Habib Rizieq Diciptakan, Bukan Representasi Sesungguhnya Muslim Indonesia

Habib Rizieq Diciptakan, Bukan Representasi Sesungguhnya Muslim Indonesia

Habib Rizieq dicitrakan sebagai muslim Indonesia, tapi ternyata bukan representasi yang santun dan toleran

Habib Rizieq Diciptakan, Bukan Representasi Sesungguhnya Muslim Indonesia
Ia dianggap tokoh perlawanan, tapi ia tidak pulang untuk mempertanggungjawabkan kegaduhan by Nurul Huda

Kepulangan Habib Rizieq Shihab (kemudian ditulis HRS) ke Indonesia sempat meramaikan dunia maya sebelum diumumkan oleh salah satu organisasi alumni gerakan 212. Foto tiket pesawat atas nama HRS pun cukup viral di dunia maya. Umat pun menyambut dengan berbagai persiapan, bahkan ada keinginan untuk “memutihkan” bandara Soekarno Hatta, tempat kedatangan HRS dari Jeddah.

Salah satu permintaan dari organisasi alumni tersebut adalah Presiden Jokowi diharapkan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan atau lazim disingkat SP3 atas kasus yang dituduhkan kepada HRS. Kemashlahatan umat adalah alasan yang diajukan organisasi tersebut, agar tidak ada potensi keributan yang akan terjadi misalnya HRS ditangkap ketika menginjakkan kaki di tanah air. Dunia maya pun turut andil menyuarakan potongan video pembacaan permintaan oleh salah satu pimpinan organisasi alumni tersebut.

Dibagikan dan dikomentari oleh banyak netizen yang membuat kabar kepulangan dan permintaan ini menjadi viral dan jadi perbincangan banyak orang. Masyarakat yang antusias pun tak sedikit atas kabar kepulangan HRS ke Indonesia. Dibuktikan kedatangan tak sedikit orang ke wilayah terdekat dengan bandara Soekarno Hatta.

Media sosial dan gerakan bela Islam tahun  lalu cukup berkontribusi dalam membesarkan nama HRS sebagai salah satu aktor umat Islam saat ini. Bahkan HRS “diangkat” menjadi Imam Besar Umat Islam Indonesia oleh sebagian organisasi Islam. (Baca: Habib Rizieq dan Demokrasi ala 212)

Nama HRS semakin melambung di dunia maya pasca aksi 411 dan 212 pun diklaim sebagai salah satu kesuksesan konstruksi media sosial terhadap sosok HRS. Mungkin tidak disadari, media televisi dan radio pun masih dihitung kalah dalam melejitkan nama HRS. Potongan ceramah, meme, bahkan cuma foto selalu menghiasi laman media sosial kita.

Media sosial sekarang ini adalah alat paling diperhitungkan dalam menghembuskan isu, melambungkan atau meruntuhkan reputasi seseorang, hingga menjual barang. Jika kita melirik ke belakang, aksi massa semisal di Mesir dan Korea Selatan adalah juga keberhasilan media sosial. Khaled Said dan Wael Ghonim, pemuda yang melejit namanya di aksi massa Mesir beberapa tahun lalu. Mereka ditangkap oleh polisi setempat atas tuduhan memprovokasi massa untuk berdemo melawan pemerintahan. Ghonim pun menegaskan “Ini adalah revolusi kaum muda di internet dan kini merupakan revolusi bagi semua rakyat Mesir”.

Antara Ghonim dan HRS ada sebuah persoalan yang menarik untuk kita telisik lebih dalam. Apakah kemunculan HRS sebagai tokoh pemimpin aksi massa 411 dan 212, kemudian didaulat menjadi Imam Besar Umat Islam Indonesia ini adalah bagian pencitraan yang dikonstruksi atau representasi dari masyarakat muslim yang sebenarnya?

Pencitraan dan representasi, dalam kajian filsafat, adalah bagai dua sisi mata uang. Representasi atau bermakna menunjukan citra adalah tindakan, pernyataan, atau kenyataan merepsentasi atau direpresentasikan: yang mewakili/melambangkan: citra: gambaran: penampilan dramatis: citra (image) mental.

