Publik Indonesia dikejutkan dengan kemunculan seorang habib bernama Zen Assegaff yang memperkenalkan dirinya sebagai Habib Kribo. Sekitar dua bulan lalu, dengan rambut keriting Afro dan gaya pakaian yang kasual, sang habib mulai tampil di kanal Youtube-nya
Habib Kribo dengan sangat keras dan lugas ‘menyerang’ Rizieq Shihab dan Bahar bin Smith. Gaya bicaranya yang lantang, apa adanya, dan dengan diksi yang cenderung kasar, segera berhasil menarik perhatian banyak orang.
Namanya pun sempat menjadi trending topic di dunia maya sejurus setelah ia terlibat debat dengan Eggy Sujana dan Haikal Hassan di sebuah stasiun televisi. Tanpa tedeng aling-aling Habib Kribo menyerang Haikal Hasan sebagai seorang etnis keturunan Yaman non-habib yang berupaya memanfaatkan habaib untuk kepentingan politiknya. Habib Kribo menuduh Haikal Hassan pada dasarnya seorang pembenci habaib.
Haikal Hassan yang tak menyangka akan mendapat serangan seperti itu dari seorang habib, tampak terdesak dan tak mampu memberikan perlawanan yang berarti. Terseraknya jejak digital cuitan Haikal Hassan yang mengatakan bahwa habaib bukanlah keturunan Nabi Muhammad SAW, melainkan keturunan Abi Thalib (ayahanda Sayidina Ali) yang masih kafir ketika wafatnya, tampaknya membuat Haikal Hassan tak berkutik menghadapi serangan Habib Kribo.
Alhasil, sejak saat itu Habib Kribo menjadi buah bibir publik Indonesia, baik yang mendukung maupun yang menentangnya. Ia tiba-tiba melejeit menjadi figur yang ikonik dan fenomenal. Berdasarkan pengamatan atas percakapan-percakapan antar habaib yang saya ikuti, meski tentu saja tak mungkin bisa membuat pengklasifikasian secara rigid mengingat saling silang irisan antar variabel yang satu dengan yang lain, tulisan ini akan mencoba melacak sebab-sebab kemunculan Habib Kribo, dan memetakan pendukung serta penentangnya dari kalangan habaib.
Suara Hati Habaib Non-212
Sejak Rizieq Shihab dan juga Bahar bin Smith mencuat dan malang melintang di panggung politik nasional melalui FPI dan gerakan 212 dengan segala kontroversinya, banyak habaib (dan juga etnis keturunan Yaman yang bukan dari golongan habib) merasa secara sosial berada dalam tekanan beban psikologi.
Meskipun Indonesia bukan negara kesukuan melainkan negara hukum di mana setiap orang bertanggungjawab atas dirinya sendiri, namun lantaran etnis habaib dan keturunan Yaman—sebagaimana etnis keturunan Tionghoa dan India—dianggap berbeda (The Other/Sang Liyan) dari etnis-etnis “pribumi”, maka setiap perilaku buruk dari individu-individu dari ketiga suku itu akan selalu dilihat dan dikaitkan dengan etnisitas mereka. Hal yang sama berlaku pada Sang Liyan dalam keagamaan seperti misalnya Syiah dan Ahmadiyah.
Habaib non-212 baik yang tasawuf maupun yang sekuler, tidak menyukai tutur kata dan gerakan politik Rizieq Shihab dan Bahar bin Smith, namun di sisi lain mereka tak mampu berbuat apa-apa. Suara penolakan mereka tenggelam oleh lantangnya suara Rizieq Shihab dan Bahar bin Smith.
Posisi sebagai Sang Liyan membuat etnisitas keturunan Yaman selalu diikutkan saat publik melihat sosok-sosok Rizieq Shihab dan Bahar bin Smith (juga Yusuf Martak, Haikal Hassan, dan Anies Baswedan). Akibat cara pandang relasi mayoritas – minoritas Sang Liyan seperti itu, maka seluruh habib dan etnis keturunan Arab Yaman menjadi sasaran cemoohan dan hinaan rasial dari para penentang individu-individu tersebut.
