Pasca kejadian pemotongan nisan simbol salib di Yogyakarta, banyak dari warga daring mengklaim bahwa toleransi di Indonesia sudah masuk level darurat. Klaim ini menjadi ramai diperbincangkan lewat penyematan tagar #indonesiadarurattoleransi. Kemarin, kasus pengrusakan tanda salib kembali terjadi. Apakah ini menjadi tanda dekadensi level toleransi di Indonesia? Atau persoalan ini hanyalah permainan politik, agar Indonesia semakin panas menyambut pertarungan politik di April tahun ini?
Terlepas mana yang lebih tepat antara klaim level darurat toleransi atau ini sekedar permainan politik. Alangkah eloknya, untuk kita bisa mendalami apa yang menjadi persoalan mendasar dalam keadaan ini. Sebab, jika gagal melakukan ini maka kita rentan terjebak pada tindakan yang salah dalam merespon keadaan ini.
Tanda pagar Indonesia darurat toleransi tersebut dilempar lewat berbagai paltform media sosial, kemudian terus semakin menyebar tanpa bisa dihentikan, terutama dalam menyikapi kejadian Yogyakarta. Klaim yang dibuat oleh para netizen ini memang bisa diperdebatkan.
Apalagi jika kita melihat ke belakang di tahun 2000an yang terjadi pengeboman di beberapa gereja di Indonesia dalam waktu yang bersamaan. Saat itu disebut sebagai masa tergelap dalam sejarah hubungan antar agama di Indonesia. Saya rasa Indonesia belum memasuki kembali masa kegelapan seperti di tahun itu.
Baca juga: Siapa Perusak Makam Salib di Magelang?
Di benak saya terselip sebuah pertanyaan, apa yang sesungguhnya terjadi di Indonesia, sehingga kita disebut dalam keadaan darurat dalam masalah toleransi? Bukan hal mudah untuk menjawab pertanyaan ini. Sebab, sebagai sebuah bangsa yang belum mencapai angka seratus tahun, Indonesia masih bisa disebut muda dalam pengalaman menghadapi perbedaan yang sangat beragam ini.
Walau banyak juga yang mengklaim bahwa kita ini bangsa yang sudah sangat berpengalamn dalan soal menerima perbedaan, karena sudah sejak dulu dipersatukan dalam satu bangsa. Tapi, apakah nilai persatuan tersebut benar-benar terpatri dalam kehidupan berbangsa kita, ini yang membuat pertanyaan di atas sulit untuk dijawab.
Keadaan Indonesia sekarang tidak separah apa yang diklaim para netizen. Kita sedang mengalami situasi berbeda dari awal millenium tersebut. Beberapa perilaku intoleran sekarang tidak lagi mengambil jalan kekerasan fisik seperti yang lazim di beberapa tahun awal 2000an. Kekerasan yang terjadi pada mereka yang berbeda, minoritas, dan terpinggirkan memang masih sering terjadi. Tapi, melihat kekerasan yang terjadi sekarang sejalan dengan apa disebut oleh Pierre Bourdieu, sosiolog asal Perancis, dengan “habitus” dan “kekerasan simbolik”. Melalui dua lema inilah, keadaan Indonesia dalam sengkarut intoleransi dan kekerasan bisa diteroka secara lebih jernih.
Habitus dan Kekerasan Simbolik dalam Bingkai Indonesia
Bourdieu menjelaskan habitus sebagai konsep ketidaksadaran kultural yang mengkonstruksi hubungan manusia dengan masyarakatnya dalam ruang dan waktu tertentu. Teori Bourdieu ini disebut oleh I Ngurah Suryawan, mengutip Bagus Takwin, dikembangkan untuk memahami kompleksitas realitas sosial. Yang mana pertanyaan awal Bourdieu dalam menjelaskan habitus adalah bagaimana suatu pengetahuan dan unsur budaya lainnya disebarkan serta berpengaruh dalam suatu masyarakat. Jadi, menurut I Ngurah Suryawan, habitus adalah kerangka penafsiran untuk memahami dan menilai realitas sekaligus penghasil praktik kehidupan yang sesuai dengan struktur objektif.
Habitus kemudian memungkinkan manusia hidup dalam keseharian mereka secara spontan dan melakukan hubungan dengan pihak-pihak di luar dirinya. Dalam proses interaksi inilah, terbentuk ranah, sebuah jaringan relasi posisi objektif dalam masyarakat. Ranah merupakan metapora yang digunakan oleh Bourdieu untuk menggambarkan kondisi masyarakat yang terstruktur dan dinamis dengan daya-daya penggerak yang dikandungnya. Akhirnya, habitus adalah produk historis manusia yang menciptakan tindakan individu dan kolektif dan karenanya sesuai dengan pola yang ditimbulkan dalam kehidupan sosial.
