Cendekiawan Muslim Indonesia, Habib Ali Bagir As-Saqqaf meluruskan kesalahpahaman dalam ittiba’ (mengikuti) dan belajar kepada guru. Parameter seseorang untuk dijadikan panutan itu berdasarkan kapabilitasnya dalam keilmuan bukan karena nasab (keturunan).
Sebelumnya, sempat viral di media sosial ada seorang yang mengaku murid dari habib fulan mengatakan bahwa satu orang habib jahil (bodoh) lebih mulia daripada tujuh puluh kiai alim. Dengan dasar itu, ia mengklaim sejahil apapun keilmuan seorang habib wajib diikuti dibanding tujuh puluh orang alim yang bukan habib.
Bagi Habib Ali, argumen tersebut tak berdalil dan dasar yang jelas. Karena tolak ukur seseorang itu dengan ilmu bukan dengan nasab.
“Al-Ashl (yang menjadi dasar) kita itu mesti mengikuti orang alim, bukan orang yang memiliki nasab,” tutur Habib Ali dalam di kanal Youtube NU Online sambil mengutip perkataan Syeikh Said Fodah, gurunya sewaktu belajar di Lebanon.
Fungsi nasab hanya sebagai murajjih (penguat). Dalam artian, ketika dihadapkan dengan dua pilihan yang setara maka dengan sebab nasab itu ia lebih unggul dari pilihan yang lain. Habib Ali memberikan contoh ketika kita dipertemukan dengan dua orang yang sama-sama alim tapi satu orang memiliki pertalian nasab yang lebih mulia dari orang alim satunya maka opsi pertama tersebut yang kita pilih.
Hal tersebut – menurutnya – terjadi pada mazhab Syafi’i yang di kemudian hari menjadi mazhab yang mayoritas dianut banyak umat Islam seluruh dunia. Pertalian darah Bani Muthalib yang mengalir dalam diri Imam Syafi’I inilah yang menjadikan ia dan mazhabnya lebih unggul (tarjih) daripada tiga imam lain, Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad.
Keilmuan yang dimiliki seseorang itulah yang menjadi standar bagi orang lain untuk mengikutinya. Karena “al-ulama warasat al-anbiya” (para ulama itu menjadi pewaris nabi). Nabi tidak mengungkapkan bahwa pewaris nabi itu dari bangsawan, punya nasab dan keturunan yang baik. Apalagi jika kita telisik secara leksikal, al-ulama itu berasal dari kata “alima” yang berarti tahu dan mengetahui. Berarti, tingkat pemahaman dan pengetahuanlah yang menentukan layak tidaknya orang lain mengambil ilmu dan belajar padanya.
“Ilmu itu nur (cahaya) tapi tidak tidak menurun,” ungkap Pakar Fikih dan Ushul Fikih kelahiran Tulungagung ini.
Adanya nasab tidak menjadi tolak ukur bagi kita untuk mengikutinya, tapi kita tetap wajib menghormatinya. Menurutnya, seseorang sayyid (keturunan Rasulullah) yang non alim, tidak wajib kita ikuti, tapi tetap kita harus hormati. Berbanding terbalik jika sayyid tersebut alim maka wajib kita ikut kepadanya dan men-tarjihnya jika ditemukan ada orang yang setara kealimannya tapi non-sayyid.
Habib Ali juga berkomentar bahwa kema’suman (terjaga dari dosa) itu hanya ada pada dua orang, yakni malaikat dan para nabi. Selain daripada itu, bukanlah ma’sum termasuk pula keturunan nabi (para sayyid). Hal ini penting baginya, karena ada sebagian orang yang berargumen tanpa dasar bahwa keturunan nabi itu juga disebut ma’sum.
Patut digarisbawahi, bahwa nasab itu juga punya efek (baik ataupun buruk). Seseorang yang punya jalur nasab yang baik biasanya akan berdampak baik pada keturunannya, begitupula sebaliknya. Hal ini yang terjadi pada Sayyidah Maryam ketika dituduh zina oleh kaumnya. Mereka merasa aneh dengan kelakuan Maryam karena ayah dan ibunya bukanlah seorang yang dikenal buruk dan pernah berbuat keji. Sama halnya pada doa Nabi Nuh agar dibinasakan kaumnya di muka bumi supaya tidak lahir keturunan yang serupa buruknya. (AN)