Gus Dur mengatakan:
“Dalam kitab al-Hikam, penulisnya merumuskan sebuah sikap yang sangat fundamental dalam mendidik religiositas: “Jangan temani orang yang perilakunya tidak membangkitkan semangat kepada Allah dan ucapan-ucapannya tidak menunjukkan kamu ke jalan menuju Allah” (Gus Dur, Pengantar dalam buku YB Mangunwijaya, Menumbuhkan Sikap Religiositas Anak-Anak (Jakarta: Gramedia, 1986).
Perkataan di atas, seperti ditunjukkan Gus Dur, bersumber dari kitab al-Hikam, yaitu al-Hikam al-Atha`iyah susunan Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari, mahaguru tarekat Sadziliyah setelah Syaikh Abu Hasan asy-Syadzili dan Syaikh Abul Abbas al-Mursi. Dalam kitab al-Hikam, teksnya itu berbunyi demikian: “ Lâ tashhab man lâ yunhidhuka hâluhu walâ yadulluka `alallah maqaluhu/ janganlah berkawan dengan orang yang tidak membangkitkan semangatmu untuk taat kepada Alloh dan kata-katanya tidak menunjukkanmu ke jalan Allah” (al-Hikam, No. 53).
Gus Dur mengutip kata-kata di atas dalam dua konteks: perlu ditinjau kembali aspek menanamkan religiositas anak manusia, yang selama ini bertumpu pada keimanan dengan “penguasaan rumusan-rumusan abstrak tentang Tuhan dan penumbuhan sikap formal yang menyempitkan wawasan anak tentang Tuhan.”
Gus Dur kemudian menekankan “kesadaran dan pemahaman akan Tuhan terkait sepenuhnya dengan percontohan yang harus diberikan tentang bagaimana seharusnya bergaul dengan Tuhan. Keteladanan adalah kata kunci dalam mengembangkan religiositas dalam diri anak. Keimanan anak adalah sesuatu yang tumbuh dari pelaksananaan nyata, walaupun dalam bentuk dan cakupan sederhana, dari apa yang diajarkan” (Sekadar Mendahului, 81).
Dari konteks ini, perkataan Gus Dur yang mengutip hikmah dari al-Hikam di atas, mengajarkan kepada seseorang agar senantiasa menjaga persahabatan atau membuat persahabat, ataupun bersahabat, dengan mereka yang dapat menjaga kebeningan hati, keshalehan amal, dan keintegritasan sikap. Sebab apa yang dilakukan itu, akan ditiru, diteladani dan dibaca oleh anak-anak, terutama ketika sahabat-sahabat ini berkunjung ke rumah, berada di tempat-tempat pertemuan, dan di acara-acara dimana sang anak kadang juga hadir.
Gus Dur juga mengemukakan konteks perkataan hiakmah di atas, dalam kerangka menjelaskan mereka, yaitu orang-orang “yang merasa paling mengerti Islam, penuh kebencian kepada makhluk Allah yang tidak sejalan dengan mereka, serta merasa sebagai yang paling benar, serta merasa paling benar, dan karenanya berhak mengklaim sebagai khalifah-Nya untuk mengatur semua orang, pastilah kata-katanya tidak akan membawa kita kepada Tuhan” (Gus Dur, “Musuh dalam Selimut”, Pengatar dalam buku Ilusi Negara Islam, Jakarta: WI dan MI, 2011, hlm. 168).
Menurut Gus Dur, cita-cita mereka yang demikian, di Indonesia, adalah ilusi. Karena sesungguhanya yang disebut negara Islam itu, di samping dalam sejarahnya ditolak oleh bangsa ini dan gagal, menurut Gus Dur, negara Islam itu “tidak terdapat dalam pemerintahan, tetapi dalam qalbu yang terbuka kepada Allah (siap menerima Nurullah) dan kepada sesama makhluk (siap menjadi rahmat bagi orang lain).”
Mencermati itu, pemaknaan Gus Dur tentang “orang-orang yang kata-katanya tidak menunjukkan kepada jalan Allah”, adalah sikap dan perilaku dari orang-orang yang sombong, dan berakhlak muhlikat yang semakin menggelapkan hati atau menuruti hawa nafsu. Hawa semakin menjauhkan nafsu dan ketenangannya menerim ketaatan dan kebagusan dalam beramal.
