Abdurrahman Wahid (Gus Dur w. 2009) dan Nurcholish Madjid (Cak Nur w. 2005) merupakan tokoh intelegensia Muslim Indonesia. Hingga saat ini pikirannya masih relevan untuk didiskusikan. Persoalan-persoalan terkait dengan demokrasi, HAM, politik, bahkan relevansi agama dan dunia modern sudah dibahas sedemikian rupa sehingga kontribusinya masih bisa dirasakan.
Gus Dur dan Cak Nur hidup di era yang mana Indonesia sedang pada tahap modernisasi. Indonesia masih menata diri untuk hidup berdampingan dengan dunia modern. Dunia modern dicirikan sebagai zaman di mana rasionalitas, sekularisasi, dan ilmu pengetahuan yang tinggi menjadi basisnya. Ciri-ciri ini telah diungkapkan oleh seorang sosiologi Max Weber (1947) bahwa ciri dunia modern adalah meningkatnya rasionalitas manusia yang didukung dengan perkembangan teknologi, kedua, sekularisasi yang disebabkan adanya perkembangan rasionalitas tersebut.
Arus modernisasi tidak hanya melanda Indonesia saja. Di berbagai belahan dunia, khsusunya dunia ketiga, terkena dampak modernisasi yang dibawa oleh Barat. Tidak jarang kemudian terjadi ketegangan antara tradisi atau kearifan lokal (local wisdom) dengan dunia modern. Di Indonesia sendiri ketegangan antara kearifan lokal dan dunia modernitas tidak jarang yang menimbulkan konflik horizontal.
Banyak tantangan yang harus dihadapi oleh umat beragama pada saat dunia modern sedang melanda di Indonesia. Sebagai bentuk keberatan yang dikritik oleh masyarakat lokal adalah proyek sekularisasi yang memisahkan antara urusan agama dan negara. Perspektif dunia modern menilai bahwa kesadaran masyarakat lokal masih didominasi oleh hal-hal yang bersifat magis, oleh karenanya itu menandakan bahwa tingkat rasionalitasnya juga masih rendah.
Di tengah kondisi seperti ini, Cak Nur merumuskan sebuah gagasan bagaimana proyek sekularisasi ala dunia modern itu sesuai dengan agama Islam. Cak Nur, dalam bukunya Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (1987), menjelaskan bahwa sekularisasi bukan berarti memisahkan urusan agama dengan dunia secara total. Sekularisasi dipahami sebagai sebuah upaya untuk tidak mencampuradukkan mana urusan agama dan urusan dunia.
Cak Nur berargumen, dengan merujuk pada salah satu do’a yang artinya merujuk pada permintaan kebaikan kehidupan dunia dan di akhirat, bahwa Islam sedari awal memang sudah memisahkan urusan agama dan dunia. Manusia diberi akal oleh Tuhan untuk memikirkan kedua hal tersebut. Akal merupakan sebuah anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia untuk memikirkan sesuatu. Oleh karenanya manusia dikenal sebagai manusia yang berakal.
Akal dalam perkembangannya telah memberikan dampak besar bagi peradaban dunia. Melalui akal manusia dituntut untuk mengkontekstualisasikan nilai-nilai religiusitas agama supaya ia bisa dipribumisasikan. Dalam konteks ini, Gus Dur hadir dalam bentuk ide praktik kontekstualisasi agama dalam kehidupan budaya masyarakat.
Agama memiliki bahasa sendiri. Agama berbeda dengan budaya. Ajaran inti dari agama dari awal hingga hari ini masih tetap, sedangkan budaya manusia setiap zamannya akan berkembang. Dalam ajaran agama memuat nilai-nilai universal namun dalam bahasa yang ekslusif. Hanya umat agama itu sendiri yang memahami ajaran dan nilai universalitas sebuah agama. Oleh karena itu menurut Gus Dur perlu dipribumisasikan. Perlu ada proses kontektualisasi ajaran agama dalam kehidupan manusia.
Hal itu berarti bahwa agama harus diterjemahkan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat. Dalam konteks kemanusiaan, ajaran agama yang menjunjung tinggi martabat manusia dikontekstualisasikan oleh Gus Dur dengan memperjuangkan hak asasi manusia. Dalam hal ini Gus Dur merujuk pada lima maqasid as-syariah yaitu; hak hidup, hak beragama, hak kepemilikan, hak profesi, dan hak berkeluarga.
Gus Dur mencoba melihat kesesuaian yang bisa diambil dari dunia modern dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam. Konsep pribumisasi Islam merupakan sebuah proses pendinamisan dari ajaran islam yang sulit untuk dipahami, kemudian dikontekstualisasikan dengan peradaban umat manusia. Gagasan terkait dengan kontekstualisasi HAM Gus Dur kemudian dikenal dengan humanisme Islam. Humanisme yang sejatinya merupakan bersumber dari peradaban modern namun justru menemukan kesesuaian dengan ajaran Islam.
Oleh karena itu, perjuangan Gus Dur dan Cak Nur dalam menyesuaikan antara Islam dan dunia modern merupakan kontribusi besar dalam keberagamaan umat muslim Indonesia. Pemikiran yang diaktualisasi melalui tulisan maupun tindakan telah membawa kepada salah seorang pemikir teolog asal Indonesia. Kontribusi pemikirannya akan tetap hidup karena kedua tokoh ini adalah gerbang utama di mana perjuangan kontekstualisasi Islam di Indonesia menuai babak baru.
M. Mujibuddin, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.