Defenisi di atas mungkin belum menggambarkan secara penuh apa itu representasi sebab defenisi yang terlalu luas, sehingga perlu ada titik tekan yang bisa menjelaskan cukup detail persoalan ini. Mungkin dalam defenisi mudah representasi bisa diibaratkan bercermin yang menimbulkan bayangan yang ada dalam diri kita. Pandangan ini kemudian menjelaskan bahwa citra pikiran tersebut bersifat pasif, kalaupun aktif yang direproduksi secara gradual dengan proses kreatif.

Dalam perkembangannya, dunia yang ada ini tidak akan mungkin digambarkan secara akurat dan objektif. Dunia bukanlah sesuatu yang apa adanya (given) melainkan efek dari bagaimana ia dipahami dari berbagai sudut pandang. Manusia memahami dunia pada akhirnya melalui perantaraan teks, citra dan cerita. Namun, kita pasti memahami ketiga hal tersebut tidak akan mencerminkan realitas secara jelas dan netral melainkan merepresentasikan dengan kode-kode yang disepakati dalam masyarakat tertentu.

Theodor Adorno dan Max Horkheimer, filsuf asal Jerman, menjelaskan usaha untuk menjelaskan dunia akan sangat tergantung sekali apa yang mereka sebut dengan “mistifikasi ideologis”. Dimana kesamaan atau kesatuan persepsi dalam memahami dunia adalah bagian dari penindasan terhadap kemajemukan pada sebuah nilai dominan yaitu kesatuan.

Padahal kemajemukan manusia pada akhirnya akan menelurkan kekeliruan dalam memahami representasi adalah bagian yang lumrah dalam kehidupan manusia. Oleh sebab itu, objektivitas hanyalah sebuah mitos yang dirancang untuk membuat kita percaya terhadap “realitas” atau “representasi” tersebut.

Kita memahami dunia selalu akan diperantarai oleh sejumlah filter dan saluran: bentuk bahasa dan bentuk representasi yang tidak mencerminkan dunia melainkan mengkonstruksi dunia, sehingga menjalankan atau menentang ideologi-ideologinya.

Oleh sebab inilah, kita patut mencoba memahami ulang kemunculan HRS baik sebagai pemegang komando aksi massa 411 dan 212, kemudian didaulat menjadi Imam Besar Umat Islam ini apakah sebuah representasi umat atau cuma sebagian umat Islam yang setuju dengan beliau? Atau gelar Imam Besar Umat Islam tersebut hanyalah bagian dari pencitraan yang dimitoskan kemudian dikuatkan agar menjadi “kekuatan” dalam mengendalikan massa dibawahnya?

Dua pertanyaan besar ini adalah bagian usaha untuk memahami dunia lebih baik, agar umat tidak terjerumus kepada soal-soal yang berpotensi sebagai pengalihan isu atau terbawa pada arus konstruksi populisme yang akan menjadikan umat ini malah dijadikan komoditas politik yang bisa dimanfaatkan oleh mereka yang punya modal.

Jawaban dua pertanyaan ini akan membuat kita sebagai umat akan lebih hati-hati dalam menegaskan mendaulat seseorang pada posisi penting khususnya dalam bidang agama, sebab akan malah menjadikan agama kita mudah untuk diperalat jika jatuh pada pilihan yang salah.

Saya akan menutup tulisan ini dengan menterjemahkan secara bebas bait pertama dalam kitab Alfiyah Kalamuna Lafzun Mufidun Kastaqim dengan arti “perkataan (baca kehidupan) kita adalah yang seharusnya bermanfaat pada orang lain dan beristiqamahlah dengan itu”.

Gelar Imam Besar Umat Islam dan komando HRS atas dua aksi tersebut sampai saat ini masih terasa lebih pada pencitraan dan cenderung pada apa yang disebut oleh Ernesto Laclau sebagai pemimpin kharismatik dalam gerakan populisme, ini disebabkan gerakan yang beliau komandoi dan gelar Imam Besar tersebut belum bergerak pada ketertindasan manusia atas manusia yang lain.

Fatahallahu alaihi futuh al-Arifin