Gus Dur dan Masalah Hidup Berdampingan

Gus Dur dan Masalah Hidup Berdampingan

Gus Dur dan Masalah Hidup Berdampingan

Gus Dur dan Masalah Hidup Berdampingan

[Nur Kholik Ridwan, Peneliti ISAIS, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta]

KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah mengatakan: “Nabi Muhammad langsung diber itahu Tuhan bahwa ada perbedaan- perbedaan dalam beragama, sebagaimana firman Tuhan, lakum dinukum waliyadin,“ Bagi kalian agama kalian, bagiku agamaku” (QS. Al- Kafirun [109]: 6). Agama Islam mengajarkan semangat toleran yang menghargai sesama manusia, walaupun berbeda agama.” (KH. Abdurrahman Wahid dan Daisaku Ikeda, Dialog Peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian, hlm. 186).

Menurut Gus Dur, salah satu inti penting dari ajaran Nabi Muhammad dalam masalah hubungan sosial adalah mengembangkan pandangan hidup tasamuh dan sikap toleran. Beberapa alasan untuk memperkuat bahwa tasamuh adalah contoh kepribadian seorang muslim yang diajarkan Kanjeng Nabi Muhammad, dikemukakan oleh Gus Dur di antaranya:

1. Dalam perjalanan hidupnya, ada seseorang yang tidak pernah masuk Islam, namun dalam perjalanan hidupnya selalu mendukung dan menjadi pelindung bagi Nabi Muhammad. Orang tersebut adalah pamannya, yang bernama Abu Tholib. Nabi Muhammad hidup berdampingan dengan pamannya dan sangat menghargainya. Nabi Muhammad sudah biasa hidup plural.

2. Selain itu ada kisah tiga orang pendeta Kristiani yang datang dari Najran (Provinsi Timur di Arab Saudi). Oleh Nabi Muhammad mereka diminta (atau diperbolehkan-pen) untuk beriba dah menurut agama mereka di masjid (karena di Madinah tidak ada tempat ibadah mereka-pen) (ibid., hlm. 185).

Tentang Abu Tholib dalam argumentasi Gus Dur itu, adalah contoh penting soal hidup berdampingan yang diajarkan Kanjeng Nabi Muhammad, dan penjelasan itu dalam kitab-kitab sirah sangatlah jelas. Nabi Muhammad tidak memerangi Abu Tholib yang tidak menyatakan keislamannya kepada beliau. Ini juga membuktikan, ada orang yang tidak menyatakan keislamannya kepada beliau, tetapi juga tidak memerangi beliau dan Islam. Hal ini juga menjelaskan bahwa dalam Islam, prinsip hidup bersama dengan umat dan kelompok lain adalah saling menghargai dan menghormati. Praksisnya, adalah hidup ber dampingan , membuat perjanjian damai, dan merajut hidup bersama tanpa kekerasan, meskipun mereka berbeda dalam agama- kepercayaan.

Memang di antara mereka ada yang menentang dan mengingkari Nabi Muhammad, lalu melakukan permusuhan dan melakukan pengusiran terhadap Nabi dan pengikutnya; dan kemudian berupaya melenyapkan Nabi Muhammad dan pengikutnya sampai memicu perang Badar. Mereka diorganisir kaum musyrik Quraisy. Menghadapi yang seperti ini, Kanjeng Nabi siap berhadapan secara fisik, tanpa melupakan upaya perdamaian yang harus dikembangkan, sebagaimana dicontohkan dalam Perjanjian Hudaibiyah.

Maka jelaslah, selagi dicapai kesepakatan perdamaian dan tidak ada ancaman nyata dari kelompok musyrikin Quraisy, sebagai contohnya, maka hidup berdampingan yang dicontohkan Kanjeng Nabi adalah akhlak seorang muslim yang harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa Islam memiliki pandangan tentang berbagai persoalan tentang tauhid, tentang ritus-ritus, tentang Nabi Isa yang berbeda dengan trinitas, tentang besarnya dosa syirik dan lain-lain, adalah terang be nderang.

Adanya pandangan dunia dan wawasan Islam tentang berbagai hal itu, tidak serta merta mengharuskan untuk melakukan tindakan pengusiran, kekerasan, perlakuan zhalim, dan pembantaian, hanya karena alasan perbedaan pandangan keagamaan, misalnya soal perbedaan tentang pandangan soal Nabi Isa, atau pandangan ketuhanan yang dimiliki kaum musyrikin, dan lain-lain. Penyampaian dakwah dengan akhlak mulia, akan lebih mengesankan dan dapat menyentuh perasaan. Bagian ini kemudian memunculkan perlunya fiqh dakwah yang tidak dilakukan dengan gegabah dan gembar gembor, tetapi memiliki isi yang dalam dan strategi yang santun, argumentatif, dan cerdas.

