Disebutkan dalam kitab-kitab hadis kanonik, Makkah-Madinah adalah dua kota suci umat Islam yang sangat (di)istimewa(kan). Janji berupa pahala berlipat bagi umat Islam yang mengerjakan shalat dan ibadah lainnya di kedua kota tersebut, terutama di Masjid Nabawi dan Masjidil Haram. Selain itu, keduanya juga tempat perjumpaan bahkan perkumpulan para jamaah haji yang datang silih berganti.
Makkah-Madinah secara tidak langsung menjadi tempat pertemuan terbesar bagi kaum muslim di seluruh dunia. Selain itu, Makkah-Madinah menjadi pusat intelektual dunia muslim – ulama, sufi, filsuf, penyair, pengusaha, dan sejarawan muslim bertemu saling bertukar informasi yang dimiliki masing-masing. (Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVII, hlm. 53-54).
Pertemuan para jamaah haji di seluruh penjuru dunia ini membawa banyak hikmah yang di antaranya adalah mereka dapat mengetahui perkembangan dan gerakan di Negara-negara muslim lainnya. Akhirnya, sebagaimana ditulis Martin, perkembangan-perkembangan yang terjadi di berbagai belahan dunia muslim, juga berdampak bagi Indonesia.
“Setelah penjajahan Belanda sudah mantap di pulau Jawa dan beberapa daerah lainnya, haji masih mendapat suatu fungsi baru. Di Mekah, para haji berada di bawah suatu pemerintahan Islam, bebas dari campur tangan penjajah. Situasi ini tidak mungkin tidak membuat mereka lebih sadar terhadap kolonialisme.” (Selengkapnya baca Martin Van Bruinessen, Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci; Orang Nusantara Naik Haji, 127)
Belanda mengidentifikasi Kyai sebagai musuh bebuyutan mereka. Untuk mengimbangi pengaruh dan kekuatan mereka, Belanda berusaha menjalin persekutuan dengan priyayi lokal dan tokoh-tokoh adat, dan membatasi penyelenggaraan ibadah haji yang diduga sebagai pemicu gerakan perlawanan bangsa Indonesia.
Perang Aceh dan pemberontakan petani di Banten akhirnya memaksa pihak Belanda mengevaluasi kebijakannya. Atas pertimbangan Snouck Hurgronje, Belanda membedakan antara Islam sebagai sebuah Agama dan Islam sebagai militansi politik. (lihat selengkapnya dalam Ira M Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, jilid 3)
Bahkan, konon, kitab nashihatul muslimin yang ditulis oleh Syaikh Abd Shamad al-Palimbani juga dianggit di tanah suci, untuk membangkitan semangat jihad melawan kolonialisme Belanda yang akhirnya memicu pemberontakan terhadap Belanda di Aceh dan di Palembang. Dalam hal ini, Henri Chambert Loir, mengatakan:
“Seorang ulama Jawi yang tersohor, Abdussamad al-Palimbani, yang melewatkan kebanyakan umurnya di tanah Arab (mulai k.l 1734 sampai 1789), mempunyai peran dalam hal ini. Ia pernah mengarang sebuah risalah tentang jihad dalam bahasa Arab “Nashihatul Muslimin wa Tadzkirat lil Mu’minin fi Fadhail Jihad fi Sabilillah wa Karamat al-Mujahidin fi sabilillah”, yang disebarluaskan di Indonesia, bahkan mengilhami sajak aceh yang sangat berperan dalam Perang Aceh, hikayat sabil.”(Henri Chambert Loir, Naik Haji di Masa Silam, jilid 1)
Kisah-kisah jamaah haji di masa lalu yang dipaparkan di atas menunjukkan bahwa naik haji tidak serta merta hanya menyibukkan diri dengan ibadah haji, melainkan juga melakukan berbagai konsolidasi sosial-politik baik sesama bangsa Indonesia maupun dengan jamaah dari negeri lain.
Ibadah haji juga “dimanfaatkan” oleh para kiai-ulama dan para jamaah haji untuk melakukan strategi merebut kemerdekaan dan mengusir penjajah. Hal ini menunjukkan kecerdasan para kiai dan jamaah haji dalam “memanfaatkan” sebuah momen di satu sisi, serta kepekaan mereka terhadap nasib bangsa dan tanah airnya yang sedang terjajah di sisi lain.
Kini, adakah jamaah haji yang masih meneladani apa yang telah dilakukan oleh kiai-kiai jamaah haji kita dulu? Atau minimal mendoakan khusus dan serius tentang bangsa dan tanah airnya? Terlebih jamaah haji dari unsur pemerintah kita?