Gus Dur, Pesantren, dan Kisah Mahabarata

Gus Dur, Pesantren, dan Kisah Mahabarata

Gus Dur, Pesantren, dan Kisah Mahabarata

Malam ini di Twitter banyak yang menulis tweet dengan tagar #WarisanGusDur. Secara kebetulan tadi sore penulis membuka draf catatan skema calon tulisan tentang Gus Dur. Jadi, tampaknya ini adalah saat yang tepat untuk mewujudkan draf tersebut menjadi tulisan yang utuh.

Penulis pernah membaca salah satu tulisan Gus Dur di buku Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid, yang kata pengantarnya ditulis oleh sahabat karibnya, Gus Mus. Dalam tulisannya, Gus Dur mengibaratkan Pesantren dengan kisah perang Mahabarata. Namun kisah Mahabarata yang dikutip Gus Dur dalam tulisannya, adalah Mahabarata versi Jawa.

Kisah Mahabarata versi Jawa, kata Gus Dur dalam salah satu tulisannya, berbeda dengan kisah Mahabarata versi India. Menurut beliau, Mahabarata versi India memposisikan Pandawa sebagai golongan putih, sedangkan Kurawa golongan hitam. Benar dan salah.

Mahabarata versi Jawa tidak seperti itu. Pandawa, menurut beliau, adalah manusia-manusia yang sudah puncak. Sedangkan Kurawa adalah mereka yang sedang berproses menuju puncak. Jadi, Kurawa tak selamanya jadi Kurawa. Setiap Kurawa berpotensi menjadi Pandawa.

Pesantren tak ubahnya seperti Mahabarata. Kurawa adalah santri, sedangkan Kiyai adalah Pandawa. Dan, Baratayuda adalah Masjid, yang menjadi medan perang antara Kiyai dan Santri. Karena itu, maklumnya masjid berada di antara bilik Santri dan dalem Kiyai.

Kiyai, sebagai Pandawa, adalah manusia yang telah mencapai puncak. Setiap hari Kiyai berperang dengan Santri. Bukan untuk memusnahkan, melainkan membantu Santri—yang dalam ibarat Mahabarata masih berada di tingkatan Kurawa—untuk menjadi seperti Kiyai—yang dalam Mahabarata disebut Pandawa, orang yang sudah mencapai puncak—yang nantinya di kemudian hari, Santri juga mampu membatu Kurawa-Kurawa lain bertransformasi menjadi Pandawa .

Tampaknya dalam memandang rakyat Indonesia, analogi Mahabarat versi Jawa ini yang Gus Dur gunakan. Gus Dur melihat umatnya dengan kacamata seorang Kiyai melihat Santrinya. Maka tak mengherankan Gus Dur tidak mendendam dan tidak membenci, bahkan dengan musuh-musuh beliau.

Penulis ingat apa yang disampaikan Gus Dur saat diundang di acara Kick Andy. Saat itu Gus Dur mengatakan sudah memaafkan orang-orang yang menjatuhkannya dari kursi Presiden, walaupun mereka tidak pernah meminta maaf pada Gus Dur. Gus Dur juga mengaku, waktu lebaran hari raya juga bersilaturahmi kepada Mantan Presiden, Suharto, walaupun Gus Dur juga mengatakan bahwa Pak Harto (panggilan akrab Suharto) adalah satu-satunya orang yang pantas menjadi musuh Gus Dur di Indonesia. Dua cerita sikap Gus Dur di atas mengukuhkan keyakinan penulis, bahwa Gus Dur dalam memandang rakyat Indonesia, seperti pandangan Kiyai kepada Santrinya.

Gus Dur memang selalu mengusahakan terciptanya keadilan, dan tidak mau berkompromi dengan para koruptor, orang-orang yang merusak Indonesia, para penindas dan mereka yang mengoyak kemanusiaan. Namun penulis yakin, Gus Dur memandang mereka bukan dengan pandangan kebencian, tapi dengan pandangan cinta dan kasih sayang. Gus Dur tidak membenci seseorang secara zatnya.

Adapun jika Gus Dur menentang bahkan melakukan perlawanan terhadap seseorang, itu adalah karena sikap dan perilaku orang tersebut yang mengharuskan Gus Dur Menentangnya. Mereka yang mengoyak kemanusian adalah salah satu yang ditentang Gus Dur. Gus Dur ibarat Pandawa dalam kisah Mahabarata, yang membantu masyarakat bertransformasi, dari Kurawa menjadi Pandawa. Gus Dur adalah seorang ulama, yang melihat umat dengan kasih sayang, bukan dengan laknat dan kemarahan. Karena itu, penulis lebih suka menyebut Gus Dur dengan Kiyai Bangsa.

Zaim Ahya, penulis adalah Sarjana Tafsir Hadis UIN Walisongo Semarang.