Peringatan adalah tanda cinta. Lewat peringatan, kita berarti menaruh perhatian pada sesuatu secara sadar dan utuh. Seperti kata seorang bijak: lawan dari cinta bukanlah benci, melainkan ketidakpedulian. Itulah kenapa seorang pencinta rela menyita waktunya demi perhatian, peringatan, simpati, dan segala rasa kepedulian lainnya demi suatu hal yang dianggapnya pantas.
Selama rentang bulan Januari hingga Februari lalu, ratusan orang berjibaku mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, dan materi demi memperingati wafatnya seorang figur yang dicintai bersama, yaitu KH. Abdurrahman Wahid. Ya, kami semua memperingati sepuluh tahun wafatnya sosok yang akrab dipanggil Gus Dur tersebut selama dua bulan.
Peringatan haul, atau wafatnya seseorang, biasanya memang diselenggarakan selama sehari/semalam setiap tahun sekali. Tapi di Yogyakarta, kami memutuskan untuk membuat satu rangkaian acara cukup panjang untuk memperingatinya. Meski peringatan sedasawarsa haul Gus Dur ini diinisasi oleh Komunitas Gusdurian Jogja, tapi rasa memiliki dan mencintai yang melekat pada diri seluruh lapisan masyarakat Jogja akhirnya membuat acara ini menjadi milik bersama.
Selain sebagai momentum pengingat, peringatan haul ini juga dimaksudkan untuk menyebarkan nilai, pemikiran, dan keteladanan Gus Dur kepada kalangan yang lebih luas dan segmen yang lebih beragam. Maka dari itu, rangkaian acara haul lalu diisi oleh berbagai kegiatan yang beragam pula, seperti tahlil dan doa keliling pesantren, ziarah pemikiran yang membedah buku-buku Gus Dur di berbagai tempat epistemik, dan festival kampung yang menayangkan film tentang toleransi dan acara-acara kebudayaan di desa.
Selain itu, ada pula festival urban yang memfasilitasi masyarakat perkotaan agar lebih mengenal Gus Dur lewat pameran foto dokumentasi, dan puncaknya yaitu pengajian kebangsaan yang dihadiri oleh ribuan orang dari berbagai elemen yang ikut mendoakan Gus Dur dan bangsa Indonesia.
Presiden keempat RI itu adalah sosok multidimensi yang telah menelurkan banyak pelajaran hidup dan mewariskan berlimpah kebijaksanaan, dengan atau tanpa “celana kepresidenan”. Setidaknya, lewat pengalaman mengkurasi ribuan foto Gus Dur untuk keperluan pameran, sedikit-banyak saya mendapat banyak wawasan baru tentang kukuhnya sepak terjang Gus Dur dalam menjaga negara dan bangsa ini.
Dalam pameran foto dokumentasi Gus Dur yang menjadi kegiatan utama festival urban, terdapat lebih dari dua puluh foto yang ditampilkan. Sebagian besar foto Gus Dur tersebut diambil dari arsip The Wahid Institute, sedangkan selebihnya ditambahkan dari arsip DIAN/Interfidei, dua lembaga yang didirikan oleh Gus Dur beserta kawan-kawannya.
Dari berbagai bingkai foto dokumentasi yang memotret aktivitas Gus Dur semasa hidup, saya menaruh perhatian pada beberapa foto yang saya anggap monumental, sering menjadi obrolan, dan beberapa potret “baru” yang tidak pernah saya temui di internet. Berikut adalah foto-foto Gus Dur yang saya ambil sebagian dari pameran foto dokumentasi peringatan sedasawarsa haul Gus Dur di Yogyakarta:
[FOTO 1]
Gus Dur bersama sahabatnya, Ibu Gedong, dalam sebuah acara di Ashram Gandhi, Bali. Gedong Bagoes Oka atau terlahir dengan nama Ni Wayan Gedong adalah perempuan Hindu Bali yang aktif menggerakkan perdamaian dan mendorong dialog lintas iman. Pada tahun 1976, Ibu Gedong mendirikan Ashram Gandhi, semacam lembaga pendidikan pesantren Hindu yang mengajarkan spiritualitas perdamaian dalam ajaran Hindu kepada anak-anak muda. Salah satu ruang perjumpaan yang menjadi penjalin persahabatan Gus Dur dan Ibu Gedong adalah lewat bebagai kegiatan di Institut DIAN/Interfidei, Yogyakarta.
