Gus Dur dan Soe Hok-gie untuk Generasi Millenial  

Gus Dur dan Soe Hok-gie untuk Generasi Millenial  

Kita mengingat Gus Dur dan Soe Hok Gie di bulan Desember, bagaimana sosoknnya bagi milenial?

Gus Dur dan Soe Hok-gie  untuk Generasi Millenial   

Desember adalah bulan pengingat, sebab ada beberapa pemikir yang lahir dan meninggal di bulan ini. Selain KH. Abdurrahman Wahid atau lebih akrab dipanggil dengan Gus Dur, ada juga seorang aktivis mahasiswa yang meninggal muda yaitu Soe Hok-gie.

Popularitas kedua tokoh ini mungkin tak bisa dibantah, sebab kedua banyak menelurkan pemikiran-pemikiran yang masih banyak mempengaruhi pergerakan dan perjuangan untuk kemanusiaan saat ini. Gus Dur yang lahir di lingkungan pesantren di tahun 1940, banyak menulis esai, kata pengantar hingga buku sepanjang hidupnya. Pemikiran Gus Dur yang tertuang dalam karya-karyanya masih banyak dijadikan rujukan bagi mereka yang berjuang untuk meneguhkan nilai-nilai kemanusiaan di dunia ini.

Soe Hok Gie yang lahir dua tahun setelah Gus Dur, walau meninggal jauh lebih cepat dibanding Gus Dur juga membuahkan pemikirannya dalam bentuk esai-esai dan buku. Buku Catatan Seorang Demostran menjadi bacaan wajib bagi aktivis kampus. Bahkan kehidupan Soe Hok-gie pernah difilmkan oleh Riri Riza dan Mira Lesmana.

Buku-buku Gus Dur dan Soe Hok Gie masih banyak dicetak dan diproduksi sampai sekarang. Pemikiran mereka banyak “meracuni” para pejuang kemanusiaan. Walau kita semua tak bisa menyangkal bahwa tingkat baca buku kita masih rendah. Namun itu tak menyurutkan kita seharusnya dalam berjuang untuk menebar pemikiran kedua tokoh ini, sebab inilah salah satu cara perjuangan menjadikan dunia ini lepas dari penindasan, pembodohan, penyingkiran kepada yang lemah, bahkan kekerasan terhadap mereka yang berbeda.

Generasi kelahiran di atas tahun 90 disebut sebagai “Generasi Millenial”. Beberapa tulisan membedah generasi ini, salah satunya laporan yang ditulis di tirto.id bertemakan “Bagaimana Generasi Millenial Memandang Dunia?”. Tulisan ini menarik saya masukkan sebab pemikiran-pemikiran Gus Dur dan Soe Hok Gie hanya akan menjadi buih di lautan bila generasi saat ini tidak mengenal dan membaca pemikirannya.

Menurut laporan tersebut generasi millenial yang dikenal sangat akrab dengan teknologi juga cerdas, namun kepeduliaan mereka terhadap isu-isu yang krusial dihadapi oleh umat manusia kurang mendapatkan perhatian mereka. Dilakukan survei yang dihimpun dari 26.000 milenial berusia 18-35 tahun di 181 negara ini menunjukkan, prioritas terbesar mereka ada pada perubahan iklim dan perusakan sumber daya alam dengan persentase total 45,2 persen. Milenial di Amerika Latin juga Karibia merupakan yang paling peduli terhadap pemanasan global dan perubahan iklim dengan persentase sebesar 51,8 persen, diikuti dari Asia Selatan sebesar 49,3 persen.

Sedangkan isu agama bagi generasi millenial dalam survei tersebut hanya masuk di posisi ketiga setelah konflik perang di dunia. Survei ini mungkin belum menggambarkan secara keseluruhan dan fakta di lapangan, sebab jika melihat kasus di Indonesia mungkin perlu diadakan survei khusus karena riuhnya kasus-kasus yang berkelindan dengan agama bisa membawa persepsi soal agama menjadi perhatian bagi generasi millenial.

Memperkenalkan tokoh pemikir beraliran terbuka dan toleran seperti Gus Dur atau progresif seperti Soe Hok-gie sangatlah diperlukan bahkan bisa dikatakan wajib. Sebab narasi-narasi kekerasan dan perpecahan sekarang lebih banyak beredar bahkan dengan bungkus yang lebih cantik sebab menggunakan bingkai primordialisme seperti agama dan suku, inilah yang menyebabkan tak sedikit generasi yang melek teknologi ini bisa teracuni dengan isu-isu SARA.

Ustadz-ustadz yang sekarang tenar melalui media sosial dan media televisi mungkin perlu dijadikan contoh untuk kita memperkenalkan pemikiran-pemikiran Gus Dur dan Soe Hok Gie ini. Sekarang mungkin perlu lebih gencar lagi dalam menebar potongan-potongan pemikiran mereka, baik dalam bentuk qoute-qoute atau komik-komik kecil yang bisa dibaca sekilas dan tak perlu waktu lama dalam mencernanya.

Pemikiran kedua tokoh ini mungkin kadang sulit kita sederhanakan, sebab pemikiran mereka sangatlah mendalam dan bicara teori-teori besar. Namun inilah tugas kita bersama untuk mengemas pemikiran mereka dengan bingkai generasi millenial. Legasi mereka yang selama ini mungkin terbungkus buku-buku tebal dan jarang dibaca oleh generasi saat ini yang lebih suka pada hal-hal yang simpel dan tak banyak menguras pemikiran bisa kita kemas lebih menarik biar generasi millenial bisa terpapar pemikiran terbuka, toleran dan progresif.

Narasi kebencian memang tak bisa dibendung lagi sebab masih banyak yang dijadikan komoditas politik dan perebutan massa. Kita hanya bisa mencoba memberikan kontra-narasi yang lebih menyejukkan, mendamaikan dan membela pada mereka yang selama ini tertindas. Sebagaimana sebuah adagium berbunyi “seluruh manusia itu punya kecenderungan kepada kebaikan”, maka kita harus yakin bahwa kebenaran dan kebaikan akan mendapatkan tempat di hati manusia.

Kalau Soe Hok-gie mengatakan “lebih baik diasingkan daripada menyerah kepada kemunafikan”, Gus Dur pun pernah bertutur “orang yang masih terganggu dengan hinaan dan pujiaan manusia, dia masih hamba amatiran”. Inilah pesan yang perlu kita camkan dalam perjalanan memperjuangkan humanisme yang takkan pernah lurus dan mudah.

 

Fatahallahu alaihi futuh al-Arifin