Gus Dur Sebenarnya Seorang Santri yang Biasa Saja

Gus Dur Sebenarnya Seorang Santri yang Biasa Saja

Gus Dur adalah santri pluralis yang biasa saja. Justru yang tidak seperti Gus Dur, ia yang berada di luar kebiasaan.

Gus Dur Sebenarnya Seorang Santri yang Biasa Saja

Saya bukan jemaat Gusdurian. Saya juga bukan pembaca seluruh karya-karya pemikiran Gus Dur. Saya baru mengenali Gus Dur lebih dalam pada 2010 silam. Kalau tidak salah ingat, awal perjumpaan itu persisnya terjadi pada Februari 2010. Ketika saya masih “anget” menjadi Ketua OSIS di madrasah tempat saya sekolah.

Kala itu, lazimnya kegiatan OSIS sekolah madrasah yang populer, kalau tidak bazar buku, ya seminar. Misalnya seminar pengembangan diri, seminar kitab kuning, pelatihan kepemimpinan, atau kadang-kadang seminar motivasi seperti kiat sukses menjuarai olimpiade sains nasional.

Kegiatan awal kami sebagai Ketua OSIS adalah Tahlilan Memperingati 40 Hari Wafatnya Gus Dur, Sang Bapak Pluralisme. Biasanya kegiatan semacam ini digelar di pesantren-pesantren, atau langsung di-handle oleh pihak madrasah. Ini pula yang saya jelaskan ketika rapat OSIS. Memperingati Gus Dur tidak cukup dengan persembahan doa sebagaimana lazimnya dilakukan oleh para santri. Namun diperlukan perbincangan yang lebih intim tentang Gus Dur, meliputi pemikirannya, dan tentu saja kiprahnya sebagai Bapak Bangsa.

Modal saya kala itu, yang notabene tidak terlalu mampu membeli buku, adalah koran-koran bekas yang telah dipajang di kotak koran sekolah. Beberapa artikel mengenai Gus Dur tayang di sana. Dari bekal yang seadanya itu, saya memberanikan diri mengusulkan kegiatan tahlilan. Tidak hanya untuk mendoakan Gus Dur, tetapi untuk mengapresiasi pemikiran-pemikirannya di bidang pluralisme.

KH. Husein Abdul Jabbar, salah satu sesepuh sekolah, kami hadirkan untuk memimpin acara. Sebelum tahlil, Kiai Husein membabar jejak pemikiran Gus Dur. Saya lupa yang disampaikan seluruhnya. Tapi yang saya ingat, menurut cerita Kiai Husein, ada salah satu momen penting Ketika Gus Dur menziarahi makam waliyullah Syekh Mutamakkin di Desa Kajen, Margoyoso Pati, Jawa Tengah. Letak makam tidak jauh dari sekolah kami, kalau jalan kaki ke arah timur dari makam hanya memakan waktu kurang dari 10 menit.

Peziarahan itu terjadi beberapa hari setelah Gus Dur dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia, pada 1999. Syekh Mutamakkin dikenal dengan nama Kiai Cabolek dalam khazanah historiografi Jawa. Menurut Kiai Husein, pun menurut Gus Dur dalam suatu pidatonya, Presiden RI keempat itu merupakan dzuriyah Kiai Cabolek. Sosok yang makamnya diziarahi kala itu.

Gus Dur dan Kiai Cabolek

Peziarahan Gus Dur menjadi penting sebagai pengingat, khususnya bagi pendidikan pesantren untuk menjadi solusi alternatif dalam menggembleng manusia untuk mengapresiasi pluralitas. Kiai Cabolek semasa hidupnya (1645-1740) berdakwah dengan kultur baru. Kiai Cabolek mengusung spirit keragaman sebagai keniscayaan dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga tak heran bila Kiai Cabolek, seorang pangeran yang meninggalkan tahta Kadipaten Pajang itu mengakomodasi praktik-praktik kebudayaan lama seperti wayang dalam aktivitas dakwahnya. 

Meskipun, menurut Kiai Husein, aktivitas dakwah Kiai Cabolek ditentang oleh Ketib Anom. Seorang oknum penghulu kraton itu menganggap Kiai Cabolek sesat. Mengingkari syariat, menghina Tuhan dan mengancam kewibawaan raja sebagai panatagama alias pemimpin agama. Hal ini wajar. Menurut Kiai Husein, kala itu terjadi dikotomis antara kalangan konservatif yang direpresentasikan oleh Ketib Anom, dengan kalangan moderat yang direpresentasikan oleh Kiai Cabolek. Meskipun demikian, Kiai Husein menegaskan bahwa sanad genetik Gus Dur yang pluralis antara lain berasal dari leluhurnya sendiri, Kiai Cabolek.