Padahal, tokoh habaib dan etnis keturunan Yaman yang terlibat dan mendukung gerakan politik 212 itu tak lebih dari sepuluh orang (Rizieq Shihab, Bahar bin Smith, Hanif al-Athos, Ahmad al-Habsyi, Novel Bamukmin, Yusuf Martak, Haikal Hassan, Anies Baswedan).
Public figure Habaib dan etnis keturunan Yaman di luar 212 jumlahnya jauh lebih banyak, baik yang sebagai ulama maupun yang bukan. Sebut saja Prof. Quraish Shihab, Luthfy bin Yahya, Jindan bin Novel, Alwi Shihab, Husein Jakfar al-Hadar, Ismail Fajri al-Atas, Haidar Bagir, Ahmad Albar, Fachri Albar, Muchsin al-Atas, Najwa Shihab, Tsamara Amany al-Atas, Wanda Hamidah, Muannas Aidid, Sakdiyah Ma’ruf, Nadiem Makarim dll. Namun orang tidak mengaitkan etnisitas saat melihat atribusi dan kontribusi sosok-sosok itu dengan cara yang sama seperti saat mereka melihat Rizieq Shihab dkk.
Beberapa habaib tasawuf mengkritik ceramah-ceramah Rizieq Shihab dan Bahar bin Smith yang dianggap kasar dan provokatif. Namun lantaran mereka patuh pada ajaran Tarekat Alawiyah yaitu menjunjung tinggi etika dan menghindari konfrontasi, mereka tak pernah menyebut langsung nama yang dikritik. Mereka juga tak berpolitik praktis dan tak pernah mencaci-maki. Akibatnya, mereka kalah dalam menarik perhatian media massa dan publik.
Penentangan habaib non-212 kepada Rizieq Shihab dan Bahar bin Smith, baik berupa cuitan dan unggahan video di media sosial seperti yang dilakukan oleh Abdillah Toha, dukungan kepada Jenderal Dudung Abdurahman yang diperlihatkan secara terang-terang oleh Husein Baagil, dan pelaporan Bahar bin Smith ke polisi oleh Husein Shihab, juga tidak cukup kuat mengubah stereotyping atas habaib dan etnis keturunan Arab Yaman dalam benak publik.
Lagi-lagi itu lantaran dalam relasi mayoritas – minoritas, publik melihat perilaku (yang dianggap buruk atau kontroversial) Rizieq Shihab dan Bahar bin Smith dkk dalam perspektif etnisitasnya, namun tidak menggunakan perspektif yang sama saat melihat perbuatan (yang dianggap baik atau wajar) Abdillah Toha, Husein Baagil, dan Husein Shihab dkk.
Faktor-faktor itu membuat banyak habaib non-212—baik yang religius maupun yang sekuler—geram karena harus menanggung getah olok-olok akibat perbuatan buruk sejumlah orang. Dan mereka merasa tak banyak yang bisa mereka lakukan untuk mengatasi masalah itu.
Dari rahim kegeraman dan ketakberdayaan habaib non-212 itulah Habib Kribo lahir. Ia menggebrak dan mendobrak. Ia muncul pada momen yang tepat: Bahar bin Smith sedang berada di puncak kontroversinya yaitu aksi cium kaki dan ceramah soal penyembah pohon.
Habib Kribo dengan keberanian yang mencengangkan, mencaci Rizieq Shihab dan Bahar bin Smith dengan kata-kata kasar yang selama ini sering digunakan oleh kedua habib itu. Dan ia juga langsung menyerang jantung persoalan: kapitalisasi kehabiban untuk tujuan politik. Dan ini yang sangat disyukuri oleh sebagian habaib non-212 yang telah lama menjadi korban “ketiban getah” kapitalisasi kehabiban.
Habib kribo mencela konsep tentang kemuliaan kehabiban (yang selama ini oleh habaib 212 disamakan dengan kemuliaan keluarga inti Nabi Muhammad atau yang dikenal dengn Ahlul Bait).
Terlepas dari kekasaran kata-katanya, banyak habaib non-212 yang meyambut gembira tampilnya Habib Kribo dalam ruang perbincangan publik di Indonesia. Mereka menutup mata soal pilihan diksi dan gaya Habib Kribo yang keras dan vulgar itu, karena ia memang tak memposisikan dirinya sebagai ulama atau pun ustad yang memang musti menjaga kesantunan lisannya. Mereka juga tak terlalu mempersoalkan keliberalan pandangan keagamaan Habib Kribo.
