Suatu ketika, karib sepersantrian saya, Ismail, menunjukkan bagan silsilah keluarganya. Bila dirunut ke atas, ia ternyata masih bersambung-darah dengan Sunan Gunung Jati.
Sontak saya berkata kepadanya: “berarti ente habib..!”
Ia terdiam sejenak. Saya menangkap gelagat keterkejutan di balik kerut keningnya.
“Masa sih…?!” katanya.
“Iya.. jelas…! Ente tinggal cek aja itu nasab Sunan Gunung Jati ke atas… ujungnya nanti kan ke Rasulullah…,” timpal saya.
“Iya juga ya…,” tutupnya sambil menyengir.
Ismail, karib saya itu, barangkali termasuk satu di antara banyak anak-keturunan para pendahulu bangsa yang tidak menyadari ketersambungannya dengan Nabi Muhammad SAW. Entah karena apa. Bisa jadi karena ia telah terlalu menusantara sampai derajat balung-sumsum.
Ia memang bertubuh pendek. Hidungnya tidak mancung. Di wajahnya tidak pula ada tapak-tilas janggut, jejak-surih cambang, dan suasana kearaban sebagai tolok pandang ke-habib-an hari ini.
Saya tentu tidak akan membicarakan Ismail di sini. Saya hanya akan menghadirkan penelusuran kecil saya perihal para habib (jamaknya: habaib) yang sehari-sehari sering disaksikan oleh masyarakat Indonesia melalui layar kaca.
Rupanya, mereka juga bisa menjadi aktor dalam gulat-geliat industri hiburan di Indonesia. Mulai dari era pra-kemerdekaan hingga saat ini. Wajah mereka hampir setiap hari menghampiri ruang pandang. Sejak era YouTube, Tiktok, dan Instagram melanda pantai peradaban hari ini, wajah mereka merangsek masuk ke dalam anjungan pengidolaan anak-anak muda. Terutama para habaib yang menguasai panggung keagamaan.
Ulasan singkat tentang habaib artistik ini akan saya urutkan dari sekira sebelum kemerdekaan Indonesia. Mereka berkecimpung di bidang kehidupan yang kelak akan dikenal sebagai lahan industri budaya populer.
Maksud budaya popular di sini adalah ide-ide, tindakan, dan hasil karya manusia yang kelak dimanfaatkan oleh para pemodal untuk menghidupkan bara api hasrat berhibur dan penghiburan masyarakat Indonesia. Melalui teknologi alat rekam hingga dunia digital, mereka menjadi subjek sekaligus objek industri hiburan di Indonesia.
Di tulisan ini, saya akan memakai kata “habaib” untuk menyebut lelaki (habib) dan perempuan (syarifah) sekaligus. Sebagian kecil nama habaib pernah saya ulas untuk sebuah situs berita online populer. Tulisan ini akan mengulas kembali beberapa nama itu dengan penambahan data-data baru. Tentu saja akan lebih banyak nama lain di sini.
Para Pelopor: Habaib Generasi 1900-1950
Saya akan memulai dari nama Syech Albar (1908-1947) di Surabaya. Andrew Weintraub dalam Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia’s Most Popular Music (2010) menyebut Syech sebagai satu di antara para pemrakarsa kelahiran musik dangdut di Indonesia.
Ayah rocker Ahmad Albar ini, pada 1937, merekam sejumlah lagu padang pasir lewat album berjudul Zahroetoel Hoesoen. Waktu itu, hampir semua radio yang telah mengudara di Indonesia, hingga kisaran 1950-an, sering menyiarkan album gambus ini. Soalnya rekaman ini diterbitkan oleh His Master Voice. Dari Surabaya juga, pada 1940-an kreatifitas Syech Albar dimakmumi oleh Segaf Assegaf dan Achmad Vad’aq (Tabloid MuMu 1999).
Dari Jakarta, ceritanya tidak jauh beda. Gerakan seirama menyeruak dari tangan SM Alaydroes (Sayeed Muhammad bin Husein Alaydroes). Sayang sekali, saya belum menemukan data ihwal tahun kelahiran dan kematiannya.
Hanya saja ada berita online yang menulis kabar perihal wafatnya tokoh ini di Singapura. Sebagai orang yang kaya raya, ia mendirikan Orkes Harmonium yang memainkan lagu-lagu Arab dan tango dengan memanfaatkan alat musik seperti harmonium, biola, terompet, gendang, rebana, dan kadang-kadang tamborin. Kelak, orkes ini pada 1950-an menjadi Orkes Melayu, tidak sebatas musik gambus.
Husein Aidid (1913-1965), dari Pekojan, Jakarta Barat, pada 1947 menancapkan bendera Orkes Gambus Al-Usyyaag. Ia berkelompok dengan para pemuda Pekojan lainnya yang memiliki kepedulian dan minat pada musik.
Pada 1960-an, ia menerbitkan album dengan judul Orkes Melayu Kenangan yang berisi 8 lagu. Grup ini merupakan leburan dengan Orkes Gambus Al-Wathan pimpinan Hasan Alaydroes.
