Haji dan Ritus Kepulangan

Haji dan Ritus Kepulangan

Haji dan Ritus Kepulangan

Setiap perjalanan pastilah akan ditutup dengan kepulangan, termasuk haji. Jemaah haji Indonesia akan memulai proses kepulangan 2-4 hari setelah hari tasyrik. Kabar kepulangan jemaah haji pasti disambut suka cita oleh keluarga yang telah menanti di tanah air.

Setelah menjalani puncak ibadah Haji di ARMINA (Arafah, Muzdalifah dan Mina), jemaah haji Indonesia akan menyelesaikan seluruh rangkaian ibadah haji dengan waktu yang telah ditentukan. Semua jemaah haji akan melakukan ibadah terakhir di Masjidil Haram sebelum meninggalkan kota Mekkah, yaitu Tawaf Wada’ (ibadah Tawaf berkeliling ka’bah sebagai tanda perpisahan dengan ka’bah).

Setelah itu, bagi jemaah haji dari gelombang keberangkatan pertama, maka mereka akan pulang ke tanah air langsung melalui Mekah ke Jeddah. Sedangkan untuk jemaah dari gelombang kedua akan pulang setelah melaksanakan proses Arbain (proses shalat berjamaah di masjid Nabawi selama 40 waktu shalat berurutan) di kota Madinah.

Masyarakat Banjar memiliki beberapa tradisi atau kearifan lokal saat menyambut jemaah haji yang pulang dari tanah suci, diantaranya pemasangan lawang sakiping, sebuah gapura yang dibuat untuk menyambut jemaah di depan rumah, jalan atau gang sebelum masuk ke dalam rumah. Biasanya diantara rumah dan gapura tersebut dipasang kain putih di atas kepala, sebab menurut penuturan masyarakat berinisial S, kain ini dimaksudkan agar keberkahan yang turun dari langit untuk jemaah haji yang baru saja tiba dari tanah suci bisa diterima juga oleh orang lain sekelilingnya.

Tradisi yang menarik juga adalah mengambil barakat (berkah) dari jemaah haji yang baru saja tiba di tanah air. Biasanya masyarakat Banjar jika bertemu dengan orang yang baru saja tiba dari tanah air setelah keberangkatanny ke tanah suci, selalu melakukan pelukan dan menempelkan pipi kanan dan kiri sebagai bagian dari mengambil berkah yang dipercaya oleh masyarakat Banjar bisa bertahan selama 40 hari. Tradisi ini juga dimaksudkan untuk bagi mereka yang belum diberi kesempatan untuk berangkat haji, juga bisa mendapatkan berkah dari tanah suci.

Dua tradisi ini sebenarnya hanya bagian kecil dari tradisi masyarakat Banjar dalam prosesi haji. Tradisi yang digambarkan di atas, memperlihatkan bagaimana haji sebagai sebuah ibadah bukan cuma dimaknai sebagai ketaatan kepada Yang Maha Kuasa. Namun lebih daripada itu, masyarakat Banjar memandang haji sebagai bagian perjalanan kehidupan manusia.

Perjalanan haji, menurut pengakuan salah seorang jemaah haji berinisial M, adalah perjalanan menuju kematian. Anggota keluarga yang berangkat haji itu dianggap sudah menghadap sang kuasa (atau dalam arti lain meninggal). Oleh sebab itu, keluarga yang ditinggalkan selalu membuat beberapa upacara untuk mendoakan “perjalanan” keluarga mereka menghadap sang Kuasa.

Local genius yang dibuat oleh masyarakat Banjar adalah sebuah yang sangat menarik. Sebab, memberikan makna kematian dalam arti menghadap sang Kuasa pada perjalanan dalam kacamata sosiologis adalah bagian dari pemahaman atau kearifan lokal soal ritus peralihan. Banyak tradisi masyarakat di Nusantara yang memberikan makna pada prosesi tradisinya sebagai bagian dari ritus peralihan ini, sebab kematian adalah mungkin saja bagian yang biasa dalam kehidupan. Namun, setelah diberikan melalui makna dalam ritus-ritus yang mengiringinya, kematian menjadi hal yang menarik.

Sebuah perjalanan yang jauh, memakan waktu yang lama dan sangat beresiko di masa lalu sebelum ada pesawatlah yang mendasari masyarakat Banjar memaknai ibadah Haji sebagai kematian. Namun, lebih dalam dari itu sebenarnya kita bisa menemukan makna terdalam mengapa haji dimaknai sebagai kematian dalam masyarakat Banjar, yaitu semua ritual dalam prosesi ibadah haji dianggap bisa menenggelamkan atau mematikan diri manusia yang selama ini berlumur dosa, dan saat pulang ke tanah air menjadi pribadi yang baru.

Kematian dan kelahiran memang sesuatu yang bertolakbelakang, tapi masyarakat Banjar memadukannya dengan sangat indah sebab saat seseorang berangkat menunaikan ibadah haji ke tanah suci, maka ia haruslah memutuskan untuk menjadi orang yang lebih baik dan memotong pergaulan dirinya dengan orang-orang yang tidak baik, sehingga bisa menjadi pribadi yang baru penuh kebaikan dan keberkahan dari tanah suci.

Harapan masyarakat Banjar kepada mereka yang telah pulang dari melaksanakan ibadah haji untuk menjadi pribadi yang baik, bukanlah sesuatu sebab kebahagiaan yang ditampilkan pada saat ritus kepulangan jemaah haji adalah bagian dari harapan yang dibebankan kepada jemaah tersebut.

Pengalaman selama di tanah suci dan ritual ibadah yang dilaksanakan di sana diharapkan bisa menempa diri semua jemaah untuk bisa menjadi muslim yang lebih baik. Salah satunya adalah menanggapi perbedaan mazhab dalam fiqh dengan baik, sebab tanah suci Mekah dan Madinah adalah tempat di mana semua mazhab fiqh bertemu dengan segala dinamikanya, bisa memberikan pengalaman bahwa amalan atau ritual ibadah yang selama ini dilaksanakan hanyalah bagian kecil dari perbedaaan yang begitu banyak dalam sebuah agama bernama Islam.

Fatahallahu alaihi futuh al-arifin