Kolom saya tentang para habib artistik beberapa pekan lalu di platform islami.co cukup mendapat tanggapan beragam dari sejumlah kawan. Sebagian besar perihal ke-belum-tahuan akan status ke-habib-an tokoh-tokoh dunia industri hiburan di Indonesia yang saya ulas, mulai dari Syech Albar, Ahmad Albar, hingga Bing Slamet Albar.
Ada pula tanggapan berupa singgungan perihal peningkatan cuaca panas dalam perkara pernasaban habaib di Indonesia. Terutama terkait hasil kerja ilmiah Kyai Imaduddin Utsman al-Bantani yang berjudul Menakar Kesahihan Nasanb Habib di Indonesia (Maktabah Nahdlatul Ulum Banten, 2022). Sebab resonansi ulasan saya bersilih-asih dengan reaksi habaib di Indonesia yang membantah hasil kerja ilmiah Kyai Imad.
Di luar itu, kolom saya perihal habaib artistik—dan lanjutannya hingga mungkin beberapa edisi ke depan—tentu akan tetap diteruskan.
Sebagai informasi, konsepsi tentang habaib yang berada di Indonesia dan di mana saja “telah mengurat-akar” sebagai sosok yang dimuliakan berkat persambungan darah mereka dengan Nabi Muhammad SAW. Hal ini terus saja berlangsung sekalipun mungkin klaim geneologis itu bisa dibantah dengan riset ilmiah.
Tapi sejarah memang demikian. Perbantahan dan pertarungan ilmiah merupakan amal lumrah. Ilmu pengetahuan terus berkembang seiring kesungguhan manusia menangguk penerangan.
Nalar Penelisikan
Penting saya kemukakan nalar penulisan dalam ulasan saya di kolom ini dan lanjutannya ke depan.
Pertama, di kolom sebelumnya saya tidak menyebutkan bahwa habaib yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang diyakini sebagai sosok-sosok yang bersambung-darah dengan Nabi Muhammad SAW di Indonesia.
Istilah “bersambung-darah” ini, dalam pemahaman saya sendiri, berarti mencakup keberadaan darah secara turun-temurun dan naik-menaik di dalam tubuh manusia. Baik laki-laki maupun perempuan, jika memiliki persambungan-darah dengan Nabi Muhammad SAW, maka saya menyebut mereka di sini sebagai habaib.
Jadi, ulasan ini dan kelanjutannya akan memasukkan nama-nama para pemilik ketersambungan-darah dengan Nabi Muhammad SAW baik dari jalur ayah maupun jalur ibu yang terlibat dalam aktivitas industri budaya populer.
Meskipun memang, secara umum pemilik ketersambungan-darah dari jalur ibu sering tidak diakui oleh otoritas pernasaban habaib di berbagai wilayah. Bagi saya, hal itu tidak masalah, jika kita berpulang pada konsepsi otoritas pelegitimasi ke-habib-an dan ke-syarifah-an.
Hanya saja, darah ke-habib-an atau ke-syarifah-an, meskipun dari jalur ibu, tidak dapat dinafikan. Siapa yang mampu membuang darah di dalam tubuh manusia dan menggantinya dengan darah baru? Darah mengalir dan terwariskan turun-temurun di dalam tubuh pemilik darah. Ia melestari sekalipun menaik dan menurun melalui jalur perempuan. Sekali lagi, siapa yang dapat menafikan keberadaan darah di dalam badan? Tidak ada.
Kedua, ulasan tentang habaib artistik ini dan kelanjutannya nanti juga akan memasukkan nama tokoh-tokoh atau artis yang bersambung-darah dengan Nabi Muhammad SAW melalui jalur Wali Songo dan para raja-raja atau sultan di Nusantara.
Beberapa di antaranya adalah para Tu Bagus dan Ratu dari Banten yang memiliki silsilah ke atas hingga ke Sunan Gunung Jati dari berbagai jalur. Hanya saja, karena mereka sudah “terlanjur” menusantara, identitas kehabiban mereka sering tidak terpindai, tidak tampak, dan bahkan kerap diacuhkan oleh banyak pihak. Berbeda dengan anak-keturunan habaib dari hadhramaut yang masih terlihat ciri fisiologisnya dan terutama penyematan marga di belakang namanya.
Jika dihitung dari sisi sejarah, habaib jalur Wali Songo dan para Sultan di Nusantara lebih dulu masuk ke Indonesia, yaitu sekira abad ke-10 hingga ke12.
Saya bahkan pernah menziarahi makam tua di Wonosobo yang menurut para peneliti sejarah setempat diyakini sebagai makam anak kandung Ali Zainal Abidin al-Sajjad bin Husein bin Ali bin Abu Thalib. Sedangkan habaib jalur hadhramaut, dalam catatan para ahli, diperkirakan baru masuk ke nusantara pada abad ke-18.