Biduan-biduanita yang pernah mengiringi Orkes Melayu Kenangan, antara lain, adalah: Suhana, Rasni, M. Assiry, A. Rahman, Ibrahim, Latifah, Juhana Sattar, M.Sidik, Nurseha, M.Zaini, Henny Mariam, R.O. Unarsih, Amir Hamzah, A.Hadi, Mardiana, Asifa AS., Aujum Suar, Babay Suhainy, Nur Farida, Maesaroh, Hindun, Yohana dan Lilis Suryani.
Beberapa tahun kemudian, Umar Alatas hadir dengan Orkes Melayu Chandraleka. Pada tahun 1968, Rhoma Irama yang waktu itu masih bernama Oma Irama bergabung dengan Umar Alatas sebagai penyanyi profesional. Raja dangdut itu terlibat dalam proses rekaman album Pelita Hidup. Ia membawakan dua lagu, Djelita Teruna dan Ingkar Djanji.
Nama Bing Slamet patut dicatat di sini. Pelawak serba bisa bernama asli Ahmad Syech Albar (1927-1974) ini dijuluki sebagai seniman prolifik. Ia tidak saja memasteri panggung tarik suara lintas aliran, melainkan juga dunia akting dalam film, teater, dan tentu saja lawak.
Anak-keturunan Bing Slamet nantinya juga akan terjun ke bidang industri hiburan. Mereka akan dibicarakan di dalam bahasan habaib artistik periode 1990-2000-an.
Ada nama tenar lain yang belum disebut, yaitu Hoesin Bafagih (1900-1958). Hoesin bersama dengan AR Baswedan (1908-1986), kakek Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, tercantum sebagai pendiri PAI (Persatuan Arab Indonesia) pada tahun 1934.
Sehari-hari, Hoesin bertugas sebagai editor majalah Aliran Baroe. Salah satu naskah dramanya, Fatimah (1938), terbilang sebagai karya besar yang berani dan lantang meneriaki ulah culas para rentenir Arab pada masa itu. Setelah Fatimah dipanggungkan di Semarang, Jakarta, dan Surabaya, surat kabar harian di seluruh Indonesia serentak mengalirkan pujian dan sanjungan (Algadri 1984, 26).
Setelah Hoesin, dalam bidang perfilman tercatatlah nama AN. Alcaff atau Achmad Nungcik Alcaff (1925-1992). Habib dari marga “Al-Kaff” yang dilahirkan di Jambi ini telah membintangi film sejak 1951, yaitu Dosa Tak Berampun. Ia memuncaki daftar aktor terbaik Festival Film Indonesia (FFI) pada tahun 1955 lewat perannya sebagai Iskandar dalam film Lewat Djam Malam (1954) garapan Usmar Ismail.
Ada nama lain yang sayangnya tidak terlacak tahun kelahirannya, yaitu Ali Albar. Keterlibatannya dalam dunia film ternyata semasa dengan AN Alcaff. Pada tahun 1965, Ali mendapat peran sebagai pembantu unit merangkap pemain dalam film Segenggam Tanah Perbatasan (1965) yang diperan-utamai oleh Suzanna dan Dicky Zulkarnaen.
Ali juga terlibat dalam film Honey, Money and Djakarta Fair (1970), Putri Solo (1974), Pacar (1974) dan masih banyak lagi. Sebelum mengasyikkan diri dalam semesta perfilman, Ali telah lebih dulu menapaki jalan sebagai penyanyi. Pada tahun 1954-1963, ia tertera sebagai pertugas pengatur rekaman di Studio Irama dan Remaco.
Nama lain yang patut digores di sini adalah Alwi Alhabsyi (1939-1983) atau Alwi Oslan. “Oslan” adalah nama karibnya, Oslan Husein (1931-1972), seorang penyanyi lagu-lagu minang masyhur di era 1960-an.
Duet Alwi dan Oslan terabadikan dalam album Alwi & Oslan di pangkal 1970. Setelah Oslan mengalmarhum, Alwi mengimbuhkan “Oslan” di samping namanya sebagai penghargaan atas saham artistik karibnya itu.
Sejak masih masa kanak-kanak, Alwi telah menekuni drama dan puisi. Ia pernah mementaskan puisi di RRI Jakarta dalam acara Panggung Gembira yang diampu oleh Pak Kasur. Bintang Peladjar (1957) adalah film perdana Alwi. Sejak itu, wajahnya berwira-wiri dalam aneka film, antara lain Iseng (1959) dan Madju Tak Gentar (1965).
Pada tahun 1970-an, Alwi meneruskan pekerjaan orangtuanya sebagai pedagang dan pengusaha. Uniknya, ia tetap menyisakan waktu untuk film. Pinangan (1976) dan Kembang-Kembang Plastik (1977) merupakan bukti cintanya pada film di warsa ini.
Meski tidak masuk ke dalam industri hiburan, namun, nama Hasan Muthahar (1916-2004) patut diulas di sini. Namanya terpatri di dalam daftar tokoh kepanduan di Indonesia. Ia menelurkan karya-karya musikal berupa lagu-lagu nasional yang hingga hari ini masih sering dinyanyikan di berbagai kesempatan secara resmi. Misalnya Syukur (1945) dan Hari Merdeka (1946).
