“Demokrasi itu bukan hanya tak haram, tapi wajib bagi Islam. Menegakkan demokrasi itu salah satu prinsip dalam Islam, yakni Syuro”—KH. Abdurrahman Wahid
Di tengah sengkarut problem kehidupan manusia, renungan tentang konsepsi kenegaraan dan politik kebangsaan tidak pernah surut. Perdebatan tentang bagaimana membangun sebuah negara, dengan tonggak dan pilarnya, gelombangnya semakin membesar. Apakah menerapkan sistem demokrasi, ataukah mengais formula sistem negara dalam Islam?
Saat ini, konflik-konflik di berbagai negara membutuhkan perhatian intensif. Tragedi Rohingya di Myanmar, tragedi kemanusiaan di Yaman, konflik Israel-Palestina, dan pelbagai kejadian memilukan di pelbagai negara, menjadi keprihatinan bersama. Dunia sedang mencari keseimbangannya, dari konsepsi demokrasi liberal, demokrasi permusyawaratan, maupun konsepsi negara yang dibangun dari tulang punggung militer.
Di negeri ini, perdebatan tentang konsepsi negara belum sepenuhnya tuntas. Meski, para pendiri bangsa sudah mewariskan konsepsi kenegaraan yang mengagumkan: demokrasi permusyawaratan. Demokrasi yang dibangun dari karakter asali bangsa ini: kebhinekaan, gotong royong, permusyawaratan.
Di tiap tikungan sejarah, ada kelompok yang berteriak lantang menggemakan khilafah. Meski, konsepnya tidak sepenuhnya komprehensif, dan ada pelbagai tafsiran tentang khilafah Islam. Mereka bergerak dengan kampanye: apapun masalahnya, khilafah solusinya! Seolah-olah, khilafah menjadi solusi atas segala problem sengkarut kehidupan.
Renungan Kebangsaan
Dalam sebuah esai, Gus Dur mencoba merenungkan konsep Islam tentang negara. Dalam renungan Gus Dur, selama perjalanan panjangnya mencari ilmu, membaca dan berdiskusi dengan teman-temannya, pakar-pakar kajian keislaman, belum menemukan konsep yang utuh dan kongkret tentang konsep negara menurut khazanah pengetahuan Islam. Dalam esai ‘Negara Islam, Adakah Konsepnya?’ Gus Dur mengajukan tanya: Apakah sebenarnya konsep Islam tentang negara? Sampai seberapa jauhkan konsep ini dirasakan oleh kalangan pemikir Islam sendiri?” demikian pertanyaan Gus Dur.
Menurut Kiai Abdurrahman Wahid, tidak ada konsep yang terstruktur mengenai negara Islam. Sepanjang pencariannya atas konsep yang kongkret dari beragam kitab-kitab yang ditulis para pemikir garda depan intelektual Islam, tidak ada konsep yang jelas tentang negara dalam Islam. Gus Dur beranggapan, Islam sebagai jalan hidup (syariah) tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara.
Dalam pandangan Gus Dur, Islam tidak mengenal pandangan yang jelas dan pasti tentang pergantian pemimpin. Sayyidina Abu Bakar diangkat menjadi pemimpin, menggantikan Nabi Muhammad yang wafat. Proses ini tidak langsung seketika, menunggu tiga hari dari wafatnya Nabi Muhammad. Dalam tiga hari itu, kaum muslim menunggu-nunggu, sambil berikhtiar mencari petunjuk tentang pengganti Rasulullah. Kemudian, semua sepakat, untuk mengangkat Sayyidina Abu Bakar sebagai pemimpin, dengan bai’at kesetiaan. Janji inilah yang mengikat persaudaraan antar kaum muslim hingga terhindar dari perpecahan.
Kemudian, sebelum Sayyidina Abu Bakar waat, beliau telah memberi wasiat bahwa Umar lah yang menjadi penggantinya. Sayyidana Umar bin Khattab menjadi pemimpin kaum muslim dengan gagah perkasa, dengan keberanian tanpa tanding. Kemudian, ketika Umar ditikam Abu Lu’luah dan berada pada masa kritis, ia meminta petunjuk pada sebuah dewan pemilih (ahlul halli wal-aqdi), yang terdiri dari tujuh orang, yang tidak boleh terpilih untuk mengisi kepemimpinan. Pada dewan ini, Abdullah, putra Sayyidina Umar, termasuk di dalamnya. Dewan ini memutuskan, Sayyidina Utsman menjadi pemimpin kaum muslim menggantikan Umar.
Ali bin Abi Thalib menjadi pemimpin menggantikan Sayyidina Utsman. Dalam proses kepemimpinan Ali, Abu Sufyan sudah berencana membangun rencana jangka panjang, dengan menjadikan anak-cucunya sebagai pengganti Ali bin Abi Thalib. Sejarah Islam kemudian berkembang, dengan beragam modelnya, hingga melahirkan sistem kerajaan, sampai Khilafah Utsmaniyyah, Ottoman.
Melihat sejarah panjang sistem pemerintahan dalam Islam, Gus Dur beranggapan bahwa tidak ada konsep baku yang detail dan komprehensif tentang negara. “Ggagasan negara Islam adalah sesuatu yang tidak konseptual, dan tidak diikuti oleh mayoritas kaum muslimin. Ia pun hanya dipikirkan oleh sejumlah orang pemimpin, yang terlalu memandang Islam dari sudut institusional belaka,” demikian pendapat Gus Dur (Islamku Islam Anda Islam Kita, 84).
Demokrasi Nusantara
Dari sepenuh renungan tentang bangsa ini, sistem kenegaraan yang diwariskan founding fathers, perlu disegarkan kembali. Bukan dirombak sepenuhnya, atau dirobohkan dengan mengganti sistem baru. Akan tetapi, berusaha mengkontekstualkan sistem permusyawatan, sekaligus menyegarkan kembali nilai-nilai Pancasila yang menjadi fondasi dari sistem kenegaraan kita.
Demokrasi ala Indonesia, atau saya sebut sebagai Demokrasi Nusantara, akan lebih bermakna jika terus dikuatkan dengan nilai-nilai kebangsaan yang kontekstual. Pemaknaan atas Pancasila, nilai-nilai kebhinekaan, dan selanjutnya membangun jembatan dengan Islam atau nilai-nilai agama masa kini. Refleksi ini penting, di tengah tantangan ideologis dan gelombang kritik atas identitas bangsa ini.
Para pendiri bangsa, ulama, dan tokoh lintas agama, pada tujuh dekade lalu, telah berupaya keras merumuskan nilai-nilai dasar berbangsa. Hingga kini, kontekstualisasi dan penjernihan atas nilai-nilai kebangsaan kita terus berlangsung. Generasi kini, generasi milenial dan lapisan selanjutnya, memiliki tugas untuk terus mengkontekstualisasikan dengan zaman. Daripada sekedar mengecam, kita perlu bergerak memaknai nilai-nilai kebangsaan kita [Munawir Aziz].