Gus Baha: Bahayanya Menyampaikan Ayat Al-Quran atau Hadis Sepotong-sepotong

Gus Baha: Bahayanya Menyampaikan Ayat Al-Quran atau Hadis Sepotong-sepotong

Gus Baha menjelaskan bahwa mengutip Al-Quran dan hadis yang hanya sepotong berpotensi salah memahaminya.

Gus Baha: Bahayanya Menyampaikan Ayat Al-Quran atau Hadis Sepotong-sepotong
Al-Qur’an

Akhir-akhir ini kerinduan terhadap ulama-ulama yang telah wafat sedikit bisa terobati dengan munculnya K.H Ahmad Bahaudin Nur Salim atau yang lebih dikenal dengan Gus Baha. Beliau tergolong ulama yang masih muda, tetapi memiliki ilmu yang luas dan digandrungi oleh umat islam dari berbagai kalangan.

Pengajian beliau sangat mudah kita temui di media sosial. Cara penyampian beliau yang mudah dipahami, meskipun mengusung materi yang berat, membuat beliau menjadi ulama muda yang spesial saat ini.

Dalam salah satu pengajian beliau di Masjid Sirathal Mustaqim, Kota Ansan, Korea Selatan, Beliau pernah menjelaskan mengenai bahaya dari mengutip suatu ayat, hadis maupun perkataan ulama secara sepotong-potong.

“Memang semenjak dunia medsos, dengan tanda kutip sudah kecelakaan. Mengutip perkataan tokoh atau apa hanya sepotong-potong,” tutur beliau.

Beliau menjelaskan mengenai fenomena banyaknya orang yang menyampaikan sesuatu tidak secara utuh atau lengkap, dengan argumen mengikuti hadis nabi yang berbunyi,

بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً

“Sampaikan dariku walaupun hanya satu ayat”.

Jika kita menelaah lebih lanjut mengenai hadis tersebut dalam kitab Sahih al-Bukhari, hadis tersebut masih terdapat lanjutannya. Selain itu, hadis tersebut dalam kitabnya Imam al-Bukhari tidak dimasukkan dalam bab dakwah, akan tetapi malah dalam bab mengenai sesuatu yang diucapkan dari Bani Israel. Jadi, salah besar jika hadis tersebut dijadikan dalil untuk berdakwah dengan modal ilmu yang minim.

Kemudian, Ibnu Hajar al-Asqalani juga menjelaskan maksud hadis tersebut dalam kitab Fathul Bari, yaitu bahwa hadis tersebut bermaksud supaya para sahabat yang mendengarkan ayat yang diturunkan kepada Rasuullah SAW supaya segera menyampaikannya kepada sahabat lain. Hal tersebut dikarenakan semua sahabat tidak dalam satu tempat, ketika suatu ayat turun.

Gus Baha’ melanjutkan penjelasannya mengenai bahaya mengutip sebagian perkataan ulama atau ayat Al Qur’an dengan analogi waqaf pada ayat Al Qur’an.

“Al Qur’an, kalau waqofnya salah, ya bahaya, misalnya begini, ada orang waqaf  (berhenti membaca ayat) sembarangan di depan orang yang paham bahasa Arab,” lanjut beliau.

Beliau mengutip surat al-Baqarah ayat 26,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلًا مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا

“Sesungguhnya Allah tidak malu (segan) untuk membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih dari itu”.

Misalkan saja, ada seseorang yang membaca ayat tersebut di depan orang yang paham bahasa Arab dengan membaca waqaf pada lafadz la yastahyi. Beliau mengatakan bahwa tentu ayat tersebut memiliki arti yang bahaya, yaitu Allah SWT tidak mempunyai rasa malu.

“Di Al Qur’an itu, ada waqaf yang haram, yaitu waqaf yang merusak makna,” terang murid Mbah Maimun Zubair ini.

Ayat di atas jelas tidak boleh dibaca sepotong, karena akan memiliki maksud yang jauh dari maksud asalnya, yaitu bahwa sesungguhnya Allah SWT tidak akan malu membuat suatu perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari nyamuk. Ayat tersebut merupakan penjelasan bahwa Allah SWT tidak segan atau malu ketika membuat perumpaan dalam kalam-Nya dengan menggunakan contoh dalam wujud nyamuk.

“Jadi (maksud lafaz ayat dalam) ballighu ‘anni walau ayat itu bukan ayat qur’an yang potongan, akan tetapi ayat yang muhkamah (memiliki maksud yang utuh),” tutur Gus Baha.

Apa yang telah disampaikan oleh Gus Baha adalah benar apa adanya. Penjelasan atau penafsiran suatu ayat Al-Qur’an maupun hadis tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang dengan modal ayat yang sepotong-potong.

Imam Jalaludin as-Suyuthi dalam kitabnya Al-Itqan fi Ulum Al-Quran menyebutkan bahwa seseorang yang akan menjelaskan atau menafsirakan ayat Al-Qur’an harus memiliki perangkat-perangkat ilmu tertentu, seperti ilmu lughot, nahwu, tasrif, balaghah, ushul fiqih dan lain-lain.

Oleh sebab itu, seyogyanya seorang mubaligh harus memiliki pengetahuan yang jelas dan utuh dalam menyampikan sesuatu, tidak hanya bermodal satu ayat, kemudian memvonis sesuatu berdasarkan pengetahuannya. Karena bisa jadi suatu ayat masih berhubungan dengan ayat lain yang menjadi takhsis (pengecualiannya), atau suatu ayat dinasakh (direvisi) oleh ayat yang lain.

Wallahu a’lam.