Bukan Gus Dur jika tidak membuat manuver yang mengejutkan lawan-lawan politiknya. Bahkan, internal para pengurus Nahdlatul Ulama dan warga Nahdliyyin seringkali harus merenung mendalam untuk memahami langkah taktis Gus Dur. Pertemanan Gus Dur dengan orang-orang Tionghoa tidak sekedar dalam aspek kebudayaan. Gus Dur bergerak maju dengan membentuk kongsi bisnis untuk membangun ekonomi kerakyatan.
Bagaimana bentuknya? Bersama keluarga Soeryadjaya, pengusaha Tionghoa yang menguasai jaringan bisnis, Gus Dur membentuk bank untuk rakyat. Bank Summa, yang berada di bawah grup Astra, diajak sebagai mitra bisnis yang mensuplai dana. Maka, terbentuklah NU-Summa. Gus Dur bekerjasama dengan putra William Soeryadjaya, yang bernama Edward Soeryajaya mendirikan Bank NU-Summa (Andre Feilard, Gus Dur NU dan Masyarakat Sipil, 1994: 75).
Pada tahun 1990, Gus Dur membuat manuver yang mengejutkan dengan mengumumkan bahwa NU akan mendirikan bank kredit pedesaan. Bank ini, dimaksudkan untuk membantu pengusaha nahdliyyin, rakyat kecil dan petani. Bank ini menggandeng grup Bank Summa sebagai mitra kerjanya. Rencana awal, NU-Summa akan membangun dua ribu cabang. Namun, pada akhirnya hanya sembilan cabang yang berdiri, sebelum Bank Summa runtuh pada 1992, dengan beban kredit sebesar US$ 720 juta. Saham Bank Summa diambil alih oleh Koran Jawa Pos, sedangkan Grup Astra diambil alih oleh dua cukong, Prajogo Pangestu dan Liem Sioe Liong (MC. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, hal. 671).
Siapakah Edward Soeryadjaya? Ia merupakan putra dari William Soeryadjaya, konglomerat pemilik Astra Group. Semasa hidupnya, Om Willem (begitu ia disapa oleh koleganya) merupakan pebisnis bertangan dingin, yang bekerja dengan tekun dan teliti. Ia membesarkan jaringan bisnis Astra Group, serta membangun grup bisnis di beberapa sektor usaha. Di antaranya, Karabha Group, Malabar Group, Sidita Group, Siratara Group, Watek Group, Suryaraya Group, Nityasa Group, dan Arya Group (Arsip Warta Ekonomi).
Edward Soeryadjaya (Tjia Hak Sen), lahir di Amsterdam, 21 Mei 1948. Edward memulai petualangan bisnisnya sebagai pemegang saham dan Komisaris PT Astra Internasional. Ia juga dipercaya sebagai pengeloa Summa Group, anak usaha dari Group Astra. Summa bergerak dalam bisnis perbankan, keuangan dan sektor ekonomi lain.
Dalam buku biografi tokoh Tionghoa, Southeast Asian Personalities of Chinese Descent: A Biographical Dictionary (Ed, Leo Suryadinata, 2012: 1000-2), sosok keluarga Soeryadjaya yang menguasai pelbagai sektor bisnis di Indonesia. Kerjasama keluarga Soeryadjaya melalui Bank Summa yang dikelola Edward Soeryadjaya menimbulkan gejolak bagi pemerintah Orde Baru. Penetrasi grup Summa untuk membuat bank-bank kecil yang terkoneksi dengan potensi ekonomi warga Nahdlatul Ulama, membuat taipan-taipan di balik kekuasan Soeharto merasa gerah. Inilah yang kemudian menjadi hantaman bagi NU-Summa.