Menjauhi orang-orang yang tidak membangkitkan hati kita untuk hidup selalu dekat dengan Allah, sangat penting diperhatikan utamanya bagi mereka yang menapaki jalan kehidupan ini, yang belum sampai pada maqom perintah untuk berdakwah kepada mereka “yang kata-katanya tidak membangkitkan hati”; atau mereka yang hanya dan masih berkutat terpengaruh oleh ahwal spiritual, sehingga mengalami perubahan terus-menerus, dan persahabatannya dengan mereka yang tidak mendorong pada ketaatan dan amal-amal kebaikan, hanya akan menambah beban dan menuruti nafsnya, justru bisa terpengaruh, juga disibukkan dengan kesibukan mereka. Orang-orang seperti ini, lebih baik melakukan uzlah dari mereka yang tidak membangkitkan hati.
Bahkan Ibnu Atha’illah menambah lagi: “Dan sekiranya engkau bersahabat dengan orang yang bodoh tetapi tidak menuruti hawa nafsunya lebih baik daripada berkawan dengan seorang alim yang selalu menuruti hawa nafsunya” (Hikmah, No. 44).
Dalam hal ini, Imam Sahal bin Abdullah at-Tustari menasehat, agar berhati-hati kepada tiga jenis orang: penguasa zhalim, ahli qurra’ (para pembaca Al-Qur’an) yang bermuka-muka, dan orang-orang yang berpura-pura menekuni jalan tasawuf. Sementara dalam hadits Nabi Muhammad, orang-orang mukmin diingatkan dari mereka yang banyak melakukan kenifaqan, dan melakukan perbuatan-perbuatan tercela dan muhlikat.
Sedangkan bagi mereka, yang sudah didudukkan pada peningkatan dari ilmu ahwal, menuju apada ilmu maqom, kadangkala ada yang memang diperintahkan untuk berdakwah dan mengajak li ishlâhul ummah, dan harus mendatangi para preman, para bajingan, para kecu, begal, dan pelacur-pepelacur inteletkual, juga penguasa-penguasa zhalim, dan tidak memilih uzlah dari mereka, agar dapat dicegah mafsadatnya, atau dirasakan melalui persambungan pesahabatan itu untuk sedikit demi sedikit diajak pada perbaikan.
Mereka yang diperintah untuk tidak uzlah dari “orang-orang yang perkataannya tidak membangkitkan hati ke jalan Alloh”, tidak lagi memikirkan hasilnya, tetapi upayanya terus menerus untuk itu kepada semua segmen dan level itu, adalah menunjukkan maqomatnya itu. Misalnya, dalam khazanah para guru kita adalah Gus Miek, yang dikenal mendatangi tempat-tempat yang digunakan untuk maksiat, untuk berdakwah dengan cara yang sesuai dengan mereka.
Dan, Gus Dur, juga dikenal dengan sikap-sikapnya yang mendatangi berbagai segmen masyarakat ini, berlevel nasional dan internasional. Padahal beliau sendiri sering mengutip al-Hikam di atas. Itu artinya, orang-orang yang melihatnya supaya “afalâ ta’qilûn” dan “afalâ tatafakkarûn”, seperti terlihat ada pertentangan.
Maka, mereka yang masih pada tahap ilmu ahwal, dan belum sampai pada tahap ilmu maqom, apalagi masih memulai terjun ke dalam ilmu yang mengarah ke situ, atau bahkan belum sama sekali, dan hanya melihat Gus Dur dari perkataan atau pemikirannya, dimun berlagak dan mengklaim dirinya telah memperjuangkan apa yang diperjuangkan Gus Dur, dan belum tentu menjadi baik bagi dirinya, dengan mendatangi para peman atau penguasa-penguasa zhalim. Sebab pemikulan amanat itu disesuaikan dengan kapasitas dan tugas, dan upaya-upayanya yang merdeka. Kadangkala kita bisa seakan melakukan kerja-kerja sesuai dengan pemikiran-pemikiran Gus Dur, tetapi kekikhlasan nihil; atau kadangkala bisa sedikit ikhlas, tetapi tidak sekuat dalam kerja-kerja praksis yangt dilakukan Gus Dur; atau kadangkala sudah dapat keduanya, tetapi ketersambungan hati dengan yang Maha Mengubah, jauh di bawah Gus Dur, bahkan secuil pun belum memulai.
Karena itu, seseorang harus bisa meneliti dirinya, dimana sebenarnya pangkat dan maqomnya dalam hal itu. Sedangkan yang terbaik adalah menggabungkan keduanya, dan karenanya, dia harus bisa melampaui ilmu ahwal menuju ilmu maqom, dan itupun perintah-Nya belum tentu sama dan harus seperti yang dilakukan Gus Dur. Maka, kalau tidak demikian, saya sendiri, yang awam ini, sering hanya niat ngalap barokahnya Gus Dur dalam berbagai ikut gerombolan bersama, tidak berniat ingin ndakik-ndakik mengubah sistem sosial, atau berusaha menjadikan orang menjadi baik.