Hadis Nabi Pernah Minum Berdiri, Bagaimana Memahaminya?

Hadis Nabi Pernah Minum Berdiri, Bagaimana Memahaminya?

Hadis Nabi Pernah Minum Berdiri, Bagaimana Memahaminya?

Kita pasti pernah membaca hadis yang melarang kita untuk makan dan minum sambil berdiri, tetapi dalam hadis lain juga dijelaskan bahwa nabi pernah makan atau minum sambil berdiri. Lantas, apakah kedua hadis ini bertentangan?

Hadis merupakan pembahasan menarik dalam Islam. Pro dan kontra yang terjadi di kalangan cendekiawan muslim dan Orientalis membuat hadis terus eksis hingga kini. Tidak dapat dipungkiri, bahwa hebatnya perkembangan zaman membuat segala hal menjadi mudah, tidak terkecuali perkembangan pembahasan hadis.

Kini, hadis tak hanya dapat ditemui di kitab-kitab hadis, buku-buku agama, dan majalah Islam, namun juga di media sosial, bahkan media sosial sendiri memiliki peranan cukup efektif dalam menyimpan memori hadis. Tak terkecuali hadis tentang adab makan dan minum.

Sebagai seseorang yang berupaya memahami Islam dengan baik, tentu tidak asing dengan adab makan dan minum yang sudah diberitakan dan dicontohkan Rasulullah sejak 14 Abad yang lalu. Hadisnya cukup singkat dan mudah dipahami, bahkan sangat mudah dihafal. Di antara beberapa adab makan dan minum, yang unik adalah adab tentang tidak bolehnya makan dan minum dalam kondisi berdiri.

Hadis ini kemudian menimbulkan kontroversi di kalangan pembelajar yang baru mencoba menguliti hadis, karena ternyata terdapat hadis lain yang menyatakan bahwa Rasulullah pernah minum dalam keadaan berdiri. Hadis tersebut berasal dari seseorang yang selain sahabat setia Rasul, beliau juga menantu Rasulullah, beliau adalah Ali bin Abi Thalib. Tentu, tak terbayang bagaimana kedekatan Rasulullah dengan menantu sekaligus sahabatnya.

Pada suatu hari, ada seseorang yang melihat sendiri bahwa Ali bin Abi Thalib minum dengan berdiri. Lelaki tersebut menegur Ali dengan hadis yang sudah disebarkan Rasulullah.

“Janganlah kamu sekalian minum dalam keadaan berdiri, apabila kamu melakukannya, maka muntahkanlah!” (HR. Bukhari Muslim)

Sahabat Ali tentu juga familiar dengan hadis tersebut, kemudian beliau menjawab, “Namun di satu kali aku pernah melihat Rasulullah minum dengan berdiri”.

Lalu Ali menjawab, “Namun di satu kali aku pernah melihat beliau minum dalam keadaan berdiri”.

Hal sederhana ini bisa menjadi umpan bagi golongan yang tidak menyukai Islam. Mereka akan berupaya mencari keburukan Islam meski sekecil atom. Namun ternyata, hal tersebut tak dapat dipahami secara tekstual saja. Apakah artinya Rasulullah tidak konsisten dalam perkataannya? Apakah ini artinya Rasulullah pelupa, labil, dan sebagainya?

Namun justru sebaliknya, inilah yang menjadikan Islam begitu kaya dan fleksibel. Sebenarnya, antara Ali dan seseorang yang melihatnya sama-sama tidak salah, karena keduanya benar-benar pernah dilakukan Rasulullah. Kesalahannya terletak pada pemahaman seseorang terhadap hadis tersebut, bukan pada redaksi hadisnya.

Imam al-Syafi’i dengan kehebatan yang dianugerahkan Allah kepada beliau, hadir untuk menawarkan penyelesaian hadis-hadis yang tampaknya bertentangan atau hadis mukhtalif sebagaimana contoh tersebut.

Hadis yang tampaknya bertentangan tersebut kemudian diselesaikan dengan metode peneliatan hadis yang telah dicetuskan ulama-ulama hadis abad lalu. Banyak aspek yang meski dipahami untuk melihat dan mengukur sebuah hadis. Rasulullah, selain menjadi seorang Rasul, beliau juga merupakan panglima perang, seorang suami, seorang sahabat, seorang pemimpin, dan lain sebagainya, sehingga memahami hadis dengan melihat hal tersebut amatlah diperlukan.

Maka, setelah diteliti, ternyata hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah minum dalam keadaan berdiri adalah ketika beliau melakukan perang, dan keadaan saat itu tidak memungkinkan beliau untuk duduk, sampai beliau memilih untuk minum dalam keadaan berdiri. Pada redaksi hadis yang lain, beliau juga minum dalam kondisi berdiri, namun dalam kontesk yang khusus, yakni saat minum air zam-zam.

Jadi, antara hadis yang pertama dengan hadis yang kedua sebenarnya tidak bertentangan, tentunya setelah dilakukan penelitian mandalam terhadap keduanya, memang jika dilihat secara tekstual, keduanya bertentangan. Para ulama melakukan penyelesaian “al-jam’u” terhadap kedua hadis tersebut, atau metode dengan mengkompromi kedua hadis yang tampak bertentangan.

Maka, begitulah Islam. Ia tidak memberatkan penganutnya, dan ajarannya pun tidak kaku. Islam selalu memperhatikan Maqasyid Syariah/tujuan pada tiap aturannya, termasuk adab makan dan minum ini. Tak sedikit penelitian yang menyatakan perlunya makan dan minum dalam keadaan duduk. (AN)