Ketiga, ulasan kali ini akan mengisari habaib artistik dari generasi 1950-1960-an. Ada banyak nama yang termasuk sebagai penyulut geliat industri budaya di Indonesia, terutama sejak era pertumbuhan budaya hiburan di zaman Orde Baru (1966-1998). Hingga jerih keringat mereka menginspirasi generasi 1970-1980-an hingga 2000-an untuk terus mengusap-usap dunia industri hiburan di Indonesia hingga kilaunya semakin mengilap.
Generasi 1950-an
Nama pertama yang saya bariskan di sini adalah Camelia Malik (1955). Ia merupakan anak Djamaludin Malik dan Farida Al Hasni (1928-2015).
Jadi, ia memiliki darah “kenabian” dari jalur ibunya, Farida Al Hasni, yang juga merupakan ibu kandung Achmad Albar. Farida dinikahi Djamaluddin Malik, yang dikenal sebagai bapak industri film Indonesia, setelah syarifah dari marga Al Hasni itu bercerai dari Syech Albar. Camelia Malik, dengan demikian, adalah adik tiri rocker Ahmad Albar.
Camelia Malik mulai merambah dunia film sejak usianya 16 tahun. Ia pernah membintangi film Ratna (1971). Di sana, ia menjadi lawan main Rachmat Kartolo (1938-2001).
Camelia Malik mulai menceburkan diri di bidang tarik suara pada 1970 berkat polesan suaminya saat itu, Reynold Panggabean (1951), melalui lagi Colak-colek. Lagu ini meledak dan mensejajarkan namanya dengan Rhoma Irama, Muchsin Alatas, Elvy Sukaesih, Rita Sugiarto dan Ellya Khadam.
Sejak itu, ia terus bernyanyi dengan lagu-lagu dangdut legendaris melalui album Raba-raba (1980), Ceplas-ceplos (1981), Gengsi Dong, Wakuncar, Murah Meriah dan Rekayasa Cinta (2002).
Rupanya, album-album tersebut sukses di pasaran, bahkan banyak yang telah difilmkan. Bintang kesuksesannya terus melangit melalui film-film seperti Nada-Nada Rindu (1987), Jaka Swara (1990) bersama Rhoma Irama, dan masih banyak film lainnya.
Selanjutnya, nama Fahmi Shahab (1956) patut saya bariskan di sini. Sang pelantun lagu Kopi Dangdut itu, sebelumnya, selama sekira 20 tahun ia menjadi Disk Jockey (DJ).
Lagu Kopi Dangdut tercipta melalui permintaan rekannya dari Jepang. Lagu ini awalnya berjudul Cofferumba (1962) yang berasal dari Venezuela. Pertama kali lagu itu dilepas ke ruang publik di Jepang pada 1991. Setelah persoalan izin selesai, barulah ia diluncurkan di Indonesia medio 2000-an.
Dari jalur dangdut masih ada nama Rama Aiphama. Nama aslinya adalah Sayyid Mohammad bin Syagab Al-‘Idrus (1956-2020). Pedangdut berdandanan unik ini mulai masuk ke dunia industri hiburan pada 1981.
Bermacam aliran musik bisa ia mainkan. Mulai dari musik melayu, dangdut, reggae, dan keroncong. Rama Aiphama dianggap telah memuncaki karir pada 1990-an, terutama melalui lagu daur ulang Dinda Bestari (1995).
Album-album yang ia luncurkan antara lain adalah Aku yang Merindukanmu (1981), Ratna (1987), Dinda Bestari (1995), Keroncong Disco Reggae (1996), Kroncong Disco Reggae Vol. 2 (1996), Jawa Disco Reggae (1997), Torang Samua Basudara (1999), Pesona Melayu (2001), Keroncong Jaipong Dangdut (2003).
Selain itu, Rama Aiphama juga dikenal sebagai pemilik beberapa perusahaan rekaman sepeeti Violetta (1981), Atlantic (1987), Bom Bom (1995), MSC (1996), Musika Selaras Citra (1999), dan EMI Music.
Apakah dari generasi 1950-an masih ada nama-nama lain? Kemungkinan besar masih. Tapi butuh penelitian lebih dalam dan lanjutan.
Generasi 1960-an
Nama Ratna Lusiana Albar (1963) atau Uci Bing Slamet patut disebut di sini. Anak pertama Bing Slamet ini, dalam dunia layar lebar, tercatat mulai diperhitungkan sejak membintangi film Kisah Cinta Tomi & Jeri (1980).
Di film itu, Ratna Lusiana Albar berpasangan dengan Rano Karno. Di dunia serial, ia pernah membintangi Ketika Cinta Bertasbih Spesial Ramadhan (2010), Tukang Bubur Naik Haji: The Series (2012-2017), dan Love Story: The Series (2021-2022).
