Gus Dur: Pemikir Neo-Modernis atau Neo-Tradisionalis?

Gus Dur: Pemikir Neo-Modernis atau Neo-Tradisionalis?

Membaca kontribusi Gus Dur dalam pergumulan pemikiran Islam di Indonesia secara singkat, setidaknya hal itu bisa menggambarkan bagaimana proyeksi pemikiran Islam Gus Dur dalam khazanah intelektual Islam Indonesia.

Gus Dur: Pemikir Neo-Modernis atau Neo-Tradisionalis?

Abdurrahman Wahid atau lebih akrab dipanggil Gus Dur merupakan tokoh pemikir Islam di Indonesia. Gus Dur adalah tokoh yang tidak memiliki gelar akademik keislaman, namun beliau adalah pemikir progresif yang membuka gerbang liberasi pemikiran Islam di Indonesia, khususnya bagi kalangan nahdliyin.

Tidak mudah untuk membaca arah pemikiran keislaman yang dibawa oleh Gus Dur. Gus Dur tidak memiliki satu buku utuh yang mengupas tuntas terkait dengan rasionalisme Islam atau wacana keagamaan, sehingga hal itu mempersulit bagi pembaca untuk mengklasifikasikan pemikiran Gus Dur. Sebagaimana yang pernah ditulis oleh Greg Barton (1999) yang menyandingkan Gus Dur dengan Cak Nur dalam wacana neo-modernis.

Greg Barton berangkat dari terminologi yang diberikan oleh Fazlur Rahman yang membedakan antara pemikiran revivalis dengan modernis. Rahman menamakan wacana pemikirannya sendiri dengan istilah neo-modernis. Berangkat dari latar keadaan sosial politik tidak menentu yang dialami oleh negara-negara berpendudukan Islam banyak, wacana pemikiran neo-modernis menginginkan sebuah upaya pembaruan pemikiran dengan tidak menolak adanya modernitas.

Dari situ lah kemudian Greg Barton melihat wacana pemikiran Gus Dur dan Cak Nur sejajar. Greg Barton berargumen bahwa kedua ulama ini memiliki ketertarikan pada gerakan pembaruan pemikiran umat Islam Indonesia yang berbeda dengan gerakan revivalis maupun modernis. Pemikiran neo-modernis yang dicanangkan oleh Greg Barton dicirikan dengan adanya cita-cita liberasi Islam dalam kaitannya dengan usaha menjawab tantangan masyarakat modern.

Namun demikian, pembacaan Greg Barton terkait dengan pemikiran Gus Dur menuai kritikan dari para pemerhati Gus Dur selanjutnya. Sebut saja Ahmad Baso dan Rumadi yang meletakkan Gus Dur tidak sebagai pemikir neo-modernis melainkan neo-tradisionalis. Hal ini didasarkan pada kuatnya aspek tradisionalis pada diri Gus Dur yang dikembangkan menjadi wacana pemikiran Islam Indonesia. Gus Dur tidak meninggalkan begitu saja tradisi sebagaimana yang dibawa oleh kalangan modernis, akan tetapi Gus Dur mengambil nilai tradisionalis yang kemudian dikembangkan dengan khazanah intelektual Barat.

Sikap Gus Dur terhadap tradisi inilah yang membedakan wacana pemikiran Islam dengan tokoh- tokoh modernis. Sikap Gus Dur terhadap tradisi Islam, baik tradisi Islam Nusantara maupun tradisi Arab Islam, tidak menegasikan dengan perkembangan pemikiran Barat-Modern. Akan tetapi, Gus Dur mengambil sikap tengah-tengah dalam membaca tradisi untuk kemudian mengambil langkah ke depan.

Melalui sikap inilah Gus Dur kemudian melihat bagaimana Nahdlatul Ulama (NU) selama ini memandang tradisi. Gus Dur memberikan kritik terhadap tradisi yang selama ini dipahami oleh NU. Pertama, NU masih terjebak dalam politik sehingga NU sulit untuk beradaptasi dengan modernitas. Kedua, kritik terhadap tradisi aswaja an-nahdliyin (hingga tahun 1970-an) yang masih dijadikan sebagai madzhab. Kedua kondisi tersebut menurut Gus Dur telah mengakibatkan pemikiran NU stagnan, sehingga tidak bisa mengembangkan organisasi maupun pemikiran NU sendiri.

Untuk itulah Gus Dur hadir dengan memberikan sumbangsih besar bagi liberasi pemikiran Islam Indonesia. Gus Dur memberikan pondasi bagi wacana pemikiran Islam di era selanjutnya. Gus Dur tidak melepaskan aspek tradisionalismenya, sebagaimana yang pernah beliau dapat dari pesantren, namun juga tidak membuang semua wacana pemikiran Barat modern. Gus Dur berpijak pada pondasi keislaman yang selama ini dipahami, kemudian dipadukan dengan wacana pemikiran Barat, baik dari segi politik maupun pemikiran Islam.

Ketika Gus Dur terlibat dalam forum yang diadakan sebelum Muktamar situbondo 1984, Gus Dur bersama teman-temannya memberikan pemikiran kritis agar kitab kuning di pesantren perlu dikaji ulang. Kitab kuning yang beredar di pesantren-pesantren berasal dari Islam abad pertengahan dengan didasarkan atas sosial politik di masa itu. Tidak semua hal yang tertuang dalam kitab kuning bisa menjawab semua persoalan yang dihadapi oleh umat Islam saat ini. Maka dari itu, perlu ada pembacaan kritis terhadap kitab kuning dengan melihat mana yang masih relevan dan tidak.

Hal ini didukung oleh Kiai Sahal Mahfud, dalam bukunya Fiqih Sosial, Kiai Sahal berargumen bahwa perlu ada sikap kritis terhadap kitab kuning klasik agar lebih kontekstual. Dengan demikian, perlu ada metode baru untuk mengkaji tradisi, baik berupa kitab kuning maupun aswaja sebagai madzab.

Tawaran Gus Dur selanjutnya adalah menjadikan aswaja tidak hanya sebagai mandzab melainkan juga sebagai manhaj fikr (metode berpikir). Maksud dari manhaj fikr aswaja adalah para ulama atau pemikir muslim tidak hanya sebatas merujuk pada kitab kuning ketika ada persoalan, akan tetapi menjadikan metodologi berpikir ulama klasik untuk diterapkan di era kekinian. Meskipun demikian, upaya tersebut tidak meninggalkan sumber hukum dalam Islam yaitu al-Qur’an dan hadits.

Dengan membaca kontribusi Gus Dur dalam pergumulan pemikiran Islam di Indonesia secara singkat, setidaknya hal itu bisa menggambarkan bagaimana proyeksi pemikiran Islam Gus Dur dalam khazanah intelektual Islam Indonesia. Upaya Gus Dur dalam mendobrak ortodoksi berpikir ulama Indonesia pada masa itu memiliki dampak besar bagi perkembangan pemikiran Islam Indonesia.