Suatu sore di musim panas bulan Juli 2018, dalam sebuah percakapan ringan di Bonn, seorang teman jurnalis DW (Deutsche-Welle, Suara Jerman) mengungkapkan keheranannya tentang Gus Dur sebagai pejuang kebebasan dan martabat manusia yang menjadi ciri khas peradaban Eropa.
“Padahal dulu di masa mudanya ia hanya tinggal setahun di Eropa. Selebihnya, ia adalah orang pesantren. Hidup dan mati di pesantren”, begitu ungkap teman yang sudah lama tinggal di Jerman itu.
Kami dan sebagian besar orang Indonesia yang tinggal di Eropa mengenang dan menghormati mendiang Gus Dur, serta menganggapnya sebagai orang pesantren yang berhasil–tidak saja mengidealisir nilai-nilai kebebasan Eropa–tetapi juga mengimplementasikannya dalam hidup berbangsa dan bernegara. Kini, di tahun ke-12 haul sang humanis, bangsa ini pantas mengenang kembali sosoknya sebagai “rumah yang teduh” bagi kaum minoritas dan mereka yang tertindas. Andai kini ia masih hidup, tentu ia sedih melihat intoleransi dan ketidakadilan terhadap kelompok minoritas masih terjadi di banyak tempat. Dan seperti biasa, ia akan berteriak bahwa ia berdiri di depan memasang badannya untuk membela mereka yang pantas dibelanya.
Menurut puteri bungsunya, Inayah Wulandari, ketika Gus Dur membela kelompok minoritas, yang ia bela bukan Cina, Ahmadiyah atau Nasrani-nya, melainkan manusianya. Gus Dur yang mencintai manusia, lanjut Inayah, lebih senang dipanggil sebagai seorang humanis. Karena itulah, ia pernah berpesan jika kelak meninggal di pusaranya ingin (bahkan sudah) dituliskan “Di sini dimakamkan seorang Humanis”.
Humanisme Eropa
Soal martabat dan kebebasan manusia ini menjadi prioritas pertama dalam konstitusi Jerman (Grundgesetz). Artikel (pasal) pertama (1) dari konstitusi itu menyatakan bahwa “Martabat manusia tidak tersentuh [alias segala-galanya]” (Die Würde des Menschen ist unantastbar). Pasal ini menjamin penuh bahwa martabat manusia tidak boleh diganggu dan direndahkan dengan alasan apa pun. Hak asasi manusia yang melekat bersamaan dengan martabatnya mensyaratkan tiadanya diskriminasi, penghinaan, penindasan atau pengusiran.
Anak kandung dari pasal pertama ini adalah “kebebasan individu” (Freie Entfaltung der Persönlichkeit) dan “kebebasan bertindak” (Handlungsfreiheit). Dalam konteks ini warga Jerman memiliki kebebasan penuh untuk menentukan dirinya sendiri, bahkan sejak kecil mereka memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang (Entfaltung) sesuai yang diinginkannya tanpa diintervensi atau dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal yang bertentangan dengan martabat dan kebebasannya.
Lanjutan dari pasal pertama di atas ditegaskan “Sie zu achten und zu schützen ist Verpflichtung aller staatlichen Gewalt” (Mengawasi dan melindunginya adalah tugas atau tanggung jawab semua aparat negara). Hal itu berarti negara, melalui semua instrumennya, hadir dan pro-aktif melindungi martabat dan kebebasan setiap warganya. Konsekwensinya adalah pertama, hukum dibuat dan dilaksanakan tidak untuk mempermalukan atau merendahkan martabat warganya di depan publik.
Di beberapa wilayah Jerman bagian Barat, bahkan ada semacam pandangan sosial (hukum tak tertulis) jika seseorang berbuat salah kepada orang lain tetapi dibalas dengan cara ‘merendahkan atau mempermalukannya’, maka biasanya masyarakat akan bersimpati kepada si pembuat salah yang dipermalukan itu. Hal ini berbeda paradigma misalnya, dengan praktik hukum Islam di beberapa negeri yang menghukum seseorang di depan publik (dicambuk atau dirajam) dengan tujuan jera dan agar tidak diikuti oleh warga lain.
