Hafidz Qur’an pun Bisa Jadi Teroris

Hafidz Qur’an pun Bisa Jadi Teroris

Hafidz Qur’an pun Bisa Jadi Teroris

Penghafal Al-Qur’an Saja Bisa Menjadi Teroris, bagaimana bisa?

Pada akhirnya agama menjadi tumbal atas keganasan aksi teror yang menjadi masalah besar di dunia Internasional. Mereka menggunakan dalil agama sebagai legitimasi aksi terornya. Agama yang semula diorientasikan sebagai pembawa perdamaian, di tangan para teroris tidaklah demikian. Adapun yang paling absurd, dengan percaya diri aksinya mereka anggap sebagai pembelaan terhadap agamanya. Dengan gelombang Islamphobia, sebenarnya cukup menanggapi bahwa aksi teror mereka itu fatal dan merusak Islam itu sendiri.

Tulisan ini hendak mengurai bagaimana perilaku keagamaan yang dibumbui rasa percaya diri yang mendalam sehingga menjadi ekslusif. Adapun secara spesifiknya akan mengurai bahaya para penghafal al-Qur’an jika tidak dibimbing dengan pemahaman yang baik dan benar.

Siapapun pasti sepakat bahwa terdapat keutamaan jika salah seorang mampu menghafal al-Qur’an, kenyataan ini dibuktikan secara realitas banyak berdiri instansi yang diorientasikan untuk para penghafal al-Qur’an.

Banyak dalil yang menjelaskan keutamaan para penghafal al-Qur’an, namun terdapat beberapa hadits yang menjelaskan peringatan terhadap para penghafal al-Qur’an. Seorang cendikiawan pasti memaknai hadits ini bukan sebagai penghambat para penghafal al-Qur’an, namun sebagai upaya pemahaman bagaimanapun para penghafal al-Qur’an pun bisa terjerumus ke dalam tindakan radikal.

Diriwayatkan dari Hudzaifah, bahwa suatu ketika Rasululah Saw bersabda: “Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah seseorang yang membaca al-Qur’an, hingga terlihat kebesaran al-Qur’an pada dirinya. Dia senantiasa membela Islam. Kemudian ia mengubahnya, lantas ia terlepas darinya. Ia mencampakkan al-Qur’an dan pergi menemui tetangganya dengan membawa pedang dan menuduhnya syirik. Saya (Hudzaifah) bertanya: “Wahai Nabi Allah, siapakah diantara keduannya yang lebih berhak atas kesyirikannya, yang dituduh ataukah yang menuduh?” Beliau menjawab: “yang menuduh”. [HR. Bazzar].

Sepintas hadits ini membuat kita bertanya-tanya dan menimbulkan keheranan. Sebuah keheranan yang muncul dari orang-orang yang memiliki semangat keagamaan yang kuat. Dia mengalami perubahan sampai di fase yang mengherankan.

Fase itu dimulai dari mencintai al-Qur’an dan tenggelam di dalamnya, hingga cahaya al-Qur’an bersinar darinya. Namun kemudian ia mengkafirkan umat Islam, mengangkat senjata dan menumpahkan darah. Itu semua adalah fase memungkinkan terjadi pada siapaun, terutama para penghafal al-Qur’an.

Dalam buku al-Haqq al-Mubin fii al-Rad ‘ala Man Tala’aba Bi al-Din karya intelektual muda Mesir, Syeikh Usamah membuat catatan terkait hadits ini yang menjelaskan bahwa nabi mendiskripsikan orang ini dengan tiga sifat: Pertama, Allah memberinya anugrah kedekatan dengan al-Qur’an. Dia sangat memperhatikan dan berkhidmah kepada al-Qur’an. Kemudian dia menghafalnya dan dikenal sebagai penghafal al-Qur’an. Sehingga, masyarakat mengiranya orang baik, lantaran sosok yan berkhidmat dan memperhatikan al-Qur’an.

Kedua, masyarakat semakin mengiranya orang baik lantaran bahwa cahaya al-Qur’an telah memancarkan sinarnya. Ketiga, karena sudah mendapatkan simpati dari masyarakat sehingga orang tersebut memiliki semangat yang sangat kuat dalam menjalankan agama ini, sehingga membuatnya menjadi pembela Islam dan senantiasa berjuang untuk menjaganya.

Fase-fase di atas sangat memungkinkan sehingga membuat konklusi tentang dirinya untuk melakukan sebuah tafsir terhadap al-Qur’an sesuai keinginnya. Kondisi inilah yang problemis, dengan modal semangat yang sangat tanpa diimbangi dengan perangkat keilmuan yang dalam, dia menafsiri al-Qur’an diluar koridor penafsiran.

Pemahaman yang memadai terkait keilmuan yang mendukung penafsiran, dia abaikan sehingga produk tafsirnya sarat dengan kebencian, permusuhan dan pertumbuhan darah.

Sebenarnya semangat dalam beragama saja tidak cukup, ini terbukti dengan teguran Nabi kepada Muadz bin Jabal ketika menjadi imam shalat dan membaca surat-surat yang sangat penjang tanpa memperhatiakan orang makmumnya. Dengan kata lain semangat beragama tanpa memahami realitas juga problem karena bisa terjerumus paham takfiri yang sangat dilarang oleh agama.[]