Di mata sebagian habaib non-212, Habib Kribo yang tampil apa adanya, otentik, dan tak berpretensi sebagai seorang intelektual itu, adalah penyambung lidah mereka yang selama ini kelu lantaran suaranya tak terdengar, dan juga tak cukup berani untuk menggunakan diksi kasar dan gaya vulgar. Bagi mereka, setiap serangan kasar Habib Kribo kepada Rizieq Shihab dan Bahar bin Smith, dirasakan seperti kepanjangan kepalan tangan yang selama ini tak kunjung sampai “menjotos” kedua habib politik itu.
Selama ini, dengan kepopuleran dan kekontroversialannya, Rizieq Shihab dan Bahar bin Smith leluasa “meninju” wajah habaib non-212 berkali-kali, sementara Habaib non-212 tak memiliki kesempatan untuk membalasnya lantaran tak memiliki panggung. Dan sekarang tiba-tiba ada orang yang melompat ke dalam ring, mengamuk, dan mengubah skor. Dialah Habib Kribo. Tentu saja banyak habaib non-212 bersorak senang dan merasakan kelegaan.
Habib Kribo tampil seorang diri, dengan segala risiko, mengambil peran sebagai striker tunggal yang menembus jauh ke garis belakang, mengobrak-abrik benteng pertahahanan lawan. Kenyataan bahwa dirinya seorang habib membuat kubu 212 tidak bisa memukul Habib Kribo dengan senjata nasab, atau garis keturunan.
Selama ini senjata itu kerap dipakai untuk meningkatkan daya tawar politik Rizieq Shihab dan Bahar bin Smith saat dalam posisi diserang; bahwa kedua orang itu merupakan cucu Nabi dan barang siapa memusuhi Rizieq Shihab dan Bahar bin Smith berarti otomatis memusuhi Nabi.
Dan karena sekarang yang memusuhi Rizieq Shihab dan Bahar bin Smith adalah seorang cucu Nabi juga, senjata itu menjadi tumpul. Maka digunakanlah senjata yang lain, yaitu isu sektarian: Habib Kribo adalah penganut Syiah. Dan karena menganut “aliran sesat”, ia sudah bukan lagi seorang habib.
Terlepas benar atau tidak Habib Kribo itu pemeluk Syiah, menghapus nasab merupakan sesuatu yang mustahil mengingat DNA bukanlah rajah yang bisa dihapus dengan setrika panas atau teknologi sinar laser. Nasab adalah sesuatu yang mengalir di dalam darah.
Dengan demikian, kubu habaib 212 menjadi kebingungan menghadapi serangan Habib Kribo ini. Dilawan salah, didiamkan salah. Gempuran Habib Kribo ini dianggap bisa merusak konstruksi kemuliaan nasab habaib yang selama ini dirawat sebagai modal politik oleh sejumlah habib.
Apalagi kian hari Habib Kribo kian populer dan mendapatkan banyak pendukung, baik dari habaib dan etnis keturunan Arab Yaman non-212 maupun dari etnis-etnis lainnya di Indonesia yang memiliki kepentingan yang sama yaitu NKRI yang toleran, plural dan setara (meskipun ada juga yang mendukung Habib Kribo karena motif kebencian terhadap Islam dan atau Arab semata). Habib Kribo seperti mewakili kemarahan banyak orang yang selama ini terpendam dan tak tersalurkan.
Isu yang Melebar dan Bergeser
Banyak habaib dan etnis keturunan Yaman non-212 merasa senang berada dalam barisan itu, sampai tiba-tiba Habib Kribo seperti membelakangi idealismenya sendiri. Ia mengeluarkan pernyataan yang bagi habaib non-212 (juga bagi siapa pun yang paham tentang konsep kebangsan Indonesia) sangat rasis dengan mengatakan bahwa habaib dan etnis keturunan Yaman merupakan pendatang dan penumpang di negara ini.
Habaib non-212 dan etnis keturunan Yaman yang nasionalis terkejut dengan ujaran diskriminatif semacam itu. Apa yang dikatakan oleh Habib Kribo dianggap sudah di luar konteks. Itu bukan lagi penentangan terhadap kapitalisasi kehabiban, melainkan pelecehan terhadap salah satu suku yang membentuk bangsa Indonesia.