Kedua, tidak mencabut kewarganegaraan seseorang dengan alasan apa pun. Deportasi imigran illegal di Jerman sangat sulit dilakukan karena alasan menjaga martabat kemanusiaan itu. Ide dasar konstitusi Jerman ini dapat dikatakan benar-benar bottom-up, berasal dari bawah dan sudah mengakar. Konstitusi yang diikrarkan pada Mei 1949 ini menjadi semacam memori kolektif orang-orang Jerman tentang keluhuran martabat manusia dengan mengenang kekejaman Nazi terhadap jutaan kaum Yahudi yang menderita dan tewas hanya karena mereka memiliki ras Yahudi.
Pemerintah Jerman mengeluarkan biaya yang sangat besar dan ‘proses yang sangat menyakitkan’ untuk sampai kepada penghormatan pasal pertama dalam konstitusi mereka. Semua organ negara dikerahkan untuk mengenang kekejaman Nazi—pada semua level masyarakat–agar tidak terulang kembali. Kekerasan, dalam bentuk apa pun, adalah musuh bersama masyarakat Jerman. Usaha mereka cukup berhasil. Kini, Jerman adalah salah satu negara yang memiliki anak-anak dan remaja yang relatif ‘bersih’ atau ‘perawan’(virgin) dari memori kekerasan.
Die Würde (martabat) inilah kiranya yang menjadi alasan pokok Kanselir Merkel menerima hampir satu juta imigran Muslim masuk ke Jerman. Soal imigran ini adalah ujian bagi pemerintah dan masyarakat Jerman yang percaya dengan ‘martabat manusia’. Memang terjadi perdebatan pro-kontra yang keras dengan alasan yang sama-sama emosional. Tetapi dengan ‘emosi kemanusiaan’ yang dipilih, pemerintahan Merkel tidak surut memperhatikan nasib imigran. Dalam rentang tiga tahun (2016 hingga 2018) pemerintah Jerman telah mengeluarkan 20 Milyar Euro untuk berbagai program membantu imigran. Bahkan ada kejadian yang cukup emosional, banyak pilot di Jerman pada 2017 yang tidak mau menerbangkan pesawat para imigran Afghanistan yang akan dideportasi dari Jerman, jumlahnya tidak main-main: 222 penerbangan, karena di Jerman ada aturan melarang deportasi ke kawasan yang “membahayakan jiwa”. Apa dasar bagi perlindungan atas jiwa yang berbahaya? Tak lain adalah kemanusiaan.
Humanisme Islam
Dalam Islam, penghormatan tinggi atas manusia bukan sesuatu yang baru. Mendiang Nurcholish Madjid, sahabat karib Gus Dur, dalam beberapa kesempatan menunjukkan satu referensi (1999) yang menyebut bahwa Giovanni Pico della Mirandola, seorang pemikir Eropa masa renaisans menemukan satu naskah berbahasa Arab yang mendiskusikan Abdullah, seorang Muslim di masa perang Salib, ketika ditanya hal apa yang paling berharga dan mengagumkan di atas panggung dunia ini? Jawabnya “tak ada satu pun kecuali manusia”.
Fakta ini bahkan sesuai dengan pidato monumental Nabi Muhammad pada momen haji perpisahan (wada’) di abad ke-7 silam yang menegaskan bahwa “darah, jiwa dan properti umat manusia adalah suci (mulia) bagi mereka”; sebagai hak untuk dimiliki dan diproteksi.
Para pembaca di Barat yang jujur tidak terkejut dengan banyak referensi yang mengakui kontribusi Islam bagi pencerahan Eropa yang kini mewujud menjadi kiblat peradaban dan pencapaian tertinggi manusia. Islam Spanyol misalnya, tidak semata berjasa menjadi “jembatan” antara Eropa abad pertengahan dengan para filusuf leluhur Yunani mereka, tetapi juga memberi pondasi yang kokoh bagi sains dan kemoderenan.