Dalam dunia tarik suara, Ratna Lusiana Albar adalah penyanyi lagu-lagu semacam Bukit Berbunga (1981), Kenangan di Desa (1982), Masih Adakah Rindu (1983), dan masih banyak lagi lainnya. Ia dikabarkan sempat menikah dengan rocker Gito Rollies, namun, bercerai.
Adik Uci, Ferdinand Syah Albar (1966) atau Adi Bing Slamet, juga terjun ke dunia industri hiburan. Ada bertumpuk karya sosok yang sempat berkonflik dengan Eyang Subur pada pertengahan 2000-an ini.
Beberapa di antara karya duetnya dengan sang adik, Iyut Bing Slamet, adalah Adik Manis, Aduh Aduh Mana Tahan, Alam Pusaka, Dusun Kecil, hingga Bunga Asmara Yang Bersemi.
Bahkan, Adi Bing Slamet juga terhitung aktor yang membintangi berbagai film dan sinetron, di antaranya Tiga Sekawan (1975), Ateng Kaya Mendadak (1975), Anak Emas (1976), Deru Debu (1996), Generasi Kocak: 90an vs Komika (2017), dan lainnya. Itu belum terhitung sinetronnya seperti Kisah Sedih Di Hari Minggu (2004), Entong Santri Cilik (2015), Jagoan Wushu (2015), Warteg DKI (2017-2018).
Adik Adi Bing Slamet, Ratna Fairuz Albar (1968) atau Iyut Bing Slamet, juga ada di dalam barisan para pelecut industri budaya. Iyut merupakan lulusan dari Home College di Sydney, Australia, jurusan Manajemen Perhotelan.
Beberapa film yang ia bintangi seperti Merpati Tak Pernah Ingkar Janji (1986), Bilur-Bilur Penyesalan (1987), Mutiara Di Katulistiwa (1990), dan banyak lagi. Termasuk pula sinetron Mutiara Cinta (1995), Mody Juragan Kost (1993). Dalam dunia tarik suara, Iyut pernah menerbitkan album solo Bingung Nih Yeh, Keresahan, Anggrek Ungu Muda, dan album duet dengan kakaknya, Adi Bing Slamet, yang telah disebut di atas.
Dari jalur industri budaya keislaman populer, ada nama Haddad Alwi (1966). Habib dari marga Assegaf ini sempat memuncakki ruang kebersuaraan Islam pada 1900-an akhir hingga 2000-an berkat album salawat berjudul Cinta Rasul I (1999) dan Cinta Rasul II (2000).
Lagu-lagu salawat dari dua album ini masih sering didaur-ulang oleh berbagai penyanyi religi. Lebih sering lagi, lagu-lagu itu dibawakan oleh grup hadroh atau rebana yang mulai menjamur di Indonesia sejak awal 2010-an.
Sebelum Habib Syech Assegaf mendominasi panggung-panggung salawat di Indonesia, Haddad Alwi telah lebih dulu memupuk kecintaan pada salawat melalui dua album legendarisnya itu. Dapat dikatakan bahwa fondasi panggung salawatan Habib Syech, diakui atau tidak, merupakan hasil perjuangan Haddad Alwi.
Dari jalur musik rock, ada nama Bakar Bufthaim (1967-2022). Bakar adalah drummer grup Rotor yang ikut menghidupkan gelora music rock-metal di Indonesia. Bersama Irfan Sembiring, rotor menjadi grup musik pembuka konser Metallica di Jakarta pada 1993.
Bakar juga tercatat pernah menjadi additional dan session player sejumlah artis dan grup musik ternama. Beberapa di antaranya adalah Edane, Ikang Fawzi, Anggung C Sasmi, Doddy Katamsi, Nicky Astria, hingga acara-acara besar di televisi. Marga Bufthaim atau Abu Futhaim sendiri adalah marga cabang dari Al Bin Syekh Abu Bakar (BSA).
Ada satu habib yang cukup rapat merahasiakan nama aslinya, yaitu Ben Sohib (1967). Ia bermarga Shahab.
Dwilogi novelnya, The Da Peci Code (2006) dan Rosid & Delia (2008) diadaptasi ke layar lebar melalui film 3 Hati Dua Dunia, Satu Cinta (2010). Hasilnya, film ini terpilih sebagai film terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2010. Ben Sohib juga pernah menulis skenario film Bidah Cinta yang mulai ditayangkan di bioskop seluruh Indonesia pada Maret 2017.
Kembali ke dunia tarik suara, ada nama Nita Tilana (1967-2000). Ia adalah anak dari Tubagus Ahmad Darajat, yang terhitung berdarah habaib dari jalur keturunan Kesultanan Banten. Jalur ini bila ditarik ke atas akan tersambung dengan Sunan Gunung Jati.
