Habib Rizieq, Prabowo dan Umrah sebagai Strategi Komunikasi Politik

Habib Rizieq, Prabowo dan Umrah sebagai Strategi Komunikasi Politik

Habib Rizieq, Prabowo dan Amien Rais berjumpa di Arab, umroh atau memang itu sengaja untuk membangun komunikasi politik?

Habib Rizieq, Prabowo dan Umrah sebagai Strategi Komunikasi Politik
Prabowo, Amien Rais dan Habib Rizieq berjumpa di Arab Saudi. Ketiganya, belakangan, menjadi sangat dekat. Ijtima Ulama tempo hari yang mendukung Prabowo juga atas rekomendasi Habib Rizieq

Belum lama, media kita dipenuhi dengan berita umrah-nya Amien Rais dan Prabowo. Keduanya lantas bertemu Habib Rizieq di Mekkah. Hadir dalam pertemuan itu: Slamet Maarif (PA 212), Hanafi Rais (PAN), Bernard Abdul Jabbar (PA 212), Abu Bakar Al Habsyi (PKS). Hampir semua media memberitakan peristiwa tersebut. Salah satu narasi yang dibangun adalah tentang bagaimana Amien Rais bisa bertemu Prabowo di tanah suci.

Detik menurunkan berita Begini Momen Prabowo dan Amien Rais Bertemu saat Umrah. Di berita itu, Dradjad Wibowo (PAN) sebagai narasumber mengatakan: Tidak ada pembicaraan politik. Hanya berdoa bersama, saling menanyakan kabar, berfoto, dan menunggu salat subuh. Dradjad lalu merinci awal pertemuan. Ia mengatakan rombongan Amien Rais sudah selesai umrah tapi tetap di Masjidil Haram  untuk salat dua rakaat. Kebetulan Prabowo mengiformasikan akan menuju Masjidil Haram untuk memulai tawaf. Prabowo lantas bertemu Amien Rais usai salat dua rakaat.

Sejatinya, berita yang diturunkan Detik tersebut bergelimang simbol. Umrah, pertama-tama, sudah menunjukkan simbol kesalehan. Prabowo dan Amien Rais seolah ingin menunjukkan diri sebagai sosok yang islami dan berada di pihak pada “umat Islam” dengan menunaikan umrah di tanah suci. Berita di Detik dipertegas dengan detail-detail: menunggu salat subuh, salat dua rakaat, tawaf dan lain-lain. Tentu semua istilah itu bukan tanpa makna.

Dalam kajian komunikasi, sesuatu yang tidak dikatakan terkadang justru lebih penting. Prabowo, Amien Rais dan Habib Rizieq seakan ingin berkata: umat Islam Indonesia, inilah calon pemimpin kalian, pilihlah kami. Kami para pembela Islam, kubu sebelah tidak lebih Islami dari kami. Wahai umat Islam, lihatlah simbol-simbol ini: baju koko kami yang berwarna putih, peci hitam kami dan tentu saja umrah kami ini. Lihat, saat ini kami berkumpul dan bergandeng tangan dengan “imam besar umat Islam”.

Jika boleh menduga-duga, bayang-bayang “kesuksesan” aksi 212 tampaknya masih menjadi pertimbangan utama mereka untuk terus-menerus memepet umat Islam, menarik perhatian lalu mencuri hatinya. “Kesaktian” seorang pemimpin FPI (yang tentu saja lekat dengan 212) sepertinya juga masih diharapkan. Keberhasilan menggulingkan petahana yang cukup kuat (Ahok) ingin diulang kembali.

Namun, apakah manuver mereka akan berhasil? Termasuk menggunakan umrah sebagai strategi komunikasi politik.

Dalam sebuah presentasi, Noorhaidi Hasan (Direktur Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) membincang satu tema yang cukup menarik: Arah dan Masa Depan Politik Islam di Indonesia Pasca-Reformasi. Di awal presentasi Noorhaidi menjelaskan politik Islam, adalah politik yang bersinggungan dengan simbol-simbol, ekspresi, wacana, sistem keyakinan, moralitas dan ideologi keislaman. Jika dilihat secara kritis, apa yang dilakukan oleh para politisi yang bertemu Habib Rizieq di Mekkah dalam kemasan umrah sebetulnya sedang menjalankan politik Islam. Sebagaimana diungkapkan Noorhaidi, ciri politik Islam adalah pemanfaatan simbol-simbol Islam untuk meraih tujuan profan.    

Menariknya, pada 2015 Noorhaidi membuat sebuah riset dengan kesimpulan: citra kesalihan dan simbol-simbol agama yang dimainkan para politisi pada pemilu 2014 tidak cukup memengaruhi preferensi pemilih. Mereka memilih dengan pertimbangan rasional: visi misi partai, rekam jejak, sifat personal, dan komitmen kerakyatan. Uniknya, simbol-simbol agama coba ditampilkan lagi oleh sejumlah politisi kita akhir-akhir ini.

Kita patut bertanya: jika “jualan agama” di 2014 tidak laku, bagaimana di 2018 atau 2019? Memang masih perlu riset mendalam, namun pilgub DKI dengan Anies-Sandi keluar sebagai pemenang beberapa waktu silam mungkin bisa menjadi satu sinyalemen. Bahwa sentimen agama bisa dikelola sedemikian rupa untuk mencapai tujuan-tujuan politik praktis. Meski tak sepenuhnya soal “agama”, pilgub DKI tetap menjadi panggung tersendiri bagi politik Islam.

Melihat kenyataan itu, barangkali muncul pesimisme kita. Bahwa di masa-masa mendatang Islam akan terus ditunggangi habis-habisan. Belum lama, Amien Rais (Ketua Dewan Penasihat Persaudaraan Alumni 212) membuat pernyataan kontroversial: Jokowi akan dilengserkan Allah. Lagi-lagi Allah diseret-seret dalam pertarungan politik yang kadang terasa murahan. Sebelumnya, kita juga tentu masih ingat, Amien Rais membuat pernyataan kontroversial dengan membuat dikotomi partai setan vs partai Allah.

Politik Islam tampaknya mulai kehilangan esensi. Noorhaidi, di akhir presentasinya, membuat catatan penting: politik Islam hanya akan bermasa depan cerah jika dikembalikan ke “jalur yang benar” yaitu politik profetik. Ciri dari politik profetik adalah mengedepankan kejujuran, integritas, moralitas, kesederhanaan, keadilan dan kebajikan bersama. Pertanyaannya, adakah politik Islam kita hari ini menuju ke sana? Rasa-rasanya kok tidak. Wallahu a’lam.