Kembali ke soal keadaan Indonesia, dalam sudut pandang Bourdieu soal habitus, maka bisa dikatakan bahwa masyarakat Indonesia mulai masuk dalam habitus kekerasan. Dengan semakin sering terjadinya kekerasan dalam struktur sosial masyarakat kita, bahkan sudah masuk level masyarakat paling rendah yakni Rukun Tetangga. Hal ini yang patut kita waspadai adalah dengan semakin sering kekerasan, khususnya kekerasan kepada mereka yang berbeda agama, ras, pilihan politik, dan lain-lain, maka akan terbentuk produk historis yang menciptakan tindakan individu menjadi tindakan kolektif yang semakin condong pada kekerasan pula.
Yang lebih parah adalah dengan semakin sering terjadi kekerasan di Indonesia, membuat negara kita terjebak pada kekerasan simbolik. Bentuk kekerasan yang dikonsepkan Bourdieu ini adalah perilaku pemaksaan sistem simbolisme dan makna terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal itu dialami sebagai sesuatu yang sah dan lumrah. Ada relasi kuasa yang melegitimasi kekerasan tersebut, sehingga ia akan dianggap sah. Selama dianggap sah, maka kekerasan tersebut akan diperkuat oleh kebudayaan dan akhirnya memberikan kontribusi kepada reproduksi sistematis struktur sosial masyarakat, dalam hal ini juga Negara.
Kasus berbau intoleran seperti yang terjadi Yogyakarta, adalah salah satu bukti kekerasan simbolik di Indonesia. Kekerasan seperti ini bisa dianggap lumrah dan sah oleh generasi setelah kita jika tidak ditangani dengan baik. Warisan keragaman yang damai dalam satu negeri bernama Indonesia terus digerogoti secara konstan hingga sekarang. Sehingga, warisan tersebut bisa saja hilang dan berubah menjadi kultur kekerasan yang lazim tanpa disadari oleh masyarakat Indonesia.
Baca juga: Bolehkah Muslim Merusak Kuburan Non-Muslim?
Keadaan inilah yang dikhawatirkan yang akan membawa keadaan darurat di ranah toleransi. Kehilangan atau perubahan kultur bisa disebabkan oleh kekerasan simbolik yang konstan. Sebab, kekerasan simbolik akan bekerja melalui dua cara, yaitu eufimisasi dan sensorisasi. Melalui dua cara inilah yang membuat warisan kedamaian dalam kultur masyarkat akan bisa berubah tanpa disadari.
Eufimisasi biasanya bekerja membuat kekerasan simbolik menjadi tidak tampak. Kekerasan simbolik dalam hal ini bekerja melalui nilai-nilai yang labih halus seperti kepercayaan, kewajiban, kesetiaan, pemberiaan, sopan-santun, dan lain-lain. Contoh proses ini bisa kita lihat dalam kasus pemotongan salib di Yogyakarta. Simbol salib dianggap distrupsi dari kesetiaan bermasyarakat. Minoritas diwajibkan mengikuti nilai-nilai yang disepakati bersama, walau nilai tersebut menghalanginya untuk mengekspresikan keberagamaannya yang mana itu sebenarnya dijamin oleh Undang-Undang.
Sedangkan mekanisme sensorisasi menjadikan kekerasan simbolik menjadi tampak sebagai bentuk pelestarian semua bentuk nilai yang dianggap sebagai “moral kehormatan” seperti kesantunan, kesucian, dan kedermawanan yang kemudian dipertentangkan dengan “moral rendah” seperti kekerasan, ketidakpantasan, asusila, dan kerakusan. Mekanisme ini sering dipakai sekarang ini dalam proses pilpres yang sedang berlangsung, seperti narasi soal kemampuan menjadi imam. Narasi ini memang agak buram, tapi dipergunakan untuk merecoki masyarakat akan ketidakpantasan pada seorang pemimpin kala dia tidak mampu memimpin shalat berjamaah atau menjadi imam. Narasi ini juga bisa kita temukan di isu PKI atau Cina dan lain-lain.
Keadaan inilah yang sekarang melanda Indonesia sekarang ini, kekerasan simbolik mulai merasuk menjadi habitus masyarakat kita. Oleh karena itu, masalah ini memang perlu ditangani dengan serius dan hati-hati. Sebab menanggapi persoalan ini dengan aksi terlalu reaktif, cenderung akan menimbulkan masalah yang baru, yaitu pemaksaan sebuah nilai yang akan menjadi kekerasan simbolik yang baru atau memperparah persoalan politik identitas yang sudah terpolarisasi.
Nyinyir atau merundung pendapat atau perilaku orang lain adalah hal tidak perlu dilakukan saat berhadapan dengan kekerasan simbolik, sebab itu hanya akan memperpanjang dendam dan menambah luka. Di sinilah polaritas identitas akan semakin meruncing yang akan semakin memperparah keadaan. Melawan kekerasan simbolik, harus dengan semakin menyebarkan suara-suara yang kedamaian dan memperjuangkan tradisi masyarakat yang mempertemukan semua unsur agar semakin sering dilakukan, sembari menebar nilai-nilai perdamaian ke seluruh alam.