Guru Madrasah Peraih Kalpataru 2017: Saya Mau Bikin Pabrik Oksigen

Guru Madrasah Peraih Kalpataru 2017: Saya Mau Bikin Pabrik Oksigen

Guru Madrasah Peraih Kalpataru 2017: Saya Mau Bikin Pabrik Oksigen

Beberapa hari lalu, saya berkesempatan mengunjungi Pulau Pramuka, salah satu daratan di gugusan Kepulauan Seribu, tempat tinggal salah satu penerima Kalpataru 2017. Pertama kali menginjakkan kaki di sana, saya dibuat takjub oleh kejernihan air lautnya. Tak heran bila kita dengan mudah bisa melihat ikan-ikan berenang di sekitar dermaga.

Jernihnya air laut di sana tentu tak lepas dari upaya masyarakat Pulau Pramuka dalam melestarikan lingkungan. Uniknya, orang-orang yang berperan penting dalam pengembangan dan pelestarian Pulau Pramuka ini justru kebanyakan adalah para perempuan. Salah satunya Mahariah, Pegawai Negeri Sipil yang sehari-hari bekerja sebagai guru SD.

Mahariah tak hanya memiliki semangat membara dalam melestarikan lingkungan, ia juga pandai mengidentifikasi masalah yang kerap ditemukan masyarakat di Pulau Pramuka. Bersama dengan yang lainnya, Mahariah mencoba mencari jalan keluar dan menjalani aksi nyata untuk menyelesaikannya. Ada beberapa permasalahan yang menjadi sorotan Mahariah, dua di antaranya persoalan sampah dan mangrove. Aksi-aksi lingkungannya pun diganjar reward dari pemerintah. Ia menjadi salah satu penerima Kalpataru 2017.

Pabrik oksigen

Sejak 2006, Mahariah mulai menginisasi penanaman Mangrove di sekitar Pulau Pramuka, guna mencegah abrasi dan menjaga ekosistem laut. Masyarakat Pulau Pramuka pun memulainya dengan modal uang mereka sendiri. Tanpa bantuan dana dari pemerintah.

Tak hanya menanam mangrove, Mahariah juga membangun Rumah Literasi Hijau. Gerakan hijau pesisir berbasis rumah tangga. Organisasi yang beranggotakan para ibu ini dijadikan tempat edukasi membentuk rumah tangga yang ramah lingkungan dan berketahanan pangan.

Di sana, kita bisa menemukan Taman Kanak-Kanak dan rumah baca sederhana di tengah rimbunan pepohonan. Ada pula tempat pengolahan dan daur ulang sampah, penangkaran lebah madu, tempat menanam sayuran hidroponik, kebun hutan, dan lain sebagainya.

Jenis tanah Pulau Pramuka yang berpasir membuat daerah ini tidak cocok untuk dijadikan lahan pertanian. Akibatnya, persediaan sayur-mayur masyarakat Pulau Pramuka sangat bergantung pada pasokan dari daratan.

Para pegiat rumah hijau kemudian mencoba membuat pupuk kompos dari sampah-sampah organic. Hasilnya, kini mereka sudah bisa menanam sayur-mayur sendiri dan mendapatkan sayuran segar tanpa harus membelinya dari daratan.

Mahariah punya visi dan misi mulia. Baginya, pepohonan bukan hanya sekadar ruang hijau. Tetapi juga penyedia pasok oksigen di dunia.

“Kalau ditanya ‘Kenapa mau nanem?’ saya suka bercanda begini ‘Saya mau bikin pabrik oksigen.” kelakar Mahariah saat kami berbincang santai di kediamannya.

Laut Bukan Tempat Sampah

Pada 2007, masyarakat Pulau Pramuka sudah menanam sekitar 1,2 juta pohon mangrove. Namun di tahun yang sama, banjir besar melanda Jakarta. Sampah-sampah hanyut hingga ke Pulau Pramuka dan menghancurkan pohon-pohon mangrove yang sudah ditanam.

Sejak saat itu, Mahariah mulai sadar bahwa ada persoalan baru yang mengancam ekosistem mangrove, yaitu sampah di lautan.

Perempuan kelahiran 30 Desember 1969 ini mengaku, dulu masyarakat sering membuang sampah dan Buang Air Besar (BAB) di laut. Mereka juga belum mempunyai sanitasi yang memadai. Tak hanya itu, ada pula kapal yang dengan sengaja membuang sampah ke laut.

Untuk menjaga kelestarian lingkungan, Mahariah pun mulai mengampanyekan “Laut bukan tempat sampah.” Memang tak mudah menyadarkan masyarakat. Namun secara perlahan, perubahan itu mulai terlihat meski dalam rentang waktu yang lama.

Kampanye yang dilakukan Mahariah dimulai dari hal yang sederhana. Ia mengajak semua kalangan, mulai dari ibu-ibu, bapak-bapak, hingga anak-anak. Misalnya, di akhir pekan, saat liburan, Mahariah mengumpulkan anak-anak yang hobi berenang dan menyelam. Ia membawakan kue, kemudian mengajak setiap anak untuk mengambil sampah plastik yang ada di dalam laut. Setelah menyetorkan sampah, barulah anak-anak boleh mengambil kue.

“Supaya nyeburnya bermanfaat dan sehat, sebelum asik-asik, kita ambil sampah satu persatu dulu. Jadi saya biasanya bawakan kue. Yang sudah selesai ngambil sampah, boleh ngambil kuenya,” ujar inisiator hijau pulau seribu ini.

 

Pulauku Nol Sampah

Tak berhenti dengan menggaungkan “Laut Bukan Tempat Sampah,” pemenang Kalpataru ini kini membuat visi baru, yakni “Pulauku Nol Sampah.” Sebuah harapan untuk menjadikan Pulau Pramuka bebas dari sampah.

Jargon “Pulauku Nol Sampah” bisa kita temui di setiap sudut Pulau Pramuka. Bahkan di gerobak penjual jajanan sekalipun. Sesaat, jargon ini memang terkesan utopis. Namun bagi Mahariah, itu bukanlah hal mustahil. Meskipun membutuhkan proses bertahun-tahun.

“Kita itu menuju nol. Belum nol, menuju nol. Boleh dong, menuju nol kan boleh. Artinya ada visi yang mau kita capai. Ada ikhtiar yang mau kita capai,” tutur perempuan kelahiran Pulau Panggang ini.

Atas berbagai kontribusinya, Mahariah telah menerima berbagai macam penghargaan. Yang tertinggi adalah Penghargaan Kalpataru (Penghargaan Presiden Republik Indonesia) bagi Pengabdi Lingkungan pada Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 5 Juni 2017 lalu.

Saat ini, Mahariah tengah berusaha untuk membangun karakter masyarakat yang sadar terhadap lingkungan. Baginya, bukan hanya pembangunan fasilitas saja yang perlu diperhatikan. Tetapi juga pembangunan karakter masyarakat.

Sosok Mahariah tentu saja menjadi inspirasi bagi kita semua, bahwa untuk memulai perubahan besar, kita perlu memulainya dari hal yang paling kecil. Dimulai dari diri sendiri, baru kemudian bisa menjangkau banyak orang. (AN)

 

Artikel ini merupakan kerjasama antara Islamidotco dengan Greenpeace Indonesia dan Ummah4Earth