K.H Bahaudin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha mengaku heran dengan prilaku sebagian orang. Dalam salah satu kajiannya, sebagaimana dilansir dari akun Youtube Santri Gayeng, Gus Baha menyesalkan orang-orang yang mudah sekali menuduh syirik.
Menurut Gus Baha, syirik itu ada dalam hati. Bagaimana bisa kita mudah menuduh orang lain berbuat syirik padahal kita tidak mengerti isi hatinya. Dalam contoh yang lebih kongkrit misalnya dalam kasus menyimpan sebuah keris.
“Bagaimana mungkin Anda menghukumi syirik orang yang memakai keris dan lainnya, padahal Anda tidak tahu apa motif ia memakainya,” jelas Gus Baha saat menyampaikan kajian di Kantor PWNU Jawa Timur pada 12 Oktober 2019.
Bagi Gus Baha, bisa jadi orang menggunakan keris tersebut sebagaimana orang yang ke mana-mana selalu bawa ATM.
“Orang kota tidak divonis syirik, padahal mereka selalu membawa HP dan Atm. Orang jawa itu juga tidak enak kalau tidak memakai keris,” lanjutnya.
Keheranan Gus Baha ini ada benarnya. Penulis juga menemukan hal sama. Suatu kali, penulis melihat seorang influencer keislaman di Twitter menuduh orang lain berbuat syirik hanya karena membuat video seolah berbincang dengan Allah SWT. Saat influencer tersebut ditanya letak unsur syiriknya, ia bisu.
Jika yang dimaksud syirik adalah seolah menganggap Allah makhluk karena bisa berbincang, dalam shala pun kita sebenarnya berbincang kepada Allah. Bukan hanya itu, berdoa pun sebenarnya kita sedang berbicara kepada Allah.
Imam Sayyid Ahmad Masyhur Al-Haddad berkata, “Telah menjadi konsensus di antara para ulama’ untuk tidak mengkafirkan seorang dari ahli kiblat (muslim) kecuali orang itu menafikan keberadaan atau eksistensi pencipta alam yang Maha Kuasa, Maha Mulia, Maha Tinggi. Atau melakukan perbuatan syirik yang jelas-jelas syirik yang tidak bisa ditakwil seperti mengingkari adanya nubuwwah (kenabian).”
Dari penjelasan Imam al-Haddad di atas, bisa kita fahami bahwa sangat dilarang memvonis orang lain berbuat kesyirikan apalagi kekafiran, kecuali kesyirikan tersebut jelas, seperti tidak meyakini Allah, para nabi dan hari akhir.
Sehingga, jika ada seseorang melakukan perbuatan selain itu. Maka kita dilarang untuk memvonisnya syirik, apalagi kafir. Karena kita tidak tahu isi hatinya. Hal ini diungkapkan oleh Imam al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayahnya. Menurutnya, orang-orang yang asal memvonis orang lain sebagai musyrik atau kafir adalah orang yang suka ikut campur urusan pribadi antara seorang hamba dengan Tuhannya. Mereka seakan-akan tahu apa yang sebenarnya ada di hati seorang muslim hanya berbekal tindakan lahir yang bisa menyimpan banyak kemungkinan.
Padahal kita selalu diingatkan dengan sebuah hadis yang menyebut bahwa menuduh orang lain kafir, sedangkan tuduhannya tidak terbukti, maka akan kembali kepada diri penuduh.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إذَا قَالَ الرَّجُلُ لِأَخِيهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا. فَإنْ كانَ كَمَا قَالَ، وَإلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ. (متفق عليه)
Artinya, “Diriwayatkan dari Ibn Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: ‘Rasulullah SAW bersabda: ‘Ketika seseorang berkata kepada saudaranya: ‘Wahai kafir’, maka ucapan itu akan kembali kepada salah satunya, asalkan tuduhan tersebut bisa dibuktikan, bila tidak maka dosa tuduhan itu kembali kepadanya’.” (Muttafaq ‘Alaih).
Semoga kita dijauhkan dari asal tuduh syirik maupun kafir. (AN)
Wallahu a’lam.