Habib Bahar populer bukan karena ia memang dicintai, tapi karena kontroversi. Tapi, sebelum ke sana, kita tampaknya sepakat bahwa term habaib kembali semarak di tengah-tengah masyarakat, khususnya Jabodetabek. Dakwah dan ceramah Habib Bahar bin Smith, seorang habib yang baru pertama kali penulis ketahui di tanah perantauan ini, membuat kuping dan dada panas. Begitu nggak sih? Mari kita telusuri.
Soal isi, ceramahnya habib bahar ini selalu membahas solusi bagi umat yang tertindas hak-haknya dan berujung kepada narasi anti pemerintah. Puncaknya, yaitu ketika habib bahar menyebut presiden negeri ini sebagai banci dalam salah satu ceramahnya. Hah?
Selain isi materi ceramahnya, habib Bahar juga mempunyai penyampaian yang bisa disebut –jika tidak berlebihan- luar biasa, minimal bagi jamaahnya. Sebab ceramahnya selalu disampaikan dengan penyampaian yang garang dan menggelora ala anak muda yang sedang idealis-idealisnya menyampaikan gagasan dan idenya. Atau, ngajak berkelahi? Entah bedanya apa, pembaca pasti bisa mengerti jika mendengarkannya
Cara penyampaiannya juga bak orator aksi yang sangat ulung dan handal mengendalikan emosi massa aksi atau dalam konteks dakwah habib Bahar, jama’ahnya yang memang sedikit-sedikit melafalkan takbir. Kok bisa?
Ceramah yang cenderung keras dan sangar ala beliau ini tampaknya menggugah semangat jama’ah militannya menggelora, bahkan berujung kepada pekikan takbir yang membahana. Allahu Akbar!
Meskipun, harus diakui, Habib Bahar ini mempunyai vokal yang sangat luar biasa. Itu terbukti betapa kuatnya beliau ceramah dengan nada dan intonasi yang sangat tinggi, bahkan berteriak selama berjam-jam di depan jama’ahnya.
Namun amat disayangkan, ceramahnya dengan gaya tersebut bukan membawa kedamaian dan angin segar di tengah umat yang sedang butuh sebuah oase di tengah kering kerontangnya perdamaian. Dan justru sebaliknya, malah menambah kegaduhan dan memperuncing hubungan antar sesama umat islam di negeri ini, sekalipun yah, menurut jama’ah militannya, menganggap semua isi ceramahnya sesuai dengan kondisi dan realita hari ini.
Penulis yang masih sangat memegang teguh kaidah “undzur ma qoola wa la tandzur man qoola” ini agak sedikit kurang pas juga dengan gaya dan isi ceramahnya habib Bahar ini sekalipun beliau merupakan seorang habib atau keturunan Rasulullah SAW tanpa mengurangi rasa hormat kepada beliau yang masih sangat amat muda itu.
Jika merujuk kepada definisi habib itu sendiri, menurut ketua Umum Rabithat Alawiyah atau organisasi pencatat data keturunan Rasulullh SAW, Sayyid Zen Umar bin Smith, Habib adalah orang yang mempunyai umur yang matang, memiliki ilmu yang luas, telah mengamalkan ilmu yang dimiliki, wara’ atau berhati-hati, mempunyai akhlak yang baik serta bertaqwa kepada Allah SWT, dan merupakan seseorang yang mempunyai garis keturunan kepada Rasulullah melalui jalur Sayyidina Husein atau yang biasa disebut Sayyid.
Namun demikian, tidak setiap sayyid berhak disebut habib, apalagi jika menyematkan diri sebagai habib. Seseorang bisa disebut sebagai habib setelah mendapatkan pengakuan komunitas setelah memenuhi syarat yang telah disebutkan di atas tadi.
Terlepas dari definisi habib tersebut, habib bahar adalah salah satu sayyid yang sudah terlanjur basah disebut habib oleh jama’ah militannya. Isi ceramahnya pun selalu diikuti dan diamini kecuali oleh sebagian orang yang memang tidak menyukai gaya dan isi ceramah yang berkobar-kobar macam beliau.
Terlebih, setelah kasus yang mencuat baru-baru ini, sebuah video yang menampilkan beliau menyebutkan bahwa pemimpin negeri ini adalah seorang banci. Akibatnya, beliau dilaporkan ke kepolisian dan sudah resmi ditetapkan sebagai tersangka. Bukan hanya kasus itu saja, tetapi juga beliau terjerat kasus penganiayaan terhadap anak di bawah umur dan lagi-lagi dilatarbelakangi video yang beredar dan menampilkan beliau sedang menganiaya seorang anak laki-laki.
Tentunya, hal tersebut mengundang komentar publik baik pro maupun kontra. Jama’ahnya tetap dengan pendiriannya mendukung dan membenarkan ucapan dan tindakannya, namun tidak untuk yang lain.
Tentunya dalam mengamati kasus yang menjerat habib Bahar ini diperlukan kejernihan pikiran, sebab jika langsung berkomentar asal-asalan, bisa jadi akan menimbulkan hal yang fatal.
Setelah ditelusuri, kasus penganiayaan terjadi disebabkan kebohongan 2 orang anak laki-laki yang pernah mengaku sebagai habib Bahar dan keluarganya ketika berada di Bali. Namun yang amat disayangkan, Habib Bahar malah menindak kedua anak laki-laki itu dengan kekerasan, bukan dengan nasihat dan kelembutan seperti yang dicontohkan datuknya Rasulullah SAW.
Nah, kalau sudah begitu, apa tetap layak menyandang gelar Habib atau ia layak diikuti? Udah, jawab aja sendiri.
Hal ini menunjukan bahwa habib Bahar bukan hanya garang di podium saja, tetapi juga di lapangan. Tapi, memang boleh ya garang di lapangan dan fisik menjadi kekuatan atau ngajak berkelahi orang. Harusnya cinta menjadi kekuatan, bukan?
Dan yang pasti, mencintai tidak harus mengamini atau bahkan mengimani setiap perbuatan dan ucapannya. Tetap pada jalur yang benar, mencintai dengan tepat dan benar sesuai hati dan akal sehat. Sebab, masih banyak habaib atau bahkan Kiai dan ulama lainnya yang lebih pantas dan berhak untuk didengar dan diteladani ucapan dan perilakunya.
Dan jangan lupa, habib Bahar masih teramat muda. Mungkin saja setelah menua nanti, beliau bisa lebih arif dan bijak dalam berprilaku serta berucap. Kita tentu mendoakan yang terbaik, bukan?
Wallau’alam bi As shawab.