Pengakuan jujur dua penulis asal Eropa, Tim Wallace Murphy melalui What Islam Did For Us? Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization (2006) dan Humberto Garcia dengan karyanya Islam and the English Enlightenment 1670-1840 (2012) masih menarik untuk audiens Barat dan Muslim yang penasaran dengan pencerahan dan humanisme Barat saat ini. Tesis utama Garcia adalah bahwa renaisans Eropa Barat, terutama Inggris di masa-masa abad 17 hingga 19, yang kelak melahirkan peradaban Eropa yang “mewah” saat ini bukan kreasi mereka sendirian; bukan mukjizat yang tiba-tiba runtuh dari langit.
Garcia melacak para penulis beken Inggris yang mendorong pencerahan dan revolusi politik dan intelektual seperti Samuel Taylor Coleridge penulis Mahomet (1799), Henry Stubbe penulis The Rise and Progress of Mahometanism (1671), Edmund Burke, Mary Montagu, Robert Southey dan Percy dan Mary Shelley yang semuanya menulis tentang nabi Muhammad (Mahomet). Hasilnya adalah apa yang disebut ‘Afro-Eurasia’ dan ‘Republikanisme Islam’ yang merujuk kepada pikiran dan gerakan keagamaan nabi Muhammad di Mekkah dan Madinah.
Para penulis Eropa di atas menemukan dua hal pokok: (1) Islam Muhammad tidak mengabrogasi tradisi Yahudi dan Kristen tetapi mengembalikan keduanya, terutama Kristen dari jalan menyimpang paganisme Trinitarian Romawi, kembali ke monoteisme primitif, yakni monoteisme egaliter. Percaya kepada Tuhan yang esa pasti memunculkan sikap sosio-politik yang egaliter dan humanis, (2) Islam yang dipraktikkan Muhammad telah menjadi contoh dan jalan mulus bagi tegaknya toleransi, pluralisme dan hak-hak sipil yang sesungguhnya. Kristen Protestan di Inggris saat itu tidak punya konsep ini secara memadai. Angin dan getaran ‘Afro-Eurasia’ telah menyulut kesadaran para intelektual Eropa tentang pencerahan. Oleh mereka, Muhammad disebut sebagai reformer radikal yang sangat layak dirujuk dalam perumusan model pencerahan dan humanisme di Inggris abad 17-18. Bahkan Norman O. Brown, seorang filusuf sosial Amerika, seperti dikutip Garcia, menyebut Islam sejatinya adalah juga milik tradisi kenabian Eropa Barat.
Sebagai cendekiawan Muslim yang produktif, Gus Dur semasa hidupnya tentu membaca dan merenungi bagaimana humanisme Islam klasik telah menyuntik kemanusiaan yang segar bagi Eropa yang gelap, dan di masa modern malah Eropa yang mengajari Islam penghormatan tinggi atas martabat manusia. Tetapi cita rasa dan praktik humanisme Gus Dur sesungguhnya sederhana saja. Dalam Tabayun Gus Dur (1998), Gus Dur menyebut nama Ibu Rubi’ah, seorang anggota Gerwani, yang memaksanya–di sekolah menengah pertama–untuk membaca novel-novel berat berbahasa Inggris dan Prancis yang kelak menumbuhkan cita rasa humanismenya. Tetapi yang memberinya kesan mendalam adalah dunia pesantren dengan tradisi Kyai yang humanis yang memuliakan manusia tanpa perhitungan.
Itu artinya–alih-alih menciptakan permusuhan dan kebencian, lembaga pendidikan dan dakwah agama mestinya menyemai spirit persaudaraan dan kasih sayang. Mengenang Gus Dur adalah tanggung jawab dan keberanian untuk memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan, seperti kata Hukum Emas “Do unto others as you would have them do unto you”. (AN)
Media Zainul Bahri, Gurubesar Pemikiran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Periset Posdoktoral di Universitas Köln, Jerman (2012-2014, dan 2018).