Hadis Shalat Tarawih 8 dan 20 Rakaat Ternyata Dhaif, Bagaimana Kita Bersikap?

Hadis Shalat Tarawih 8 dan 20 Rakaat Ternyata Dhaif, Bagaimana Kita Bersikap?

Hadis-hadi tentang dua bilangan rakaat shalat tarawih yang biasa dilakukan ternyata dhaif. Lalu, apa yang harus kita lakukan?

Hadis Shalat Tarawih 8 dan 20 Rakaat Ternyata Dhaif, Bagaimana Kita Bersikap?

Dalam Islam, ada beberapa ibadah bulan Ramadhan yang masih menuai pro dan kontra. Termasuk di antara sekian banyak hal yaitu pelaksanaan shalat Tarawih, lalu apa dan bagaimana tanggapan ulama’ hadis mengenai shalat tarawih? Faktor apa yang melatarbelakangi adanya pro dan kontra tersebut?

Dalam hadis riwayat Imam at-Thabrani memang dijelaskan bahwa rakaat tarawih ada dua puluh rakaat:

عَنْ ابْنِ عَبَّاس قَالَ : كَانَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَالْوِتْرَ

“Dari ibnu Abbas, beliau berkata “Nabi Saw. shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan witir”

Perlu kita ketahui bahwa hadis ini dikategorikan dalam hadis matruk (semi palsu), dikarenakan terdapat rawi bernama Abu Syaibah yang menurut Imam al-Bukhari dinilai matruk, para ulama’ bahkan tidak mau berkomentar tentangnya.

Dalam kitab Subulus Salam disebutkan bahwa Imam Ahmad, Imam Ibnu Ma’in, Imam an-Nasa’i, Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam at-Tirmidzi dan para Imam lainnya yang berpendapat bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Syaibah adalah hadis dhaif. Bahkan Imam Syu’bah pun mengatakan bahwa Abu Syaibah adalah seorang pendusta.

Dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw melakukan shalat tarawih sebanyak dua puluh rakaat maupun delapan rakaat, itu tidak benar adanya jika kemudian ada yang berpendapat seperti itu dengan menggunakan dalil hadis riwayat Imam at-Thabrani tersebut, maka tidak bisa dijadikan landasan.

Karenanya, hadis riwayat Ibnu Abbas ini tidak dapat dijadikan dalil dalam pelaksanaan shalat tarawih. Begitu pula dengan hadis yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ra. dalam kitab Shahih Ibnu Hibban :

حَدَّثَنَا جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ : جَاءَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، كَانَ مِنِّي اللَّيْلَةَ شَيْءٌ فِي رَمَضَانَ ، قَالَ : وَمَا ذَاكَ يَا أُبَيُّ ؟ قَالَ : نِسْوَةٌ فِي دَارِي قُلْنَ : إِنَّا لاَ نَقْرَأُ الْقُرْآنَ ، فَنُصَلِّي بِصَلاَتِكَ ، قَالَ : فَصَلَّيْتُ بِهِنَّ ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ ، ثُمَّ أَوْتَرْتُ ، قَالَ : فَكَانَ شِبْهُ الرِّضَا ، وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا.

Telah mengkhabarkan kepada kami, Jabir bin Abdullah, beliau berkata, “Ubay bin Ka’ab datang menghadap Nabi Saw. lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tadi malam (bulan Ramadhan) ada sesuatu  yang saya lakukan.” Nabi Saw. kemudian bertanya, “apakah itu wahai Ubay?” Ubay menjawab, para wanita di rumah saya mengatakan, mereka tidak dapat membaca Al-Qur’an. Mereka meminta saya untuk mengimami shalat mereka. Maka saya shalat bersama mereka delapan rakaat, kemudian saya shalat witir”. Jabir kemudian berkata, “maka hal itu diridhai Nabi Saw. karena beliau tidak berkata apa-apa”.