Nita pernah menjadi penyanyi latar dan sempat pula menjadi vokalis Slank. Ia juga sempat menekuni dunia presenter di acara Panorama yang disiarkan oleh ANTV.
Sebenarnya Nita sempat memproduksi album solo berjudul Kau Bohong (1992), namun resonansinya tidak terlalu terdengar meskipun telah dipoles oleh para musisi ternama seperti Adi Adrian dan lainnya. Pada tahun 2000, Nita meninggal dunia karena penyakit kanker leher rahim.
Susulan Generasi 1900-1940-an dan Bani Koeswoyo
Dari generasi 1900-1940-an, ada nama yang di kolom sebelumnya belum saya ulas, yaitu drg. Fadly. Aktor yang bernama-gelar lengkap Aji Raden Sayyid Fadly (1944) ini berprofesi resmi sebagai dokter gigi.
Hanya saja, keturunan bangsawan Kalimantan ini dikenal oleh publik industri hiburan di Indonesia sebagai artis. Ia pernah membintangi film Bunga Putih (1966), Dikejar Dosa Dayat (1974), Jinak Jinak Merpati (1975), Ratu Pantai Selatan (1980), dan sejumlah serial televisi hingga saat ini.
Nama lain yang juga penting diutarakan di sini adalah Fuad Hassan (1942-1974). Sosok ini merupakan penggebuk drum pertama Godbless.
Penelusuran saya hingga saat ini belum menemukan Fuad bermarga apa. Kemungkinan besar ia juga bermarga Albar, seperti sepupunya, Ahmad Albar. Ia meninggal dalam peristiwa kecelakaan di Pancoran, Jakarta.
Bersama Fuad, Godbless belum sempat menelurkan album. Hanya saja, peran Fuad sangat besar di sana. Ia diibaratkan juragan penyedia rumah bagi orang-orang hebat yang akan menempatinya. Ia tercatat pernah mendirikan grup musik di Italia, dan selama di Jakarta pernah pula ngejam dengan Gipsy di Jalan Pegangsaan.
Ada pula nama-nama fenomenal lain seperti Bani Koeswoyo yang nantinya membentuk grup musik legendaris, Koes Brothers dan Koes Bersaudara pada 1950-1960-an. Sebagian besar anggota grup musik ini dilahirkan pada 1930-an.
Koes bersaudara, menurut satu versi, masih terhitung sebagai keturunan Sunan Drajat. Dari sinilah darah kehabiban mereka dapat dilacak. Sebab, Sunan Drajat adalah anak Sunan Ampel bin Sayyid Maulana Ibrahim Asmara bin Sayyid Jumadil Kubra, yang bila terus ditarik ke atas, akan sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
Versi lain menyebutkan bahwa leluhur Koes Bersaudara adalah Sunan Muria. Sedangkan Sunan Muria, seperti telah diteliti oleh Agus Sunyoto dalam buku Atlas Walisongo (2012), adalah anak Sunan Kalijaga. Wali legendaris ini jika ditarik ke atas, akan bersambung-nasab dengan Abdul Muththalib atau kakek Nabi Muhammad SAW. Jika sisi ini yang dipakai, maka tidak masalah. Sebab mereka masih bertemu-darah dengan Nabi Muhammad SAW dari jalur “atas”.
Di ulasan ini, karya-karya Koes Bersaudara yang kemudian menjadi Koes Plus tidak saya sebutkan panjang kali lebar kali tinggi di sini. Para pembaca bisa menelusuri hingga renik paling rinci secara mandiri di dunia maya maupun dunia nyata. Termasuk kiprah dan karya Bani Koeswoyo pasca Koes Plus yang juga terlibat di dalam dunia industri hiburan di Indonesia sejak masa kanak mereka.
Wa ba’du, tidak sedikit pula yang menelurkan album musik dan bermain film. Misalnya Louisa Herning Hapsari atau Sari Yok Koeswoyo (1968), Mirza Riadiani Kesuma atau Chicha Koeswoyo (1968), Rangga Panji atau Angga Koeswoyo yang sempat menjadi pemain gitar dari grup band Junior (Koes Plus Junior), David Koeswoyo, dan juga Damon Koeswoyo (1973) gitaris grup musik 1990-an, Kidnap Katrina, yang juga digawangi oleh Anang Hermansyah.
Kira-kira inilah hasil penelusuran ihwal para habaib artistik dari generasi 1950-1960-an ini. Sekali lagi, pasti di sana-sini masih banyak nama lain yang luput dari pemindaian saya.
Ulasan selanjutnya akan menyangkut pada habaib artistik dari generasi 1970-1980-an. Perkiraan saya, tulisan itu akan menjadi lebih panjang. Sebab pada 1980 hingga 2000-an, lahir nama-nama habaib artistik baru yang membludaki dunia industri hiburan di Indonesia melebihi generasi sebelumnya. Wallahu a’lam…