[FOTO 2]
Gus Dur dalam acara “Kongkow Bareng Gus Dur” di Kedai Tempo, Utan Kayu pada 5 Juni 2006. Saat itu topik yang dibahas adalah “Mengenang Pram”, sastrawan besar Indonesia yang belum lama meninggal dunia di tahun yang sama. Hubungan Gus Dur dan Pramoedya Ananta Toer sendiri cukup akrab. Keduanya bersahabat meski memiliki banyak perbedaan pandangan. Gus Dur merupakan presiden Indonesia pertama (dan satu-satunya) yang meminta maaf kepada Pram sebagai korban kekerasan negara saat peristiwa 1965.
[FOTO 3]
Momen saat Gus Dur mencium istrinya, Sinta Nuriyah Wahid saat perayaan ulang tahun Ibu Sinta yang ke-58 di rumah mereka, Ciganjur. Gus Dur menikahi Ibu Sinta pada 11 Juli 1968. Namun berhubung pada saat itu Gus Dur sedang melangsungkan studinya di Irak, maka akad nikah diwakili oleh kakeknya dari pihak ibu, KH. Bisri Syansuri. Barulah pada 11 September 1971, setelah Gus Dur pulang ke Indonesia diadakanlah pesta pernikahan mereka berdua.
[FOTO 4]
Pada 11 Juli 2003, Gus Dur mendapatkan gelar Doktor Kehormatan (Honoris Causa) di bidang kemanusiaan dari Universitas Netanya, Israel. Hubungan Gus Dur dengan Israel bisa dibilang cukup dekat. Sejauh ini, ia adalah satu-satunya presiden yang membuka jalur diplomatik dengan Israel. Alasannya sederhana, Indonesia tidak mungkin bisa berperan dalam perdamaian Palestina dan Israel jika tidak menjalin hubungan diplomatik dengan keduanya. Jauh sebelum menjadi presiden, Gus Dur pernah diundang oleh Perdana Menteri Israel, Yitzhak Rabin untuk menyaksikan penandatanganan perjanjian damai antara Israel dan Yordania pada tahun 1994.
[FOTO 5]
Gus Dur diapit Putu Wijaya (kiri) dan Radhar Panca Dahana (kanan) dalam perhelatan “Refleksi Setahun Federasi Teater Indonesia” pada 27 Desember 2005 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Selain dikenal sebagai seorang intelektual, politisi, dan kiai, Gus Dur juga diakui banyak orang sebagai budayawan. Ia pernah menjadi komentator sepak bola di televisi dan menjadi kolumnis sepak bola di media cetak. Pada rentang tahun 1986-1987 Gus Dur juga terlibat sebagai juri Festival Film Indonesia (FFI). Ia juga terpilih sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode 1982 – 1985, sekaligus menjabat sebagai ketua PBNU di waktu bersamaan.
[FOTO 6]
Pada 21 Januari 2005, Gus Dur meninjau wilayah Aceh setelah diterjang tsunami pada 26 Desember 2004. Bersama putri keduanya Yenny Wahid (baju merah muda) dan seorang ulama besar Aceh Abuya Ibrahim Woyla (bersarung selutut), Gus Dur berdoa di depan kuburan masal korban Tsunami Aceh.
Dan, [FOTO 7]
Potret Inul Daratista saat mengunjungi Gus Dur di rumahnya pada 19 Januari 2006. Pertemuan ini bukan pertama kalinya. Sebelumnya, Gus Dur menjadi orang pertama yang membela Inul saat goyang ngebor pedangdut asal Jawa Timur ini menjadi kontroversi nasional pada tahun 2003. Roma Irama bahkan menentang keras dengan menghimbau masyarakat untuk memboikotnya. Sedangkan selama tahun 2006, hubungan Inul dan Gus Dur lebih ke arah upaya kampanye mereka untuk menolak Rencana Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP).
Sebagian potret Gus Dur yang lain menampilkan beberapa peristiwa penting bersejarah hingga aktivitas keseharian Gus Dur, seperti potret Gus Dur sesaat setelah pelantikan presiden pada 20 Oktober 1999; aktivitas Gus Dur saat bersilaturahmi (sowan) ke Gus Maksum, Gus Miek, Tuan Guru Sekumpul, dan Habib Abu Bakar bin Hasan Al-Atas; hingga pertemuannya dengan Hugo Chávez dalam sebuah kesempatan yang memperlihatkan keakraban kedua pemimpin negara itu.
Akhir kalam, sepuluh tahun lebih berlalu sejak Sang Guru Bangsa mangkat pada 30 Desember 2009. Kini, raganya memang tak bisa kita jumpai seperti dulu, tapi warisan pemikirannya tetap dan akan selalu hidup, menyebar, serta berlipat-ganda. Gus Dur sudah meneladankan, saatnya kita melanjutkan!