Bank NU-Summa merupakan respon Gus Dur terhadap problem ekonomi dan kredit keuangan bagi rakyat kecil. Gus Dur ingin mempersatukan potensi kuantitas warga NU serta potensi sumber daya yang terus tumbuh, dengan modal ekonomi yang dimiliki pengusaha Tionghoa. Selain itu, Gus Dur ingin memberi contoh betapa NU dapat bekerjasama dengan institusi bisnis yang dimiliki orang Tionghoa, yang pada waktu itu terdiskriminasi oleh kebijakan pemerintah Orde Baru.
Greg Barton mengenang masa-masa penting Gus Dur dalam membangun NU-Summa. Selama beberapa tahun, Gus Dur telah mengimpikan adanya jaringan bank pedesaan, seperti Grameen Bank di Bangladesh. “Jaringan bank ini akan memberikan kredit bagi mereka yang sukar memperoleh kredit dari bank konvensional. Bank ini didukung oleh Bank Summa, yang dimiliki oleh WNI keturunan Cina, dan juga menerika deposito konvensional yang mendapatkan bunga,” tulis Barton, dalam karyanya ‘Biografi Gus Dur’ (2003: 213).
Dalam catatan Greg Barton, Gus Dur secara konsisten membela WNI keturunan Cina, dan orang-orang lintas agama. Teruma, mereka yang selama ini terdiskriminasi oleh kebijakan politik penguasa. Orang-orang Tionghoa merasa berhutang budi kepada Gus Dur, karena pembelaannya yang berani melawan diskriminasi politik dari pemerintahan Soeharto.
Banyak tokoh yang mendukung pendirian Bank NU-Summa. Di antaranya, Menteri Agama Munawir Syadzali, yang mengatakan bahwa pendirian Bank NU-Summa merupakan langkah strategis dan seharusnya terjadi lebih awal. Tokoh lain, Dorodjatun Kuntjorojakti, pakar ekonomi dan Dekan FE UI (pada waktu itu), menegaskan bahwa gagasan pendirian NU-Summa merupakan ide besar. Bahkan, Dorodjatun berharap langkah Gus Dur mendirikan bank untuk rakyat 15 tahun lebih awal, dari perwujudan gagasannya.
Inisiasi pendirian Bank NU-Summa membawa kenangan penting bagi orang Tionghoa Indonesia. Natalia Soebagjo, dalam “Orang Tionghoa Menjadi Indonesia” (Reinventing Indonesia, Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa, hal. 592) menulis peran penting Gus Dur dalam mendekatkan orang-orang Tionghoa dengan warga Indonesia. Jika selama ini orang Tionghoa dianggap ‘bukan orang Indonesia”, Gus Dur dengan jelas dan kongkrit mendekatkan dua kekuatan ini melalui institusi bisnis.
“Salah satu upaya kreatifnya untuk mendekatkan pribumi dan keturunan Cina adalah kerja sama NU dengan Summa Bank, milik keluarga Soeryadjaya, untuk mendirikan bank-bank perkreditan rakyat. Gus Dur ingin menunjukkan bahwa organisasi Islam NU bisa bekerjasama dengan seorang keturunan Cina,” tulis Natalia. Gus Dur juga bergerak untuk melawan diskriminasi Tionghoa. Setelah tragedi Mei 1998, Gus Dur menjadi pendiri Gerakan Anti-Diskriminasi Indonesia (GANDI).
Meski pada akhirnya Bank NU-Summa tersendat karena kolapsnya Bank Summa, namun langkah Gus Dur dalam membangun ekonomi kerakyatan melalui sistem, patut menjadi teladan. Keruntuhan Bank Summa lebih diwarnai oleh aksi politik penguasa, meski pada akhirnya William Soeryadjaya bertanggungjawab dengan menyelesaikan kredit macet dengan melepas sahamnya di Astra Group. NU-Summa menjadi catatan sejarah tentang relasi Gus Dur dengan orang-orang Tionghoa di negeri ini.[]
—Munawir Aziz, Wakil Sekretaris LTN Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, buku terbarunya bertema “Gus Dur & Jaringan Tionghoa Nusantara”, dalam proses terbit (Komunikasi via email: [email protected])
NB: Artikel ini hasil kerjasama islami.co dan I