Spirit pluralitas Kiai Cabolek antara lain terdapat dalam Serat Cabolek, yang merekam riwayatnya Ketika hendak diadili di pengadilan surambi kraton. Pengadilan itu terjadi sebab laporan Ketib Anom beserta para pengikutnya kepada Kraton Kertasura yang merasa risih dengan aktivitas keagamaan Kiai Cabolek. Ia didakwa sesat, sebab gemar menggelar pertunjukan wayang lakon Dewa Ruci. Sebuah kebiasaan yang menurut kubu Ketib Anom sebagai praktik kebudayaan Hindu-Buddha, dan dengan demikian dianggap kurang pantas dilakukan oleh seorang kiai.

Singkat cerita, Pakubuwana II malah membubarkan proses pengadilan. Ia mengampuni Kiai Cabolek. Ketib Anom justru dianggap mendakwa tanpa bukti. Hanya spekulasi belaka, sehingga membuat kegaduhan yang tidak jelas juntrungnya di lingkungan istana. Keputusan ini berdasarkan informasi intelijen yang dihimpun Pakubuwana II melalui saudara iparnya, Demang Urawan. Menurut penyelidikan itu, praktik keagamaan Kiai Cabolek bukanlah suatu penghinaan kepada Tuhan, maupun mengajak masyarakat kepada kesesatan. 

Petikan percakapan antara Pakubuwana II dengan Demang Urawan yang tertulis dalam Serat Cabolek menunjukkan praktik keagamaan Kiai Cabolek. Naskah Serat Cabolek yang dimaksud adalah versi yang disalin oleh seorang pujangga di era Pakubuwana II (memerintah 1726-1742). Dikatakan demikian karena dalam naskah tersebut, sang pujangga tidak mencantumkan namanya. Ini lazim dalam tradisi penulisan naskah di lingkungan istana. Namun boleh jadi, naskah tersebut ditulis oleh Yasadipura II. Pasalnya, kala itu Yasadipura I sudah pensiun.

 Percakapan antara Pakubuwana II dengan Demang Urawan terjadi sebelum pengadilan dibubarkan. Percakapan tersebut tertulis dalam Serat Cabolek pupuh II Asmarandana bait 11-14, sebagai berikut:

Yèn wontên pondhokan Gusti/ sêsampuning salat Ngisa/ datan anéndra karyané/ angrêpi Sumawicitra/ Bima Suci kang sêrat/ ingkang kalih wêlas laku/ sami lawan Madurêtna//

Dinamêl bramara kêni/ dimèn apik rasa tunggal/ sami sawêlas lampahé/ dinamêl alêbdajiwa/ sèngkèk angayang-ngayang/ alon ngandika Sang Prabu/ hèh Bapang iku kayapa//

Wong micara ngèlmu gaib/ têka ngirip laku Buda/ ya Bapang apa pakolèh/ saru manawa kasasar/ nêmbah Rahadèn Dêmang/ pukulun botên kasiku/ mênggah raosing ngèlmi kak//

Pan namung dinamêl tamsil/ botên dinamêl ing tékad/ sami ngalap ondhé-ondhé/ kathah para waliyolah kabuka ring upama/ kang jinujug kalanipun/ Bima anggêbyur samodra//

Artinya:

“Ketika [Kiai Cabolek] bermalam di sebuah pondok, Tuanku, setelah melaksanakan sembahyang Isya, dia tidak pergi tidur. Dia terus melantunkan bait Kusumawicitra dari kitab Bhima Suci. [Bait] yang memiliki dua belas suku kata [pada setiap baris], seperti halnya Maduretna.

“[Bait itu] bisa juga dimasukkan ke dalam Bramarawilasita, agar terdengar merdu dan harmonis. [Bait itu] memiliki sebelas suku kata [pada setiap barisnya] dan bisa diubah menjadi Lebdajiwa. [Kiai Cabolek melafalkannya] dengan menunduk dan membungkuk.” Raja berkata dengan lembut, “Bapang, bagaimana ini,

Bahwa ada seseorang melantunkan pengetahuan rahasia, seperti mengikuti jalan seorang Buddhis. Bapang, apa gunanya itu, suatu keburukan yang membawa kesesatan?” Raden Demang berkata: Tuanku, ini bukanlah keburukan. Menurut ajaran hak,

Hal itu hanya dipergunakan sebagai metafora, bukan sebagai keyakinan. Metafora ini telah banyak digunakan oleh para waliyullah. Melalui metafora ini, kesejatian telah terungkap. Kiai Cabolek kala itu langsung [melantunkan] episode Bima terjun ke dalam samudera.”