Terhadap kaum musyrikin saja, yang secara akhirat dan kualitas keimanan perilakunya oleh Al-Qur’an dianggap dosa paling besar, ternyata dalam hubungan sosial dengan mereka, Al-Qur’an juga memberikan alternatif penting penghargaan atas perdamaian, bila dicapai kesepakatan damai tanpa kekerasan, atau hidup berdampingan dalam hidup sosial. Dalam Al-Qur’an disebutkan begini:

“Terkecuali kaum musyrik yang membuat perjanjian dengan kamu, lalu mereka tak merugikan kamu sedikitpun, dan tak membantu siapapun untuk melawan kamu, maka penuhilah perjanjian mereka, sampai habis batas waktu mereka, Sesungguhnya Alloh itu suka kepada orang yang menetapi kewajiban” (QS. al-Baroah/at-Taubah, [9]: 4).

Salah satu riwayat yang diceritakan dalam Tafsir Durrul Mantsur karangan Imam as-Suyuthi tentang ayat itu, menjelaskan demikian:

Menurut Qatadah mereka adalah kaum musyrik Quraisy yang mengikat perjanjian dengan Nabi Muhammad, pada masa perjanjian Hudaibiyah. Dan ada sisa waktu perjanjian itu selama 4 bulan setelah hari Nahar. Maka Alloh memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk memenuhi kepada mereka perjanjian itu sampai batas waktu perjanjian itu.

Berkata juga Ibnu Abbas riwayat dari Ibnu Marduyah demikian: “Apabila orang-orang musyrik melakukan penentangan atas perjanjian mereka, dan mereka memperlihatkan secara lahir penentangan mereka, maka perjanjian itu tidak ada bagi mereka. Apabila mereka menunaikan perjanjian yang ada pada mereka dengan Rasulullah dan tidak menampakkan secara lahir penentangan atas itu, maka Nabi diperintahkan untuk menunaikan kepada mereka perjanjian mereka dan memenuhinya (hak-haknya-pen.)” (Tafsir Durrul Mantsur fi Tafsir al-Ma’ tsur, Juz VII: 242-243).

Bahkan kalau ada kaum musyrikin yang meminta perlindungan, diperintahkan untuk diberi perlindungan agar memungkinkan mereka mendengarkan seruan-seruan firman Alloh dengan tanpa paksaan, sedangkan keputusan apakah mereka mendapat hidayah atau tidak adalah urusan Alloh, hak Alloh. Hal ini dijelaskan di dalam surat at- Taubah ayat 6 demikian:

“Dan jika salah seorang di antara kaum musyrik minta perlindungan kepada engkau, berilah perlindungan kepadanya sampai ia mendengar firman Alloh, lalu antarlah ia ke tempat yang aman. Ini disebabkan karena mereka kaum yang tidak tahu (QS. at- Taubah [9]: 6).

Ayat ini juga sangat jelas, akhlak yang diperintahkan agar memberikan keamanan kepada mereka kaum musyrikin yang meminta perlindungan, dan memberikan dan mengantarkannya ke tempat yang aman. Dengan demikian jelaslah bahwa hidup berdampingan tanpa kekerasan adalah salah satu akhlak yang diajarkan Kanjeng Nabi Muhammad, terhadap agama lain dan kelompok lain, meskipun harus dikatakan secara jujur, Islam memiliki pandangan-pandangan wawasan tertentu yang berbeda dengan kelompok lain itu. Memahami semangat hidup yang demikian, maka mudahlah memahami kenapa Gus Dur selalu memperjuangkan tasamuh dan hidup berdampingan dengan sehat dan damai di Indonesia.

Argumentasi lain, tentu saja masih ada dan bisa disusun berparagraf-paragraf (termasuk hajatnya kita sebagai masyarakat Indonesia yang majemuk ini agar memelihara hidup berdampingan). Dan, argumentasi yang dikemukakan Gus Dur di atas, adalah bukti nyata yang tidak boleh diingkari bagi seorang muslim. Pokok pentingnya, untuk menjadi muslim yang sesuai dengan akhlaknya Kanjeng N abi Muhammad, harus inheren di dalamnya memiliki pandangan dan sikap tasamuh terhadap orang yang beragama lain dan berkepercayaan lain, tanpa menafikan Islam memiliki pandangan-pandangan tertentu tentang Tuhan, kenabian, dan lain-lain, yang perlu disampaikan secara santun, sabar, argumentatif, dan cerdas.