Hadis Ini Dibajak untuk Tanggapi Tangisan Ahok. Bagaimana Kualitas Hadis itu?

Hadis Ini Dibajak untuk Tanggapi Tangisan Ahok. Bagaimana Kualitas Hadis itu?

Hadis Ini Dibajak untuk Tanggapi Tangisan Ahok. Bagaimana Kualitas Hadis itu?

Tulisan ini dibuat untuk membiasakan diri melakukan verifikasi dan validasi setiap informasi yang kita terima, serta semaksimal mungkin memastikan kebenaran informasi itu terlebih dahulu sebelum membaginya kepada yang lain.

Setelah melihat tayangan Ahok menangis di persidangan, tak lama kemudian (hanya hitungan menit) bertebaranlah di media sosial dan pesan (Whatsapp), kemudian menjadi viral, sebuah “hadis” berikut ini:

ﺇﺫﺍ ﺗﻢ ﻓﺠﻮﺭ ﺍﻟﻌﺒﺪ، ﻣﻠﻚ ﻋﻴﻨﻴﻪ، ﻓﺒﻜﻰ ﺑﻬﻤﺎ ﻣﺎ ﺷﺎﺀ

“Saat sempurna kebiadaban seorang hamba, maka ia dapat memiliki (mengendalikan) dua matanya, lalu ia dapat menangis dengannya kapanpun ia mau.” (HR. Ibn ‘Adī dalam kitab al-Kāmil Juz 4 hlm. 150)

Sesaat memang biasa saja dengan hadis tangisan orang biadab yang diposting sebagai respon terhadap tangisan Ahok tersebut.  Namun, ada yang menggelitik saya yaitu saat memperhatikan akhir dari terjemah hadis tersebut -sebagaimana tertulis- diriwayatkan oleh Ibn ‘Adī dalam kitab al-Kāmil lengkap dengan penyebutan juz dan halamannya (?).

Pertama, bagi orang yang tidak pernah atau tidak akrab dengan literatur tersebut, niscaya akan dengan mudah mengimani postingan tersebut karena yang digunakan adalah “hadis” Nabi. Tapi, apa cukup yakin bahwa “hadis” itu dapat diduga keras adalah benar-benar sabda Nabi? Ingat lho, siapa yang berdusta atas nama Nabi dengan sengaja, maka neraka lah tempatnya. Apalagi “hadis” itu digunakan atau dipakai (diksi yang lagi tren saat ini) hanya untuk merespon tangisan Ahok.

Baiklah teman-teman, mari simak sejenak pelacakan terhadap riwayat hadis ini.
Hadis dengan redaksi di atas bersumber dari sebuah literatur karya Ibn ‘Adi (365 H), seorang ulama besar dalam periwayat hadis, yang berjudul lengkap al-Kamil fīd Du‘afair Rijal (bukan kitab al-Kamil saja), sebuah karya yang berisi kumpulan orang-orang yang “lemah” (baca: daif) dalam meriwayatkan hadis. Saya ulangi, kumpulan orang-orang yang “lemah”.

Di dalam karya tersebut, Ibn ‘Adi tidak sedang meriwayatkan hadis tangisan orang biadab tersebut, melainkan sedang menjelaskan salah satu periwayat kontroversial dalam integritas meriwayatkan hadis bernama Ibn Lahi’ah yang oleh sejumlah ulama hadis dinilai sebagai lemah, “mudallis” dan “munkar” (periwayatannya bertentangan dengan orang yang terpercaya).

Terlepas dari penilaian ulama terhadap sosok periwayat hadis tersebut, Ibn al-Jawzī (seorang ahli hadis dan sejarawan kenamaan w. 597 H.) berpendapat bahwa “hadis” tersebut tidak benar berasal dari Rasulullah. Demikian pula halnya, al-Sakhāwī (902 H) menilai hadis tangisan biadab ini sangat lemah (dha’if jiddan).

Dengan demikian, menggunakan hadis ini atau sekedar menuliskannya tanpa menyebutkan status kelemahan (baca: kedaifan) riwayat ini adalah sebuah kesalahan, apalagi kemudian menyebarkannya seakan-akan “hadis” tersebut sungguh-sungguh berasal dari Nabi.
Kedua, mengingat hadis ini tidak terdapat di dalam karya-karya hadis populer (seperti Ṣaḥīḥ al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan al-Nasa’i, Sunan al-Tirmidzi, Sahih Ibn Khuzaymah, Ṣaḥiḥ Ibn Ḥibban, Sunan Ibn Majah, dan kitab-kitab hadis populer lainnya), maka dapat dipastikan hanya orang-orang tertentu lah yang memiliki akses kepada karya Ibn ‘Adi, tempat “hadis” tersebut bersumber.

Siapa dia? hampir dapat dipastikan, dia bukanlah seorang ustadz seleb yang sering tampil di tv, bukan juga dai-dai karbitan yang hanya bermodal kefasihan menyebutkan ayat Alquran atau hadis, ia adalah seseorang yang familiar dengan literatur hadis.

Sampai di sini, terlihat jelas peran seseorang yang familiar dengan literatur keagamaan bahkan literatur klasik keislaman dalam penyebaran hadis tangisan biadab tersebut sebagai respon atas tangisan ahok. Apakah ini salah satu jenis pembodohan masyarakat (umat) yang dibungkus dengan agama? Orang ini pasti bukan orang bodoh atau awam, ia dapat dipastikan pintar atau menguasai agama yang dapat dikategorikan sebagai salah satu “ulama”. Hanya saja, sebagaimana yang Habib Rizieq sampaikan dalam salah satu pengajiannya, orang pandai ini disebut ‘Ulamā’ Sū’ (ulama buruk) yang membohongi atau menipu umat “pakai” ayat atau “pakai” hadis.

Ketiga, penyakit “copas” dan “share” yang menjangkiti masyarakat pelan-pelan harus diobati. Hentikan kebiasaan buruk itu, sebab Nabi pernah bersabda:

كفى بالمرء من الكذب أن يحدث بكل ما سمع

“Cukuplah seseorang dianggap berdusta, jika ia menceritakan semua yang ia dengar.” (HR. Al-Ḥākim)

Hadis ini jika dikontekstualisasikan pada kondisi saat ini maka berarti: “Cukuplah seseorang dianggap berdusta, jika ia mengcopas dan share semua yang ia baca dan terima di gadget atau laman medsosnya.” Kita tidak harus selalu menyebarkan semua yang kita ketahui dan pahami, tetapi kita wajib memahami betul apa yang kita sebarkan.

Terakhir, mengapa “hadis” tangisan orang biadab ini bisa dengan mudahnya langsung disematkan kepada Ahok? Karena Ahok dianggap biadab? Bagaimana dengan kita yang juga kerap kali menangis dalam beberapa kondisi? bukan karena kita biadab juga kan… ya sudahlah… silakan mengukur tingkat kebiadaban masing-masing.

 

Selengkapnya, klik bincangsyariah.com