Beberapa hari ini, berita tentang orang tua yang harus mengantri hingga bermalam di sekolah demi mendapatkan nomor antrian paling depan di beberapa sekolah “dianggap” favorit, menjadi viral di berbagai media eletronik hingga cetak. Perdebatan soal zonasi sekolah yang mengharuskan para siswa mendaftarkan di sekolah terdekat dengan rumah masing-masing mendadak memenuhi beberapa ruang berita utama di media.
Di saat yang hampir bersamaan, ada berita soal pembagian jalur naik gunung yang memisahkan antara laki-laki dan perempuan di salah satu gunung di Indonesia. Disebutkan alasan pembagian tersebut demi mendukung wisata halal di wilayah tersebut. Pro-kontra jelas terjadi terutama di media sosial dan grup Whatsapp, selain perdebatan soal gugatan hasil Pilpres yang juga sedang ramai diperbincangkan.
Di tengah perdebatan tersebut, ada dua diksi yang menarik diperbincangkan yaitu “Halal” dan “Favorit”. Yang menjadi sorotan utama saya adalah mengapa sebuah gunung dan sekolah menjadi bisa dicap “halal” dan “ favorit”.
Pemikiran Henri Lefebvre, seorang filsuf asal Perancis, soal ruang sosial menjadi relevan untuk meneroka perdebatan atau perbincangan terkait dua diksi di atas. Lefebvre menjelaskan dalam karya pemikirannya berjudul “The Production of Space” bahwa ruang sosial adalah produk sosial, di mana sebuah ruang memiliki logika sendiri dalam mendefenisikan dirinya. Namun, dalam mendefenisikan dirinya, ruang tidak akan pernah sepi dari perebutan kontrol, dominasi, kuasa, hingga politik.
Ruang (sosial) diciptakan menjadi wilayah yang disesaki dengan tindakan dan kontrol, kemudian berkorelasi dengan relasi produksi ala Marx. Akhirnya ruang diciptakan untuk meluluskan kekuasaan dan dominasi dari pemilik kuasa. Akhirnya, ruang yang awalnya bermakna sebuah benda berubah menjadi ruang sosial, yang disesaki dengan wacana dan abstraksi kemudian menghasilkan sebuah relasi sosial yang disesuaikan dengan dominasi kelas dominan.
Gunung Rinjani dan seluruh sekolah yang dicap “favorit” adalah contoh paling gres bagaimana relasi sosial yang membentuk ruang (sosial). Lewat narasi halal dan favorit, kesempatan dan kebebasan manusia untuk memilih menjadi dibatasi oleh sebuat pengetahuan yang disetting untuk menguntungkan pihak kuasa.
Rumor kehalalan Rinjani bukan narasi yang jatuh dari langit atau muncul begitu saja, dia bagian dari setting pengetahuan yang dibangun sejak lama. Sebab, jika ditelisik dalam bangunan besar persoalan wacana penghalalan ini bisa dikorelasikan sedang mewabahnya wacana-wacana seperti nikah muda, Indonesia tanpa pacaran, atau produk-produk halal yang disematkan pada beberapa benda seperti jilbab atau kulkas. Semua hal ini berkelindan dalam membingkai pengetahuan, dalam bingkai lebih kecil soal keberislaman, atau yang lebih besar dalam bingkai kapitalisme.
Dalam kehidupan modern sekarang, pengetahuan manusia didesak oleh berbagai narasi konsumerisme yang sedikit banyak mempengaruhi gerak dan keputusan manusia. Sehingga, manusia tidak lagi bisa bebas dalam memilih bagaimana kehidupan yang dia ingin jalani. Keberislaman sekarang sedikit banyak telah terjangkiti hal yang sama, di saat populasi kelas menengah muslim meningkat namun model keberislaman mengarah pada model yang homogen. Sebab, Islam yang dijalankan menjadi mengikuti model yang ditawarkan konsumerisme, walau model cukup beragam tapi gaya hidup yang ditampilkan malah homogen.
Mau liburan ada wisata halal, mau gosok gigi ada pasta gigi halal, mau hijrah ada jilbab halal, hingga urusan sekolah juga ada yang menawarkan model Islam yang dekat dengan gaya hidup konsumerisme, di mana soal harga bukan lagi jadi perbincangan utama. Dampaknya Islam menjadi tidak ramah kepada perbedaan status atau strata sosial, karena pengetahuan yang mendominasi ruang-ruang sosial di wilayah umat sudah dijangkiti penyakit perebutan ruang sosial yang dijelaskan oleh Henri Lefebvre. Sehingga mereka yang tidak sesuai akan mundur dengan sendirinya.
Jika ditarik dengan persoalan sekolah “favorit”, terlepas ketidakmampuan Negara menghadirkan pendidikan dasar yang nyaman dan setara, ruang sekolah juga sudah dikuasai sistem pengetahuan yang sama dengan model produksi, sebagaimana keberislaman di atas. Sekolah tidak lagi dipandang hanya sebagai wadah mencari dan menuntut ilmu, tapi sudah menjadi alasan paling dominan adalah kesempatan meraih masa depan, yang dalam arti lain bermakna pekerjaan. Di sinilah korelasi antara sekolah “favorit” dengan relasi produksi ala Marx, walau narasi ini tidak akan mungkin muncul dengan gamblang di permukaan.
Narasi yang membangun “halal” di Gunung Rinjani dan “favorit” di sekolah-sekolah tertentu bergerak dalam pengetahuan yang sama. Yaitu, ruang sosial yang sudah dikonstruksi dalam sistem pengetahuan produksi. Dalam kasus Rinjani, memuaskan leisure dari kelas menengah muslim menjadi target utama dalam perbincangan tersebut, karena bisa menghasilkan pemasukan lebih. Jadi, persoalan pergaulan bebas tidak menjadi isu dominan dalam persoalan halal.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin