Sebuah pertanyaan melalui SMS masuk ke HP kami. “Pak Ustaz, sekarang beredar lagi Hadis tentang puasa bulan Rajab. Kami mohon apa ada dalilnya? Puasa Rajab 1 hari seperti puasa setahun, 7 hari ditutup pintu-pintu neraka Jahannam, 8 hari dibuka pintu-pintu surga, 10 hari dikabulkan segala permintaannya, dan barangsiapa yang mengingatkan tentang ini seakan dia beribadah 80 tahun.”
SMS ini ada baiknya, karena yang bersangkutan menanyakan dasar dalil amalan puasa Rajab itu. Sementara yang kami pantau, banyak beredar di media informasi seolah-olah membenarkan amalan-amalan puasa tersebut sehingga hal itu menimbulkan keresahan bahkan dipertanyakan siapa dan apa motivasinya informasi seperti itu disebarkan.
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (852 H) dalam kitabnya Tabyin al-‘Ajab bima Warad fi Fadhl Rajab menyebutkan bahwa tidak ada satu pun hadis yang valid (sahih) tentang fadhilah (keutamaan) puasa pada bulan Rajab. Bersama kawan-kawan, kami juga meneliti hadis seperti yang maksudnya dipertanyakan dalam SMS tadi.
Ternyata hadis tersebut adalah palsu. Yang aneh, Imam Ibnu Hajar pada abad ke-9 hijriyah telah memberikan pernyataaan seperti itu. Namun faktanya, hadis-hadis palsu, dalam hal ini yang berkaitan dengan puasa pada bulan Rajab tidak kemudian hilang, tetapi justru berkembang dengan tambahan-tambahan yang mengkhawatirkan, seperti siapa yang mengingatkan ibadah ini akan mendapatkan pahala beribadah selama 80 tahun.
Kami sendiri punya pengalaman, sejak tahun 1985, kami telah berusaha, baik melalui mimbar maupun lembar, melalui lisan dan tulisan, untuk memberikan pencerahan kepada umat tentang fenomena penyebaran hadis palsu berikut bahaya menyebarkannya. Ketika kami sudah menginventarisir beberapa hadis palsu seputar Ramadan yang kemudian kami terbitkan dalam sebuah buku, tiba-tiba di internet bermunculan hadis palsu yang baru seputar Ramadan.
Seolah-olah fenomena munculnya hadis palsu itu memang ada pihak yang sengaja menciptakan untuk kepentingan tertentu. Tampaknya, kepentingan itu adalah untuk meresahkan umat sehingga mereka hanya menyibukkan diri dan menguras energi untuk membicarakan isu hadis palsu tersebut.
Kepentingan selanjutnya adalah untuk membuat umat supaya terninabobokan dengan amalan-amalan yang bersumber dari hadis palsu itu. Sebut saja misalnya, hadis palsu seputar Ramadan yang menyebutkan bahwa tidurnya orang yang berpuasa itu ibadah dan diamnya sama dengan membaca tasbih. Hadis seperti ini membawa dampak yang buruk bagi umat Islam sehingga mereka pada siang hari lebih suka tidur dan bermalas-malasan daripada beraktivitas.
Menurut kajian ilmu hadis, salah satu ciri hadis palsu, adalah “amalannya sedikit dan pahalanya sangat besar”. Kendati begitu, gejala ini belum memberikan sinyal yang positif tentang kepalsuan sebuah hadis. Kepalsuan sebuah hadis dapat dideteksi melalui matan (materi) dan sanad (transmisi hadis).
Apabila dalam sanadnya terdapat rawi (periwayat) yang berperilaku dusta maka menurut disiplin ilmu hadis, hadis tersebut divonis sebagai Hadis palsu. Konsekuensinya, hadis seperti itu harus “dikubur”, tidak boleh diamalkan, dan tidak boleh disebut-sebut kecuali dalam rangka untuk dijelaskan kepalsuannya.
Orang yang menyebarkan hadis palsu, dan ia mengetahui tentang kepalsuan hadis itu, maka Nabi menyebutnya sebagai orang yang ikut mendustakan Rasulullah Saw. Dan orang yang mendustakan Rasul dengan sengaja dipersilakan untuk siap-siap memasuki neraka.
Kendati demikian, bukan berarti puasa pada bulan Rajab dilarang sebab ada hadis riwayat Imam Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, an-Nasa’i, ath-Thabrani, dan al-Baihaqi di mana Nabi SAW. menyuruh salah seorang sahabat beliau untuk berpuasa pada bulan-bulan mulia (al-Asyhur al-Hurum), sementara salah satu daripada empat bulan mulia itu adalah bulan Rajab.
Sesungguhnya yang dilarang dalam Islam adalah menyebarkan hadis palsu dan beribadah dengan berlandaskan kepada hadis palsu tersebut. Ketika kita beribadah dan ternyata ada landasan hadis yang tidak palsu, maka hal itu bukanlah yang dilarang. Karenanya, kita perlu cermat dalam beribadah dengan mengetahui landasan hukumnya (dalil) yang valid.
Wallahu A’lam.
Artikel ini sebelumnya dimuat di majalahnabawi.com