Dirgahayu Indonesiaku, karya terakhirnya, bahkan ditetapkan sebagai lagu resmi ulang tahun ke-50 Kemerdekaan Indonesia. Lagu-lagu ciptaannya yang lain adalah “Gembira”, “Tepuk Tangan Silang-silang”, “Mari Tepuk”, “Slamatlah”, “Jangan Putus Asa”, “Saat Berpisah”, dan “Hymne Pramuka”.
Dari generasi 1940-an tercatat nama besar yang layak disebut setelah tiga nama para perintis di atas adalah Ali Shahab (1941-2018). Ali, adik kandung wartawan-sejarawan pengulas kebudayaan Betawi di salah-satu koran nasional, Alwi Shahab (1936), adalah penulis naskah drama dan film, wartawan, dramawan, karikaturis, dan novelis. Sejak 1969 sampai ajal menjemput, ia telah menerbitkan lebih dari 20 buku termasuk novel. Ia juga menyutradarai beragam film, serial drama di televisi, dan opera sabun.
Rumah Masa Depan, sinetron bermarwah mulia di TVRI pada 1980 adalah satu di antara karya terbaik Ali Shahab. Rahasia Perawan (1971), Ranjang Siang Ranjang Malam (1976), Manusia Enam Juta Dolar (1981) juga termasuk karya terbaiknya dalam bidang film. Melalui film Ciuman Beracun (1976) Ali Shahab mengangkat derajat Ucok AKA dan istrinya, Farida, sewaktu mereka menjadi gelandangan pelarian di Jakarta (Nasyi’ah 2013).
Muhsin Alatas (1944) juga dapat diletakkan dalam barisan ini. Ia pernah dianugerahi gelar penyanyi terbaik dalam siaran ABRI. Ia juga mendapat kehormatan sebagai penyanyi tetap Sriwidjaja Grup dan Gita Bahari Grup.
Bersama istrinya, Titiek Sandhora (1954), Muhsin membintangi banyak film sejak 1970-an. Ia juga berkarya lewat lagu-lagu dalam beragam aliran. Mulai dari dangdut, pop, irama melayu, dan kasidah.
Pada 1946, Syech Albar sang maestro gambus memiliki anak bernama Ahmad Albar. Pada 1970-an, sang anak mulai tampil menggelorakan musik rock Indonesia bersama teman-temannya di Godbless.
Mereka lantas merupa sebagai dewa musik rock di Indonesia yang menginspirasi geliat musik rock Indonesia pada 1980-an. Tidak hanya itu, Ahmad Albar juga terjun ke bidang film, musik dangdut, serta proyek-proyek industri hiburan lainnya.
Bersama dengan Ahmad Albar, ada Syech Abidin Aljufri (1946-2013), drummer grup rock AKA (Apotik Kali Asin) yang dibentuk Andalas Datoe Oloan (1943-2009) atau Ucok Harahap di Surabaya.
Ucok, keyboardis sekaligus vokalis utama AKA, merekrut Syech sebagai tukang gebuk drum, Arthur Kaunang sebagai pembetot bass, dan Soenata Tanjoeng sebagai pemetik gitar. Sebelumnya, posisi Syech ditempati oleh kakak kandungnya sendiri, Zainal Abidin Al-Jufri.
Suara Syech dapat didengar melalui salah satu lagu keramat AKA, Badai Bulan Desember (1973). Ketika AKA bubar, Syech, Arthur, dan Soenata membentuk grup musik SAS. Syech meneruskan jihad musikal di grup musik baru mereka itu.
Ada satu nama yang sering dilupakan banyak pengamat industri hiburan Indonesia, yaitu Achmad Fahmy Alhady, ayah Atiqah Hasiholan. Perkiraan saya, tokoh ini lahir pada 1940-an. Berita mengenai wafatnya disebutkan terjadi pada 2007.
Achmad Fahmy Alhady menikahi Ratna Sarumpaet pada 1972, namun, bercerai pada 1985. Ia tercatat sebagai tokoh yang menghidupkan dunia malam di Jakarta melalui pembangunan tempat hiburan dengan status legal pertama di Jakarta dan kabarnya juga di Asia Tenggara.
Nama tempat hiburan itu beri nama Tanamur, yang merupakan singkatan dari Tanah Abang Timur. Ia mengadopsi pola dan konsep tempat hiburan di Amerika, Jerman, dan Paris. Kapasitasnya dapat dimuati hingga 800- 1000 orang.
Saya yakin masih banyak nama-nama habaib artistik lain dari generasi 1900-1950 yang termasuk di dalam para pelopor industri hiburan di Indonesia. Hanya saja, tidak semua data dapat ditemukan hari ini. Butuh penelitian lebih serius. Terutama terkait eksistensi dokumen, arsip, dan tentu saja produk-produk kebudayaan populer dari masa itu.
Setelah ini, saya akan menyajikan ulasan perihal habaib artistik dari generasi pas 1950-1970-an.