Dalam pengajian rutinan kitab Tafsir Jalalain oleh K.H Bahaudin Nur Salim (atau dikenal dengan Gus Baha) di Yogyakarta (25/11), beliau bercerita tentang pertemuan Nabi Muhammad SAW dan Allah SWT saat Isra’ Mi’raj dengan sanad yang didapatkan dari guru-gurunya.
Perjalanan Isra’ Mi’raj tersebut dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dengan ditemani oleh malaikat Jibril. Sejak perjalanan dari bumi, malaikat Jibril selalu menemani Nabi Muhammad SAW kecuali ketika akan sampai di Sidratul Muntaha.
“Sampai sini saja ya Muhammad, saya menemani Kamu,” ujar Gus Baha menirukan malaikat Jibril.
“Tidak, Kamu harus ikut, Saya kan dari awal bersamamu,” jawab Nabi Muhammad SAW.
“Kita (malaikat) ini punya posisi yang sudah jelas, dan ini (Sidratul Muntaha) batas posisi saya,” lanjut malaikat Jibril.
Kemudian terjadi dialog antara Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW di Sidratul Muntaha tanpa malaikat Jibril. Jadi, perintah adanya kewajiban salat saat Isra’ Mi’raj langsung datang dari Allah SWT. Gus Baha dengan sanad yang sampai pada Mahfudz at-Tarmasi menjelaskan bahwa salah satu dialog Nabi Muhammad SAW dengan Allah SWT terekam dalam bacaan tahiyat atau tasyahud saat salat.
“Bahwa segala penghormatan, segala keberkahan, segala kesucian semuanya hanya milik Allah SWT,” tutur Gus Baha dalam menerjemahkan salam Nabi Muhammad SAW kepada Allah SWT.
Kemudian, Allah SWT membalas salam penghomatan Nabi Muhammad SAW dengan balasan, “Assalamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rohmatullahi wabarokatuh (rahmat keselamatan atas engkau wahai Nabi dan rahmat Allah serta keberkatan-Nya).”
“Karena kebaikan Nabi Muhammad SAW, Beliau tidak ingin rahmat-Nya hanya untuk beliau saja, maka Beliau menjawab, assalamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahis solihin (semoga rahmat keselamatan juga ada pada hamba-hamba yang saleh),” sambung Gus Baha.
Gus Baha menuturkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak ingin rahmat hanya ada pada beliau. Beliau yang sudah berada di depan Allah SWT yang sangat spesial masih berkeinginan agar rahmat Allah SWT untuk siapa saja mereka yang saleh.
“Saleh itu ukurannya macam-macam, muslim, apapun fasiknya, dia tetap masuk (kategori) orang saleh, saleh itu bermakna orang yang pantas,” lanjut Gus Baha.
Beliau menjelaskan bahwa makna saleh itu didapat dari sebuah perbandingan, jika orang mukmin yang mempunyai perilaku fasik, sefasik apapun dia tetap lebih saleh dari orang yang tidak beriman. Perbandingan saleh juga terdapat dalam komunitas mukmin itu sendiri. Mukmin yang rajin salat dan tidak rajin salat, tentu saleh yang rajin salat. Orang yang rajin ibadah dan ahli ilmu, tentu dia lebih saleh dari orang yang rajin salat tapi bukan ahli ilmu.
“Maka Nabi telah bersabda man qola la ilaha illallahu daholal jannah (barang siapa yang mengucapkan la ilaha illallahu akan masuk surga” terang Gus Baha.
Dalam penutupan ceramahnya, beliau melarang kita untuk bersikap ekstrim, membandingkan orang dengan seenaknya sendiri. Orang mukmin yang ahli maksiat tentu lebih baik dari orang yang tidak beriman. Akan tetapi penjelasan beliau bukan untuk melegitimasi orang untuk bermaksiat, tetapi selagi dia masih beriman, tentu masih terdapat nilai lebih dimata Allah SWT untuk dimasukkan ke surga.
Wallahu a’lam.