Gus Dur, Pembela Kaum Lemah: Renungan Antropologis tentang Etika, Moralitas, dan Kemanusiaan

Gus Dur, Pembela Kaum Lemah: Renungan Antropologis tentang Etika, Moralitas, dan Kemanusiaan

Gus Dur, Pembela Kaum Lemah: Renungan Antropologis tentang Etika, Moralitas, dan Kemanusiaan
Proses penjatuhan Gus Dur pict by Laduni

Desember selalu menjadi bulan kontemplasi, bulan di mana memori tentang Gus Dur—Abdurrahman Wahid—mengemuka dalam kehangatan Haul ke-15 ini. Sosoknya adalah paradoks yang hidup: kontroversial sekaligus dihormati, penuh kontradiksi namun teguh pada nilai-nilai universal.

Dalam perenungan ini, kita mencoba menjelajah jejak etika, moralitas, dan kemanusiaan yang ia wariskan melalui bingkai antropologi, filsafat pesantren, dan cakrawala budaya yang ia hidupi dengan sepenuh hati.

Keberpihakan pada yang Lemah: Sebuah Nilai Universal

Gus Dur kerap digelari “bapak pluralisme” di Indonesia. Namun, gelar itu hanyalah serpihan kecil dari warisan besarnya. Esensi perjuangan Gus Dur terletak pada keberpihakan tanpa syarat kepada mereka yang lemah, terpinggirkan, dan teraniaya.

Ia tidak hanya membela masyarakat Tionghoa dengan mencabut Keppres No. 14/1967 yang mengekang ekspresi budaya mereka, tetapi juga menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional—sebuah langkah berani yang memadukan kebijakan dengan kemanusiaan.

Dalam filsafat hidup Gus Dur, setiap manusia memiliki hak yang sama untuk hidup bermartabat. Nilai ini tidak lahir dari ruang kosong; ia berakar dari pesantren, tempat ia belajar tentang rahmatan lil alamin, kasih yang meliputi semesta. Namun, cakrawala Gus Dur melampaui horizon pesantren. Dialognya dengan filsafat Barat, pemikiran Marx hingga Freud, serta pergaulannya dengan berbagai budaya global menjadikan etikanya berwarna universal, menjangkau semua lapisan manusia tanpa membedakan agama, suku, atau latar belakang.

Gus Dur dan Filsafat Moral: Menembus Batas-batas Tradisi

Dalam filsafat moral, ada persimpangan besar: antara etika deontologi yang menekankan kewajiban dan etika teleologi yang menitikberatkan pada tujuan.

Gus Dur, dengan kebijaksanaannya, melampaui dikotomi itu. Ia percaya bahwa moralitas tidak bisa diringkus dalam aturan tunggal. Keputusan kontroversialnya, seperti pembubaran Departemen Penerangan, menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi jauh lebih berharga daripada keberlangsungan institusi represif.

Pemikirannya serupa dengan gagasan paramount value yang digagas oleh Louis Dumont: nilai tertinggi yang menjadi poros tata sosial.

Bagi Gus Dur, nilai itu adalah keadilan sosial dan penghormatan terhadap martabat manusia. Nilai ini tidak hanya berakar dari keyakinan agama, tetapi juga dari kedalaman pengalaman lintas budaya.

Ia meramu moralitas yang hybrid—menggabungkan tradisi pesantren dengan semangat modernitas.

Keberanian Melawan Arus

Keberanian Gus Dur adalah babak tersendiri dalam narasi hidupnya. Ia membela Ahmadiyah, bahkan ketika hal itu memancing amarah banyak pihak.

Baginya, hak setiap manusia untuk berkeyakinan lebih tinggi daripada kompromi demi ketenangan semu.

Baru-baru ini, kasus seorang penjual es teh yang direndahkan oleh seorang tokoh agama mengemuka, mencerminkan kontradiksi dari semangat Gus Dur. Andai ia masih ada, kita dapat membayangkan Gus Dur berdiri membela si penjual, sebagaimana ia selalu membela mereka yang dilecehkan oleh kekuasaan dalam bentuk apa pun.

Gus Dur memahami bahwa kekuatan sejati seorang pemimpin agama bukanlah dalam kewibawaannya, tetapi dalam kerendahan hati untuk menghargai manusia, siapa pun mereka.

Pesantren sebagai Awal, Bukan Akhir

Bagi Gus Dur, pesantren bukanlah sekat yang membatasi, melainkan fondasi yang membebaskan. Ia menyerap nilai ta’dzim, keberpihakan pada kaum dhuafa, dan komitmen pada akhlaqul karimah dari lingkungan pesantrennya. Namun, ia juga membuka diri pada wawasan global, menjelajahi pikiran para filsuf dunia dan menimbang spiritualitas lintas tradisi.

Kombinasi ini menjadikan Gus Dur sebagai figur universal yang menghidupi Islam sekaligus kemanusiaan secara utuh.

Cahaya Warisan Gus Dur di Dunia yang Gelap

Dunia yang kini semakin terfragmentasi oleh polarisasi dan dehumanisasi menemukan lentera dalam warisan Gus Dur. Ia mengajarkan bahwa moralitas sejati adalah keberanian melawan arus, terutama ketika arus itu melukai nilai-nilai kemanusiaan.

Ia tidak hanya mengajarkan kritik, tetapi juga mengajarkan empati.

Seperti pesan terakhirnya:

“Tidak penting apa agamamu atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah tanya apa agamamu.”

Kata-kata itu adalah warisan yang tak lekang, mengajak kita untuk terus percaya pada kebaikan, meski dunia sering kali gelap. Gus Dur telah menjawab pertanyaan abadi tentang makna menjadi manusia dengan caranya sendiri: hidup dalam nilai-nilai yang ia perjuangkan, hingga akhir hayatnya.