 

Pada percakapan selanjutnya, atas penjelasan Demang Urawan, Pakubuwana II menyadari bahwa Kiai Cabolek tidaklah mengajarkan suatu kesesatan. Kiai Cabolek, menurut Pakubuwana II, hanya mengamalkan ilmu mistik untuk dirinya sendiri. Ia tidak menghasut orang lain untuk mengikuti jalan mistik yang ia amalkan. Tidak pula merusak tatanan Islam yang secara politik berada di bawah kekuasaan kerajaan.

Di sisi lain, dapat dipahami bahwa Kiai Cabolek tidak melanggar syariat. Ia tetap menunaikan salat fardhu di tengah perjalanan menuju mimbar pengadilan yang menuntutnya supaya dihukum mati. Usai salat, Kiai Cabolek juga tidak langsung tidur. Ia melanjutkan “ngaji” kitab Dewa Ruci dengan cara ditembangkan. Langsung pada episode kesukaannya, ketika Werkudara menceburkan diri ke dalam samodera minang kalbu untuk mencari air suci. Sebuah babak cerita khas Jawa yang merupakan alegori mistik dari perjumpaan seorang santri Werkudara dengan Dewa Ruci sang guru sejati. Seorang guru yang membabar ajaran syariat, tarekat, hakikat dan makrifat. 

Di dalamnya termuat ajaran tentang beragam nafsu yang harus dikenali dan kemudian dikendalikan oleh manusia agar tidak tersesat. Supaya manusia dapat mengalami penyatuan transenden dengan Yang Tunggal, Yang Esa, Yang Rahman-Rahim. Artinya supaya manusia tidak terbelenggu pada nafsu-nafsu keduniawian, nafsu biologis, dan nafsu emosional berlebihan yang menjauhkannya manunggal dengan Gusti. Manunggalatau penyatuan yang tetap berprinsip pada perbedaan kedudukan antara yang menyembah dan Yang Disembah.

Kutipan naratif percakapan di atas juga menunjukkan bahwa Kiai Cabolek nampak mengakomodasi praktik-praktik kebudayaan lokal yang telah mengakar kuat di lingkungan setempat. Ia terbiasa dengan wayang, kitab-kitab Jawa klasik, dan terutama lakon Dewa Ruci yang dianggap sakral oleh masyarakat Jawa dan tidak ditemukan dalam cerita Pandawa versi India. 

Kiai Cabolek tidak menafikan kebiasaan-kebiasaan lama tersebut. Namun mengapresiasinya sebagai sarana untuk menghayati kenyataan pluralitas makhluk, alam, dan keesaan Tuhan. Sarana untuk mencapai kesadaran sebagai yang menyembah dan Yang Disembah. Pun sebagai sarana untuk mengungkap ajaran hak kepada masyarakat luas. Praktik seperti ini, sebagaimana yang dikatakan Demang Urawan di atas, lazim dilakukan oleh para waliyullah di masa lalu untuk menyampaikan “ajaran rahasia”.

Pluralitas sebagai realitas kehidupan yang harus diapresiasi sebenarnya bukanlah wacana baru. Hal ini senantiasa menjadi spirit para ningrat Jawa, lebih tepatnya ningrat-pujangga dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Beberapa ningrat-pujangga di lingkungan Mataram Islam menjadikan pluralisme sebagai “umpak” alias landasan dalam tatanan pemerintahan.

Sebutlah misalnya Pangeran Diponegoro dalam karya otobiografinya Babad Diponegoro, Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama, Sultan Hamengkubuwana I dalam Serat Kangjeng Kyai Suryaraja, Pakubuwana IV dalam Serat Centhini, bahkan sejak era Sultan Agung Hanyakrakusuma memiliki spirit pluralitas sebagaimana yang ia sampaikan dalam Serat Sastra Gendhing.

Jika boleh disederhanakan, inti ajaran dari kitab-kitab yang telah disebutkan adalah bagaimana manusia dapat berhubungan secara rohani dengan Tuhan. Tentu saja, dengan tidak meninggalkan laku syariat. Ajaran tentang keselarasan, keselarasan antara kehendak dan perbuatan, dengan alam sekitar, sesama makhluk yang beragam, dan agar senantiasa mengingat dan melibatkan Tuhan dalam setiap pikiran dan perbuatan.

Dunia ini tampak beragam dan acak. Akan tetapi di balik keragaman dan keacakan itu ada hukum yang mengatur dan menyelaraskannya. Apabila seseorang mampu menangkap hukum-hukum yang mampu menyelaraskan berbagai keragaman itu, maka ia akan sampai pada kesadaran akan eksistensi Tuhan. 