Dan pernyataan Habib Kribo itu dianggap ironis. Bagaimana tidak, Habib Kribo yang digadang-gadang sebagai figur pluralis, sosok yang dikenal gigh membela hak-hak kaum minoritas etnis (etnis apa pun tentunya) dan agama. Yang kerap bicara soal agama cinta dan kemanusiaan. Namun justru seperti mengajak banyak orang untuk bersikap diskriminatif terhadap bangsa Indonesia dari etnis habaib dan keturunan Yaman.
Habaib non-212 dan etnis keturunan Yaman yang nasionalis tidak pernah merasa dirinya sebagai penumpang. Mereka menganggap Indonesia sebagai negara dan tanah airnya, tanpa embel-embel pendatang apalagi penumpang, sebagaimana juga etnis-etnis yang lain; Jawa, Sunda, Tionghoa, Papua, Batak dll yang telah terikat dalam kontrak sosial pembentukan negara bangsa bernama Indonesia pada 1945 oleh seluruh elemen suku dan agama yang ada di Nusantara.
Habaib non-212 yang nasionalis justru heran jika ada seorang habib—kribo maupun tidak—yang menganggap Indonesia hanya sebagai negara tumpangannya. Alhasil, habaib non-212 dan etnis keturunan Yaman nasionalis melihat kontradiksi pada diri Habib Kribo. Ia yang oleh sebagian habaib non-212 disambut sebagai “Tokoh Pluralis”, “Sang Pendobrak”, dan dielu-elukan sebagai “Super Habib”, justru akhirnya berbalik menyerang para penyambutnya sendiri dengan menghina mereka sebagai kaum pendatang dan penumpang dari negeri tandus dan miskin.
Jika Habib Kribo menolak kapitalisasi kehabiban dan menginginkan keseteraan bagi semua golongan manusia di Indonesia, mengapa ia membeda-bedakan warga negara berdasarkan kelas “asli” dan “pendatang dari negeri miskin”?
Begitulah, kekecewaan habaib non-212 dan etnis keturunan Yaman nasionalis semakin dalam: bukannya fokus pada perlawanan terhadap radikalisme, intoleransi, kapitalisasi kehabiban dan perilaku buruk Bahar bin Smith, Habib Kribo justru makin bersemangat memukul dan menendang ke banyak sasaran, antaran lain dengan menista Arab. Akibatnya, persoalan menjadi berkembang tak tentu arah.
Arab yang bermakna ratusan juta orang penutur bahasa Arab yang mendiami 22 negara di Asia Barat dan Afrika Utara, dari yang berkulit putih Kaukasusian di Suriah sampai yang berkulit hitam Afrika di Sudan. Dari yang menganut Sunni, Syiah, Sufi, Druze, Kristen, hingga yang Sekuler, Liberal, Komunis, Agnostic, dan Atheis. Peradaban kuno pra Islam Nabatean, kelahiran Islam, zaman penaklukan, sejarah kejayaan dan keruntuhan peradaban Arab, diringkus oleh pemahaman Habib Kribo hanya dalam satu entitas: Arab Saudi.
Melalui pernyataannya: Arab tidak berbudaya, tidak punya intelektual, hanya ada Ka’bah, jelas yang ia maksudkan adalah Kerajaan Arab Saudi yang baru berdiri tak lebih dari satu abad lalu. Semua itu menunjukkan bahwa Arab dalam benak Habib Kribo adalah Arab Saudi; sebuah negara kerajaaan absolut yang menganut Islam ultra konservatif di mana sampai beberapa tahun yang lalu perempuan masih tak diizinkan mengemudikan mobil.
Lalu hinaan Habib Kribo terhadap Arab direspons oleh kubu 212 dengan mengetengahkan kehebatan dan jasa-jasa Arab, baik Arab secara umum maupun etnis keturunan Yaman di Indonesia (termasuk yang dengan cara sangat kasar mencaci kenusantaraan). Ada juga yang dengan menyebarkan berita bohong bahwa Imam Bonjol merupakan kakek Rizieq Shihab.
