Salah satu risiko orang yang gemar menyerang adalah mendapat serangan balik ketika kesempatan itu ada. Dan, belakangan ini, nasib apes itu setidaknya menimpa Tengku Zulkarnain yang salah menasrif “kafara-yukaffiru-kufran”, atau Maaher Thuwailibi yang juga keliru menasrif “talafa-yutlifu-talafan”, atau Haikal Hasan yang salah paham dgn perbedaan mufrad-jamak “kafir” dan “kuffar”.
Mungkin saja mereka hanya kepleset lidah (sabqul lisan). Tapi entah bila kekeliruan itu ternyata berlangsung istiqamah. Saua masih bisa memahami orang-orang yg mengimbau stop bullying terhadap mereka. Namun, agak janggal bila mendengar ucapan para pembela, “Halah… urusan remeh temeh gitu. Itu kayak salah ejaan KBBI saja.”
Ilmu sharaf memang pelajaran ibtidaiyah, elementer. Dan justru karena jadi ilmu dasar inilah ia menjadi sangat penting dan harus mula-mula diketahui. Fungsi ilmu sharaf memang alat, tapi dengan alat itu kesimpulan dan keputusan strategis ditentukan.
Barangkali kita sering mendengar, seorang ustadz dengan PD memusyrik-musyrikkan shalawat Nariyah. Ternyata mereka berangkat dari “hal remeh temeh” itu, analisa bahasa. Menurut mereka, terjemahan isi shalawat Nariyah terlalu berlebihan: “menyetarakan” kapasitas Nabi Muhammad dgn Allah. Secara tersirat mereka merendahkan sang pengarang, Syekh Ahmad At-Tazi al-Maghribi, sebagai orang yang ceroboh menyusun redaksi shalawat yg kerap disebut shalawat Tafrîjiyah itu.
Misalkan, mereka menertawakan lafal:
تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ
Artinya: “Segala ikatan/kesulitan bisa lepas karena Nabi Muhammad.”
Bagi mereka, ini melampaui batas. Sebab, kekuasaan untuk melepas kesulitan itu mutlak hanya milik Allah. Mereka mungkin tak sampai berpikir tentang logika ilmu sharaf tertentu di balik redaksi tersebut.
Dalam ilmu sharaf, kata تَنْحَلُّ merupakan fi’il mudlari‘ dari kata انْحَلَّ. Bentuk ini mengikuti wazan انْفَعَلَ yang memiliki fungsi/faedah لمُطَاوَعَةِ فَعَلَ (dampak dari فَعَلَ).
Contoh pada kalimat lain:
كَسَرْتُ الزُّجَاجَ فَانْكَسَرَ
“Saya memecahkan kaca maka pecahlah kaca itu.” Dengan bahasa lain, kaca itu pecah (انْكَسَر) karena dampak dari tindakan subjek “saya” yang memecahkan.
Contoh lain:
حَلّ اللهُ العُقَدَ فَانْحَلَّ
“Allah telah melepas beberapa ikatan (kesulitan) maka lepaslah ikatan itu.” Dengan bahasa lain, ikatan-ikatan itu lepas karena Allahlah yang melepaskannya.
Di sini kita mencermati bahwa wazan انْفَعَلَ mengandaikan adanya “pelaku tersembunyi” karena ia sekadar ekspresi dampak atau akibat dari pekerjaan sebelumnya.
Kalau تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ dimaknai bahwa secara mutlak Nabi Muhammad melepas ikatan-ikatan itu tentu adalah kesimpulan yang keliru, karena tambahan “bihi” di sini menunjukkan pengertian perantara (wasilah). Pelaku tersembunyinya (dan hakikinya) tetaplah Allah—sebagaimana faedah لمُطَاوَعَةِ فَعَلَ.
Analisa yg mirip bisa dilakukan pada kalimat-kalimat lanjutannya, yg juga dimusyrik-musyrikkan:
وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ
Terlalu teknis dan rigid utk dibahas di sini. Saya cuma berusaha mengingat-ingat pelajaran ibtidaiyah, Amtsilah Tashrifiyah, yang dulu sering bikin sy “nganjer” di depan kelas.
Sy hanya ingin bilang, gagal paham ilmu sharaf itu tidak seremeh kesalahan ejaan KBBI. Mengapa? Karena ia menyangkut pemahaman atas teks agama, bahkan penghakiman atas kelompok berbeda. Belum lagi bila hal itu melekat pada dai yang kadung populer dan punya banyak jamaah.
Tuduhan ada kandungan syirik sprt dijelaskan di atas masih “biasa-biasa saja” jika hanya berhenti pada sentimen antargolongan, selayaknya khilafiyah qunut shubuh. Namun jadi mengkhawatirkan bila levelnya meningkat dan menjustifikasi tindak kekerasan, bahkan pembunuhan karena halal darahnya. Mengingat, vonis paling jahannam dalam Islam adalah vonis musyrik—dan ternyata itu bisa lahir dari gagal paham ilmu sharaf.
Ya, ilmu sharaf itu memang ilmu alat. Persisnya, alat yang penting sebagai dasar belajar Bahasa Arab, sebagai pintu masuk belajar ilmu Islam yang sangat luas ini. Bukan sekadar berani bicara tapi tanpa ilmu.