Sembilan tahun lalu, paruh pertama tahun 2007, almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mendoakan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Gubernur. Ketika itu, jalan terjal sedang menghadang Ahok. Tepat ketika ia maju sebagai calon Gubernur Bangka Belitung berpasangan dengan Dr. Ir Eko Cahyono. Pada awalnya dalam perhitungan suara sementara, 22 Februari 2007, Ahok melesat jauh meninggalkan pesaingnya. Namun, di tikungan terakhir, konon ia dicurangi lawan politiknya.
Ahok tidak terima, ia mengadu ke Mahkamah Agung (MA). Usahanya buntu, Ahok gagal jadi Gubernur Bangka Belitung. Pada waktu itu, Gus Dur dengan gigih membela Ahok. Gus Dur bahkan ikut kampanye dan mendukung Ahok dalam proses akhir penyelesaian di pengadilan. Ketika Ahok hampir putus asa, Gus Dur mendoakan Ahok jadi gubernur, bahkan presiden.
Dukungan Gus Dur ini menjadi kisah menarik, karena belum banyak warga Tionghoa yang maju sebagai politisi dan kepala daerah. Meski Ahok tidak berhasil menjadi Gubernur Bangka Belitung, akan tetapi ia selalu ingat petuah dari Gus Dur. Menurut Ahok, Gus Dur pernah meramalkan dirinya akan menjadi Gubenur bahkan pemimpin bangsa.
“Siapa bilang orang turunan Tionghoa belum bisa jadi Gubernur? Jadi presiden, kamu aja bisa!” ungkap Ahok menirukan perkataan Gus Dur. Ahok mengulang ucapan ini, dalam testimoni pada Haul ke-4 Gus Dur di Pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan, Selasa, 28 Desember 2013.
Nyatanya, Joko Widodo (Jokowi) berpasangan dengan Ahok sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta pada 2012. Dua tahun kemudian, Jokowi terpilih sebagai presiden pada pemilu 2014, berpasangan dengan Wapres Jusuf Kalla (JK). Ahok yang sebelumnya menjadi Wakil Gubernur, ditetapkan sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Kenapa Dukung Ahok?
Dukungan Gus Dur terhadap kelompok minoritas tidak hanya berhenti pada perbicangan dan wilayah konseptual semata. Untuk mendukung warga Tionghoa agar mendapat hak politiknya, Gus Dur ‘turun gunung’ melakukan pembelaan. Ketika menjabat sebagai presiden, Gus Dur menerapkan kebijakan menghapus diskriminasi orang Tionghoa mencabut Inpres No 14/1967 dan meneken Keppres No 6 Tahun 2001. Intinya, Gus Dur menjadikan warga Tionghoa mendapatkan hak politik dan sosialnya. Orang-orang Tionghoa Indonesia sangat berterima kasih pada Gus Dur, dengan menyebutnya sebagai “Bapak Tionghoa Indonesia”.
Dukungan Gus Dur terhadap Ahok, merupakan konsekuensi dari sikap konsisten Gus Dur dalam membela minoritas. Ahok juga sangat berterima kasih kepada Gus Dur, karena dukungan Gus Dur tidak hanya dimaknai sebagai dukungan politik, namun juga dukungan moral untuk memberi ruang bagi kaum minoritas tampil sebagai eksekutif di wilayah politik. Gus Dur lah yang mendukung Ahok agar terus berjuang sebagai politisi, yang mampu memberikan kontribusi positif bagi warga negeri ini. Dukungan Gus Dur kepada Ahok bukan tanpa alasan.
Pada orasi kampanye di Bangka Belitung, Gus Dur menegaskan bahwa bangsa Indonesia harus siap menjadi bangsa yang besar, dengan memberi ruang pada minoritas. Gus Dur menekankan bahwa mendukung Ahok karena cinta.
Gus Dur menyitir ayat al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia berupa laki-laki dan perempuan, untuk berpasang-pasangan. Juga, dengan berbangsa dan suku bangsa, agar saling mengetahui, saling mengenal. Kalau sudah mengenal, akan menjadi cinta. “Kenapa memilih Ahok? Karena cinta! Kita semua akan memilih Ahok karena cinta,” ungkap Gus Dur.
Selain itu, Gus Dur memperjuangkan minoritas karena cita-cita kebangsaan. Inilah nilai-nilai keindonesia yang menjadi prinsip dasar, sebagai pencarian harmoni. Sejauh yang dipahami Gus Dur, yang paling Indonesia di antara semua nilai yang diikuti oleh warga bangsa ini adalah pencarian tak berkesudahan akan sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan sama sekali ikatan dengan masa lampau.
“Kita dapat menamainya sebagai pencarian harmoni, walaupun dengan begitu bersikap tidak adil pada pencarian besar dengan peranan dinamisnya dalam pengembangan cara hidup bangsa dan menyalurkannnya ke jalan baru tanpa menghancurkan jalan lama, semuanya dalam proses yang berurutan” (Abdurrahman Wahid, 2007: 163).
Pernah suatu kali, ketika sedang berkompetisi sebagai calon Gubernur Bangka, tim sukses Ahok menyarankan agar dia berpindah agama menjadi mualaf. Namun, Gus Dur mengatakan sebaliknya. “Timses saya pernah menyuruh untuk jadi mualaf agar dapat suara banyak. Tapi Gus Dur bilang enggak boleh. Beliau contoh yang tidak pernah menggadaikan agama demi sebuah jabatan politik,” ungkap Ahok, sebagaimana arsip media (Kompas, 29/12/2013).
Selain itu, ungkapan-ungkapan Gus Dur juga memotivasi Ahok untuk konsisten dalam melayani kepentingan rakyat, meski banyak kritik dan penolakan dari mereka yang berpandangan sempit. Hal ini terjadi ketika Ahok ditolak masuk ke sebuah mesjid di Jakarta.
“Kalo kata Gus Dur, orang yang menolak itu adalah orang yang pengalaman Islamnya sempit. ‘Udah biaran saja, nggak ngerti mereka. Jadi banyak orang nggak ngerti ajaran sebetulnya. Karena Islam itu kan rahmatan lil ‘alamin, rahmat buat seluruh ummat,” ungkap Ahok menirukan petuah Gus Dur.
Visi Gus Dur, Misi Ahok?
Kini, menjelang pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2017, karir politik Ahok sedang dipertaruhkan. Ia nekad memilih jalur perseorangan dengan menggandeng Heru Budi Hartono (Kepala Badan Pengelola Keuangan Aset Daerah DKI Jakarta). Relawan #TemanAhok dengan gigih mendukung pasangan ini, dengan menggalang simpati dan mengumpulan KTP. Menjelang 2017, Ahok sedang dalam pertaruhan politik. Beberapa parpol masih dalam perhitungan antara mendukung Ahok atau mengusung calon lain.
Sebagai murid Gus Dur, masihkan Ahok memperjuangkan gagasan-gagasan Sang Kiai? Jika menganggap dirinya sebagai murid Gus Dur, masihkan Ahok meneruskan perjuangan Gus Dur yang belum tuntas? Bagaimana ramalan Gus Dur tentang Ahok sebagai Presiden?
Saya kira, kelak, sejarah yang akan menjawabnya. []
Munawir Aziz adalah peneliti dan editor penerbitan. Alumnus Pascasarjana UGM. Bisa ditemui di @MunawirAziz