Karena, seperti hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dalam hadis ini juga terdapat perawi hadis matruk yaitu ‘Isa bin Jariyah yang menurut Imam an-Nasa’i, dan Imam Ibnu Ma’in adalah sangat lemah hadisnya. Bahkan Imam an-Nasai pernah mengatakan bahwa beliau adalah seorang pendusta, sehingga hadis yang diriwayatkan olehnya adalah hadis matruk (semi palsu).

Melihat kedua hadis diatas tergolong hadis yang dhaif, bukan berarti pelaksanaan shalat Tarawih menggunakan jumlah yang telah disebutkan di atas menjadi tidak bisa di praktikkan. Melainkan, terdapat dua hadis yang disebutkan dalam kitab Subulus Salam yang dapat dijadikan dalil sebab ke-shahihannya.

Pertama, yakni hadis riwayat Imam Muslim, Imam al-Bukhari, Imam an-Nasa’i dan Imam-imam lainnya yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. menyukai shalat malam pada saat bulan Ramadhan dengan tanpa memerintahkan sahabat untuk menjadikannya ibadah wajib. Kemudian Beliau bersabda sebagaimana hadis diatas :

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِه

Kedua, yakni hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitabnya Sunanul Kubra. Dalam hadis tersebut terdapat salah seorang sahabat bernama Ubay bin Ka’ab, beliau diperintahkan oleh Khalifah ‘Umar ra. untuk mengimami para sahabat yang lain dalam suatu masjid.

Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa pada suatu malam di bulan Ramadhan, ‘Umar bin Khattab sedang keluar bersama Sahabat yang bernama Abdurrahman bin Abdul Qari’. Kemudian beliau melihat para sahabat melaksanakan shalat Tarawih di dalam masjid dalam keadaan berpencar-pencar atau tidak berjamaah. Sehingga ‘Umar berinisiatif untuk menyatukan shalat mereka di dalam satu bacaan atau berjamaah. Dari sinilah kemudian awal mula shalat Tarawih disyariatkan dilakukan secara berjamah.

Disebutkan bahwa jumlah rakaat dalam shalat tarawih tersebut adalah dua puluh rakaat. Dalam hal ini, patut dipertanyakan dari mana para sahabat mengetahui jumlah rakaat dalam shalat tersebut, dan apa tanggapan para sahabat yang lain mengenai hal ini.

Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yakub, MA. dalam bukunya yang berjudul Hadis-Hadis Bermasalah menyebutkan bahwa untuk menjawab pertanyaan di atas, terdapat dua pendekatan.

Yang pertama, diketahui bahwa hukum hadis tersebut adalah hadis Mauquf kepada para Sahabat, namun hukumnya menjadi sama seperti hadis Marfu’ atau hadis yang disandarkan kepada Rasulullah Saw. dikarenakan para Sahabat mengetahui hal itu langsung dari sumbernya yaitu Nabi.

Tidak mungkin para Sahabat melakukan suatu ibadah yang kemudian jauh dari apa yang pernah Rasulullah kerjakan dalam hidupnya. Kemudian, di dalam hadis tersebut juga tidak terdapat persoalan ijtihadiyah, dan semua sahabat menyetujuinya. Imam as-Suyuti dalam kitabnya mengatakan apabila tidak berkaitan dengan masalah  ijtihadiyah, maka hadis Mauquf tadi tergolong hadis Marfu’.

Yang kedua, tidak adanya protes dari para sahabat yang lain mengenai hal ini. Padahal, pada saat itu Sayyidah Aisyah ra., ‘Umar bin al-Khattab, Abu Hurairah dan yang lainnya masih dalam keadaan hidup dan mengetahui hal itu.

Sedangkan dalam kasus yang lain, para Sahabat akan menghujat Sahabat yang lainnya jika terdapat perkataan maupun perbuatan yang bertentangan dengan Syariat.

Wallahu a’lam.