Momentum Imlek tidak hanya menjadi peristiwa penting bagi orang Tionghoa, namun telah menjadi bagian dari peristiwa lintas etnis. Tahun Baru Imlek 2567 ini menjadi momentum refleksi kebangsaan, di tengah kontestasi politik, konspirasi antar elit. Imlek menjadi media komunikasi antar etnis, budaya dan agama. Di Indonesia, Imlek tidak hanya dirayakan orang Tionghoa dalam tradisi Konghucu semata, namun menjadi bagian dari tradisi komunal yang mempertemukan ragam budaya. Dari sana pula, kita bisa kita saksikan narasi panjang historiografi Nusantara.
Perayaan Imlek kali ini menjadi momen untuk merenungkan perjuangan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ketika situasi politik, hukum, agama dan budaya yang terus digerus oleh kepentingan primordial ataupun kerakusan elit di panggung kuasa, kiprah Gus Dur menjadi perenungan bersama. Gus Dur, dalam hal ini, tak hanya direnungi sebagai pribadi dengan segala kontroversi, namun ia menjadi monumen sejarah dalam spektrum kebangsaan dan keindonesiaan.
Imlek untuk Gus Dur, tidak sekadar menjadi upacara kosong tanpa makna. Perayaan Imlek dengan merenungi Gus Dur, sejatinya tidak hanya menautkan memori pada sejarah politik dan kebangsaan yang dilakukan putra Wahid Hasyim, namun menyusuri perjuangan untuk memberi hak bagi kaum minoritas di seluruh penjuru negeri. Perjuangan kemanusian Gus Dur inilah yang terus menjadi refleksi ketika Imlek digelar.
Gus Dur, Pembela Tionghoa
Keberpihakan dan kebijakan Gus Dur pada masa menjabat sebagai presiden Indonesia, perlu dimaknai secara mendalam, di tengah krisis kepemimpinan pada masa ini. Walaupun masa pemerintahan Gus Dur sangat pendek, namun membentangkan sejarah yang panjang dengan menerjemahkan visi kemanusiaan pada kebijakan strategis.
Ketika menjabat sebagai presiden, Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14/1967 produk rezim Orde Baru yang mendiskriminasikan orang-orang Tionghoa di Indonesia. Lalu, beliau menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif. Baru pada era kepemimpinan Presiden Megawati, mulai tahun 2003 Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional.
Dari sepak terjang Gus Dur inilah, pada 10 Maret 2004, orang-orang Tionghoa di klenteng Tay Kek Sie Semarang, menahbiskan beliau sebagai “Bapak Tionghoa Indonesia”. Penobatan Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa Indonesia, dapat diteropong dari empat sudut pandang; perjuangan Gus Dur dari sisi kewarganegaraan kelompok keturunan Tionghoa, keteladanan Gus Dur dalam memperlakukan kelompok keturunan Tionghoa, serta sisi pelengkap yang masih berupa kontroversi, yaitu pengakuan Gus Dur sebagai keturunan Tionghoa, dari marga Tan (Ibad dan Fikri, 2012: 123).
Apa yang dilakukan Gus Dur terhadap orang Tionghoa tidak semata sentimen etnis. Kebijakan Gus Dur melampaui sektor etnisitas maupun agama. Teks-teks yang lahir dari renungan Gus Dur menjadi bahan renungan untuk warga Indonesia lintas etnis dan geografis. Teks Gus Dur melampaui zamannya, hingga terus menjadi referensi bagi pembaca. Pesan-pesan kemanusiaan Gus Dur inilah yang perlu dibaca ulang dengan konteks kekinian, di tengah politik tanpa visi dan pemimpin yang hanya obral janji.
Refleksi Pemimpin Non Muslim
Lalu, bagaimana memaknai Imlek tahun ini? Perayaan Imlek tahun ini merupakan simbol bagi perjuangan kemanusiaan dan kesetaraan. Merayakan Imlek tidak bisa dilepaskan dengan merenungkan sosok Gus Dur, pembela orang Tionghoa dan minoritas. Semasa hidupnya, kiprah Gus Dur dirasakan memberi dampak yang luar biasa bagi warga lintas etnis. Tidak hanya bagi orang Tionghoa, visi politik Gus Dur juga berdampak bagi orang-orang Papua, Dayak serta mampu meredam konflik etnis. Meski, seringkali pemikiran Gus Dur disalah artikan sebagai kekacauan berpikir ala politisi. Jurus ‘dewa mabuk’ sering menjadi cap politis ketika Gus Dur melakukan manuver di tengah kepungan kritik elit politik.
Imlek tahun ini, menjadi momentum untuk mengetengahkan kembali visi, pemikiran dan perjuangan Gus Dur pada masa kini. Momentum Imlek dapat menjadi monumen kultural, agar perjuangan Gus Dur diteruskan sebagai estafet politik kebangsaan dan keindonesiaan. Pesan-pesan kemanusiaan Gus Dur inilah yang menjadi cambuk bagi generasi muda di Indonesia. Tidak hanya bagi sekelompok orang-orang Tionghoa, namun juga semua pemuda. Juga, sangat penting menghadirkan sosok Gus Dur sebagai referensi.
Imlek untuk Gus Dur tak hanya merenungi apa yang telah dipikirkan, ditulis ataupun dilakukan tokoh ini. Sejatinya, Imlek untuk Gus Dur adalah momentum menziarahi kembali visi dan keberpihakannya pada kelompok minoritas sebagai bagian dari perjuangan kemanusiaan.
Merefleksikan Imlek juga penting untuk menyegarkan kembali pemahaman terhadap kepemimpinan orang Tionghoa. Kiprah Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Gubernur DKI Jakarta perlu mendapatkan apresiasi. Meski berbagai kecaman dan kritik menghantam, ia dengan visi politiknya terus melaju untuk membenai Ibu Kota.
Keberhasilan Ahok berkontribusi mengangkat citra orang Tionghoa, bahwa yang selama ini terdiskriminasi ternyata dapat menjadi pemimpin. Di beberapa daerah lain, politisi Tionghoa juga telah mendapat kepercayaan sebagai pemimpin, semisal di Kota Malang dan Kalimantan Barat. Ini bukti bahwa komunikasi lintas etnis membuka ruang bagi siapapun untuk menjadi pemimpin, dengan kualitas dan kemampuan yang sesuai.
Merenungi Imlek tahun ini adalah menyegarkan refleksi terhadap Gus Dur, refleksi terhadap pejuang kemanusiaan. Juga, momentum untuk melihat Indonesia menjadi lebih baik, karena akses bagi setiap warga untuk menjadi pemimpin, apapun agamanya, yang memenuhi syarat-syarat menjadi pemimpin yang amanah serta membela kepentingan rakyatnya [].
Munawir Aziz adalah peneliti kajian islam dan penulis buku Lasem Kota Tiongkok Kecil: Interaksi Tionghoa, Arab dan Jawa dalam Silang Budaya Pesisiran (2014). Bisa disapa di @MunawirAziz