“Indonesia ini rumah kita, jangan mempertanyakan ia patut ditinggali atau tidak!”
Demikian cuplikan nasehat Gus Mus (sapaan hangat KH. Ahmad Musthofa Bisri) pada satu kesempatan Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh KMNU UGM (13/11/2021). Seminar Nasional bertajuk “Merekonstruksi Humanisme, Iman, dan Ilmu dalam Rangka Membangun Peradaban” ini menghadirkan tiga pembicara: H. Taj Yasin Maimoen, Dr. Fahruddin Faiz, dan Gus Mus.
Lewat dua poin besar seperti “Indonesia tempat tinggal kita bersama” dan “Mempertanyakan kelayakhuniannya”, kiranya cukup untuk menjadi alasan mengapa kita harus tetap mencintai tanah air dan segenap tumpah darah Indonesia.
Untuk diketahui, Gus Mus bisa bilang seperti itu juga bukan tanpa alasan. Beliau sejak awal ingin mengingatkan kepada kita semua tentang pentingnya mensyukuri karunia Allah SWT.
“Sebab orang itu tidak bisa bersyukur kalo tidak sadar terlebih dulu adanya anugerah yang telah diberikan” terangnya.
Memang demikian lazimnya. Untuk mensyukuri sesuatu, seseorang perlu terlebih dahulu menyadari keberadaan sesuatu yang akan disyukuri. Maka dari itu beliau menjelaskan bahwa dalam konteks ini sekurang-kurangnya ada beberapa hal yang patut kita syukuri bersama.
Pertama, kita ditakdirkan oleh Allah SWT sebagai bagian dari penduduk Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan beraneka ragam kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dipunyainya. Hal ini perlu disadari bersama-sama sebagai tahap permulaan di dalam melatih diri agar menjadi pribadi yang pandai bersyukur. Tanpa kesadaran asasi dari masing-masing orang tentang anugerah menjadi bagian dari warga Indonesia, niscaya rasa syukur itu tidak akan pernah tertanam dalam relung hatinya.
Untuk menanamkan kesadaran asasi dari masing-masing orang, Gus Mus membuat tamsil berupa kesedian setiap orang untuk melestarikan dan merawat Indonesia ini sebagaimana mereka menjaga rumah atau tempat tinggalnya sendiri. Normalnya orang pasti tidak menghendaki terjadi kegaduhan, kekacauan atau bahkan kerusakan dengan rumahnya. Sebaliknya, justru mereka mengidam-idamkan ketenangan dan ketentraman di dalam tempat tinggalnya. Demikian halnya keberadaan Indonesia sebagai rumah bersama setiap warga negara yang bernaung di dalamnya.
‘Rumah besar’ yang dihuni oleh ratusan kelompok etnik atau suku bangsa ini sudah seyogianya menjadi milik dan tanggung jawab bersama. Rusak atau lestarinya rumah ini tentu saja tergantung bagaimana penghuninya bersikap. Seandainya ada di antara pihak-pihak yang mengatasnamakan diri merawat Indonesia tetapi justru perilakunya mencerminkan tindak kekerasan dan intimidasi, maka ketahuilah bahwa sebetulnya ia sedang berkamuflase. Sebab tindakan merawat dan menjaga adalah bentuk ekspresi kecintaan, sedangkan tindak kekerasan tak lain adalah cerminan dari kebencian. Keduanya adalah dua hal yang saling menegasikan.
Selanjutnya, Gus Mus juga mengingatkan adanya satu anugerah besar yang sering kali tidak disadari karena dinilai saking wajarnya kenikmatan itu. Nikmat agung itu ialah kita ditakdirkan sebagai makhluk hidup yang bernama ‘manusia’ dengan segala atribut kemuliaan yang dimilikinya. Padahal di muka bumi ini banyak sekali jenis makhluk hidup ciptaan Allah Swt, tapi kok ndilalah kita yang dikehendaki untuk mengemban amanah khalifatullah fil ardli. Dalam salah satu literatur Islam dijelaskan apa itu amanah khalifatullah fil ard:
مَعْنَى الخلافة والأمانة: الإِعْتِنَاءُ وَ الرِّعَايَةُ بِالإنْسَانِ أَوَّلاً ثُمَّ بِغَيْرِهِ مِنَ الْكَائِنَاتِ
“Khalifatu fil ard merupakan sikap kepedulian dan perlindungan terhadap sesama manusia maupun makhluk hidup lainnya.”
Keterangan tersebut dapat dijumpai pada karya Syaikh ‘Ali Jum’ah berjudul al-Biah wa Al-Hifaz ‘alaiha min Manzurin Islami. Lebih lanjut di kitab tersebut dijelaskan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia di muka bumi ini memiliki tanggung jawab untuk melestarikan alam dan melindungi lingkungan hidupnya. Hal itu sebagai kompensasi atas anugerah yang telah diberikan berupa ditundukannya alam untuk melayani dan memenuhi kebutuhan manusia.
Berdasarkan penjelasan Syaikh ‘Ali di atas, kita menjadi tau bahwa keberadaan makhluk hidup lainnya sebetulnya sebagai sarana untuk melengkapi dan mencukupi kebutuhan hidup manusia. Ini sekaligus juga menjadi penanda bahwa manusia dibandingkan makhluk hidup lainnya mempunyai posisi yang istimewa.
Berkaitan keistimewaan dan kemuliaan manusia inilah kemudian Gus Mus mengutip ayat al-Qur’an: Dan sungguh Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna (al-Isra’: 70). Namun demikian, kemuliaan dan keistimewaan yang melekat pada manusia tidak lantas menjadikan diri kita menjadi terlena dan merasa jumawa karena ternyata tanggungjawab yang diembannya juga begitu berat.
Pesan keindonesiaan dan kemanusiaan yang disampaikan oleh Gus Mus tadi kiranya sangat relevan dengan realitas keseharian kita. Dengan menyadari kemajemukan penduduk Indonesia serta selalu mengedepankan sisi kemanusiaan kita di dalam upaya merawat dan menjaga persatuan maka niscaya akan tercipta keharmonisan hidup.
*) Artikel ini adalah hasil kerjasama islami.co dan Jaringan Nasional Gusdurian untuk kampanye #IndonesiaRumahBersama