Kemudian respons ini dibalas oleh Habib Kribo dan pendukungnya dengan menghina Arab secara lebih rendah lagi dan begitu seterusnya. Sekali lagi habaib non-212 yang nasionalis merasa terjepit di tengah-tengah situasai sulit dan dilematis. Saling serang ujaran kebencian bernuansa SARA antar kubu Habib Kribo dan kubu Bahar bin Smith sungguh absurd dan tidak baik.
Dengan berbekal kalimat “Saya orang Arab juga, saya habib juga”, Habib Kribo seperti merasa mengantongi tiket yang sah untuk mengumbar kebencian rasial dan kemudian diikuti oleh sebagian pendukungnya. Bahkan, dalam upaya untuk membenarkan pendapatnya soal keburukan Arab, Habib Kribo tak segan-segan mengutip ayat al-Quran dan mengartikannya secara tekstual; satu kebiasaan kelompok fundemantalis yang justru kerap ia kritik.
Lalu terbangun kesan bahwa Habib Kribo sekarang sedang dimusuhi oleh seluruh puaknya sendiri. padahal kenyataannya, Habib Kribo hanya dimusuhi oleh habaib dan keturunan Yaman 212 (bukan oleh seluruh habaib dan keturunan Yaman). Dan fakta bahwa yang memusuhi Habib Kribo juga berasal dari etnis Betawi, Sunda, Jawa, Padang, Batak, Madura dll (tergabung dalam kubu 212), menunjukkan bahwa ini bukan persoalan pertentangan etnis melainkan ideologi politik.
Fakta itu diperkuat dengan keberadaan habaib non-212 “garis keras” yang mendukung Habib Kribo secara membabi buta, membenarkan semua perkataan Habib Kribo. Akibatnya, kritik atas satu atau dua pandangan Habib Kribo akan dimaknai sebagai penentangan terhadap semua manuver Habib Kribo.
Habaib non-212 nasionalis mendukung sepenuhnya upaya Habib Kribo melawan radikalisme, intoleransi, dan kapitalisasi kehabiban. Namun mereka sangat menentang jika ikhtiar itu kemudian dibalut dalam kebencian rasial. Mereka menyayangkan perlawanan terhadap ideologi radikalisme dibelokkan menjadi permusuhan kepada etnis tertentu. Sebab, bukankah yang radikal terdiri dari berbagai macam etnis, sebagaimana juga yang moderat?
Mengusung permusuhan SARA dinilai justru hanya melestarikan kesalahpahaman dan generalisasi yang pada akhirnya hanya akan mengarah pada situasi Baharisme vs Baharisme.
Sementara itu, di balik yang terlihat dan yang terdengar, tangan-tangan struktural yang memeram agenda kekuasaan, secara senyap sengaja memelihara dan mengunci masyarakat dalam suasana turbulensi primordial, yang kelak akan mereka gunakan pada saat yang tepat. Pilkada DKI 2017 dan Pipres 2019 telah menunjukkan bagaimana isu SARA dimanfaatkan sebagai bahan bakar bagi mesin perolehan suara para politisi.
Begitulah, di mata habaib non-212 dan etnis keturunan Yaman nasionalis, peningkatan sentimen SARA seperti itu sungguh tidak sehat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Rasisme—oleh dan terhadap siapa pun—tidak dibenarkan baik dari sisi ajaran agama, nilai-nilai kebangsaan, dan kemanusiaan.
Baca Juga, Habib Rizieq Itu Pimpinan Ormas, Bukan Imam Besar Umat Islam
Apa pun ujung dari perseteruan bernuansa SARA antara Kubu Habib Kribo dan kubu Bahar bin Smith (juga perseteruan politik dan ekonomi yang dikamlufase dengan isu SARA yang lainnya), semoga eskalasi sentimen rasial akan segera berakhir, dan bangsa Indonesia kembali ke jati dirinya sebagai bangsa besar yang plural dan toleran; tidak membeda-bedakan warga negara berdasarkan agama, suku dan asal usul keturunan. Tidak boleh ada yang kelasnya lebih tinggi atau kurang tinggi, lebih asli atau kurang asli, mayoritas atau minoritas. Semuanya setara.
Dan masyarakat Indonesia, termasuk Habib Kribo tentunya, bisa kembali menegaskan arah perjuangannya melawan radikalisme, intoleransi, dan rasisme, untuk Indonesia yang lebih adil, damai, sejahtera, dan maju. [AK]