Di tengah keragaman dan pluralitas ciptaan ini, seseorang tidak seharusnya terpaku pada bentuk-bentuk keragamannya. Tetapi harus mencoba menyelami hukum yang mengatur keselarasan dari berbagai keragaman itu. Keselarasan di antara keragaman inilah yang membukakan tirai untuk mengetahui hakikat wujud Tuhan. Keragaman adalah cara Tuhan menunjukkan wajah-Nya kepada para hamba-Nya. Seluruh bentuk keragaman itu, dengan demikian, sejatinya adalah wajah-Nya yang satu.

Pemahaman atas pluralitas ciptaan ini yang mendasari Sultan Agung Hanyakrakusuma dalam menjalankan takhta pemerintahan Mataram Islam. Ia mengapresiasi keragaman dengan produk-produk kebijakan yang mengutamakan kesejahteraan bersama. Apresiasi keragaman itu antara lain berwujud kesadaran geopolitik wilayah Mataram. Ia memindahkan Sebagian rakyat Mataram Islam di daerah kekuasaannya di wilayah barat, yakni Karawang, untuk mengoptimalkan hasil pertanian.

Selain membawa pada kesejahteraan petani, dan tentu saja masyarakat luas, hasil panen yang melimpah pada suatu hari juga membuat VOC kelimpungan saat Sultan Agung mampu mengendalikan politik beras di Jawa. Di samping itu, wilayah Mataram Islam di sebelah barat termasuk Karawang juga menjadi salah satu lumbung pangan yang mendukung ekspansi Sultan Agung ke wilayah barat.

Di ujung masa pemerintahannya, Sultan Agung meninggalkan kitab pedoman untuk para petinggi dan generasi penerus istana. Ia menulis Serat Nitipraja pada 1643 M. Isinya seputar ajaran menjadi pemimpin yang baik. Tidak terbatas pada bidang pemerintahan dan keagamaan, namun semua itu dibalut dengan ajaran etika yang mengutamakan kemakmuran dan kesejahteraan negara. Para pemangku kekuasan, mulai dari pupati, patih, jaksa, maupun di level utusan, diberi peringatan untuk sepenuhnya berbakti kepada negara dengan meninggalkan keduniawian dan mempertebal keimanan.

Sejak kecil, Sultan Agung terbiasa berkelana. Tidak sekadar keluyuran, namun untuk bertapa dan menimba ilmu dari para ajar. Salah satu gurunya yang masyhur adalah Kiai Ageng Jejer yang kelak menjadi ayah mertuanya. Kiai Ageng Jejer merupakan murid dari Sunan Tembayat, murid dari Sunan Kalijaga, murid dari Sunan Bonang, murid dari Raden Rahmat alias Sunan Ampel.

 Sultan Agung muda alias Raden Mas Rangsang juga terbiasa mendengarkan tembang-tembang macapat yang dilantunkan dari kitab-kitab klasik Jawa. Ini merupakan salah satu yang khas dari tradisi pendidikan istana, yakni membabar karya-karya klasik yang bermuatan filsafat mistik dari para leluhur. Ajaran tentang manunggaling kawula Gusti pernah ia dengar dari pelantunan Suluk Wujil karya Sunan Bonang di pendapa istana Mataram. 

Tak heran, selain kegemarannya dalam menimba ilmu serta didikan ayahandanya sendiri di istana, yakni Susuhunan Anyakrawati, Sultan Agung kelak mendasari tata pemerintahan dan menulis karya-karya sastra dan pedoman pemerintahan dengan nafas yang sebangun sebagaimana ajaran para leluhurnya, yakni mengapresiasi pluralitas. Kitab-kitab lain yang menjadi representasi keragaman antara lain Surya Ngalam. Sejak era Demak sampai dinasti Mataram Islam Yogyakarta dan Surakarta, kitab yang digubah dari kitab huku di era Majapahit ini senantiasa disalin dan dijadikan pedoman. Isinya adalah perpaduan antara hukum adat Jawa dan hukum Islam yang dijadikan sebagai pedoman pengadilan istana.

Para ningrat-pujangga, baik dari aspek nasab maupun sanad keilmuan, berakar pada pemahaman yang sebangun atas realitas keragaman. Pluralisme bukanlah barang baru. Ia adalah barang lama yang selalu dibaca ulang menurut kahanan zaman. Pluralisme adalah hal yang biasa sejak dari “sana-nya”, bahkan dijadikan sebagai “umpak” atau landasan dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang dimotori oleh para santri-bangsawan. Sama halnya Gus Dur, ia adalah santri pluralis yang biasa saja. Justru yang tidak seperti Gus Dur, ia yang berada di luar kebiasaan.[]