ihram haji karena Allah bukan selainnya dan bacaan talbiyah yang dibaca oleh setiap para haji. Juga bisa dilihat dari ritual melempar tiga kali jumrah agar kaum Muslimin terbebas dari setan dan juga nafsu untuk berbuat zalim.
Tentu saja juga tampak dari bacaan saat thawaf, yaitu tasbîh, tahmîd, tahlîl, takbîr, dan hauqalah. Terutama, tampak dari kurban yang dilakukan kaum Muslimin yang tak haji saat Idul Adha dan dam (denda) untuk mereka yang berhaji dengan cara haji tamattu’ dan qirân, yaitu mememotong kambing, atau puasa tiga hari saat ibadah haji, dan 7 hari saat sudah pulang ke negara asal.
Tampak pula dari dam karena melanggar larangan haji, yaitu menyembelih kambing, atau puasa tiga hari, atau bersedekah tiga shâ’ kepada enam orang miskin. Bahkan, ditunaikannya zakat saat para haji sudah pulang sebagai tanda mereka mendapatkan haji mabrûr, yang dalam zakat bukan hanya sumbangan untuk pembebasan manusia secara konsumtif, tetapi juga produktif (pemberdayaan ekonomi). (AN)
Baca juga tulisan lain dari Sukron Kamil atau tulisan lain tentang haji.