Pada sebuah wawancara tahun 1991, Gus Dur pernah ditanya wartawan Majalah Tiara. “Anda bangga bertemu dengan pejabat luar negeri?” tanya wartawan penuh selidik. “Ah, sama-sama manusia kok,” jawabnya enteng seperti biasa.
Lalu diburunya jawabannya itu dengan penjelasan Gus Dur yang lain. Yang membuat dirinya bangga bertemu dengan orang luar itu, katanya, sangat sedikit. “Di antara yang membuat saya bangga itu ketika seorang pendeta Hindu dari India Swami Shanti Prakash datang ke sini,” tambahnya seperti dikutip dalam Tabayun Gus Dur (LkiS, 1998).
Gus Dur lalu mengisahkan bagaimana pertama kali bertemu Prakash. Saat Dirjen Hindu Budha Diputre datang di acara yang diselenggatakan di Pasar Baru itu, Prakash tetap duduk di singgasana yang agak tinggi. Saat seseorang membisikinya bahwa Gus Dur datang, Prakash berdiri lalu merangkul seperti seorang sahabat lama yang baru bertemu setelah puluhan tahun berpisah. Kepada Gus Dur, Prakash bilang menitip umat Hindu di sini pada mantan ketua PBNU itu.
“Dia itu termasuk 20 orang pendeta yang tiap tahun kakinya dicuci presiden India sebagai air susu. Setiap hari memberi makan tiga juta orang di seratus delapan Candi yang dikelolanya. Dari Derma yang dikelola orang kaya dikumpulkan, dipakai buat beli makanan”.
Setelah menyebut sejumlah keutamaan Pendeta Prakash itu, Gus Dur melempar pertanyaan sekaligus tanda kekaguman dan penghormatannya. “Coba bayangkan manusia yang begini apa bukan manusia yang mulia? Dia menerima saya sebagai saudaranya itu, kan bukan main.”
Pendeta Prakash buta. Menurut sebuah artikel, ia buta sejak duduk di kelas empat sekolah dasar lantaran penyakit cacar. Orang tuanya sangat sedih dengan kenyataan itu dan berusaha mengobatinya ke sana kemari. Walhasil Prakash, si cahaya perdamaian itu (arti dari prakash shanti) tetap hanya mampu melihat kegelapan. Seseorang pernah membesarkan hati sang Ayah. Meski kehilangan penglihatan, kata orang itu, tapi Prakash bakal memberi jalan spiritual bagi banyak orang. Ramalan itu tak salah. “Sebagai orang buta dia punya mata hati,” kata Gus Dur lagi.
Malam ini saya membaca dari dinding facebook layar potong berisi gambar Mbak Alissa Wahid yang tengah diwawancari wartawan dengan tulisan warna putih: “Anak si Buta”. Gambar itu diposting kembali dalam akun twitter puteri pertama Gus Dur ini dengan tulisan: “Dikirim sreencap instagram ini. Katanya : Anak si Buta. YES I AM AND PROUD OF IT.”
Terus terang melihat dan membaca ini saya bersedih hati, sekaligus bangga. Sedih karena kebutaan, hal yang tak bisa ditolak, menjadi bahan olok-olok. Olok-olok ini berarti pula pada olok-olok pada setiap orang buta di dunia ini. Bangga lantaran menangkap kesan ketegaran Mbak Alissa atas peristiwa yang pasti sudah dialaminya untuk kali kesekian. I am Proud of you, Mbak Alissa! Saya bangga, Mbak Alissa.