Saya menghubungi pengelola Desa Wisata Nglanggeran lewat WhatsApp untuk memenuhi rasa penasaran terhadap daerah yang menjadi referensi salah satu lirik dari tembang almarhum Didi Kempot, Gunung Api Purba. Gayung bersambut, pihak pengelola tampak ramah sehingga meluangkan waktu untuk saya temui sekaligus saya repotkan ditengah kesibukan mereka.
Maka, pagi itu saya segera bertolak ke Desa Nglanggeran. Kurang lebih satu setengah jam perjalanan saya tiba di sana. Memasuki wilayah desa, saya dibuat takjub dengan keasrian hamparan sawah terasering yang membentang hijau. Lebih dari itu, gugusan panorama bukit batu yang gagah menjulang seakan menjadi pionir desa Nglanggeran.
Berbekal kepercayaan terhadap google maps untuk menjangkau lokasi, saya memberhentikan kendaraan saya di depan sebuah gazebo yang cukup luas tepat di depan bangunan bertuliskan Griya Coklat Nglanggeran. Belakangan, saya baru tahu bahwa Griya Coklat ini merupakan salah satu sentra pengolahan coklat yang diproduksi oleh masyarakat Nglanggeran karna memang terdapat petani coklat di desa ini.
Tak lama berselang datanglah seseorang yang masih cukup muda dengan blangkon khasnya, Sugeng Handoko (33). Dia merupakan sekretaris Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Nglanggeran sekaligus salah satu pelopor pada proses pembentukan Desa Wisata ini.
Menurut Sugeng, Nglanggeran dulunya merupakan salah satu desa dengan kategori daerah termiskin di Kabupaten Gunungkidul. Salah satu indikatornya adalah kurangnya lapangan pekerjaan. Sebagian masyarakat hanya bertani, padahal daerah di Desa Nglanggeran minim sumber air, apalagi di musim kemarau sumber air akan sangat sedikit dan bagian gunung api purba terlihat sangat gersang.
Memasuki tahun 1999, Kelompok Pemuda Karang Taruna setempat mengkonsolidasi gerakan peduli lingkungan lewat upaya reboisasi serta konservasi. Salah satunya berupa penanaman pohon-pohon di beberapa area desa Nglanggeran termasuk Kawasan Gunung Api Purba (GAP). Untuk diketahui, area Gunung Api Purba di desa tersebut sebelumnya terkenal sangat gersang dan kering, ditambah bongkahan-bongkahan batu besar. Kondisi ini berlangsung hingga tahun 2006.
“Jadi, selama tahun 1999 sampai 2006 itu belum ada fokus di pengembangan pariwisata, tapi ada satu gerakan peduli lingkungan untuk menjaga kawasan yang ada di gunung Nglanggeran atau Gunung Api Purba yang kita kenal saat ini”, kata Sugeng sambil menyeruput coklat yang kami pesan di Griya Coklat deket gazebo.
Meski begitu, rencana itu tidak selalu berjalan mulus. Kegiatan karang taruna sempat mengalami kemacetan pada tahun 2006, tepatnya tanggal 26 Mei saat terjadi musibah gempa bumi di daerah Yogyakarta yang menewaskan ribuan orang dan meratakan rumah-rumah di daerah terdampak.
“Gempa 2006 itu jadi momentum juga untuk Nglanggeran bisa bangkit. Dari bencana alam itu, masyarakat setempat jadi kompak membangun desa,” kenang Sugeng sembari membetulkan blangkon yang dia pakai.
Pada tahun 2007, melalui pendampingan dari Dinas Pariwisata Gunungkidul yang kala itu masih bernama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, masyarakat Desa Nglanggeran mulai menginisiasi pembentukan badan khusus yang bergerak dibidang pengembangan desa wisata. Lembaga tersebut bernama Badan Pengelola Desa Wisata (BPDW) yang diisi oleh beberapa elemen kelompok masyarakat, yang belakangan berganti nama menjadi Pokdarwis.
Predikat Desa Wisata Terbaik Dunia
Desa Wisata Nglanggeran telah banyak mendapatkan apresiasi dan penghargaan baik dalam skala lokal, nasional, maupun internasional. Yang terbaru adalah Predikat Desa Wisata terbaik dunia pada ajang yang diselenggarakan oleh UNWTO (United Nation World Tourism Organitation). UNWTO merupakan organisasi kepariwisataan dunia pada awal Desamber lalu. Desa Nglanggeran berhasil mengungguli 44 Desa Wisata lain dari 32 Negara.
Sebelumnya, pada tahun 2017 Desa Wisata Nglanggeran mendapat penghargaan sebagai desa wisata terbaik nomor satu di Indonesia sekaligus menerima penghargaan ASEAN community-based tourism (CBT) pada Januari 2017 di Singapura.
Pada Januari 2018, Desa Wisata Nglanggeran berhasil meraih penghargaan ASEAN Sustainable Tourism Awards (ASTA) di Thailand. Tidak hanya sampai di situ, berdasarkan hasil rilis kompetisi yang diselenggarakan oleh Partnership for Top 100 dan ITB Earth Award di Kroasia, pada akhir 2019 Desa Wisata Nglanggeran ditetapkan sebagai 100 Top Dunia Sustainable Destination.
Belum selesai saya membaca semua penghargaan yang diterima Desa Wisata Nglanggeran melalui website yang dia tunjukkan, Sugeng menambahkan “kita tidak mengetahui kalau desa wisata kita itu memenuhi standard organisasi tersebut, sehingga pada suatu momen kita disurvei oleh pihak dinas dan didampingi lagi untuk ikut lomba tersebut.”
Pengelolaan Berbasis Masyarakat dan Lingkungan
Menurut Sugeng, konsep pengembangan Desa Wisata Nglanggeran ini sepenuhnya memberdayakan masyarakat dan juga lingkungan setempat. Masyarakat terlibat aktif mulai dari menjadi pengelola, pemilik homestay, menyedia oleh-oleh, dan menjadi tourguide.
“Sebagai contoh, Homestay yang digagas oleh Pokdarwis Desa Nglanggeran memanfaatkan rumah warga yang menghendaki agar rumahnya dijadikan homestay. Tak lupa, mereka juga dibekali wawasan terkait penyelenggaraan homestay yang ramah lingkungan. Jadi, masyarakat bisa merasa saling memiliki dan menjaga satu sama lain,” terangnya.
Selain itu, pola pengembangan yang dilakukan juga mengadaptasi kegiatan masyarakat sebelumnya. Sebagai contoh, Desa Wisata Nglanggeran menampilkan aktivitas masyarakat seperti pertanian, peternakan, dan perkebunan. Semua hal yang menjadi keseharian masyarakat itu lalu dikemas sedemikian rupa agar menarik bagi wisatawan.
“Dengan konsep seperti itu masyarakat mendapatkan nilai ekonomi lebih dari kegiatan yang mereka lakukan sehari-hari. Selain mengelola lahan dan mendapatkan hasil perkebunan, pertanian, dan peternakan, mereka juga mendapatkan hasil dari hasil pelatihan pengelolaan kepada wisatawan,” tutur Sugeng.
Berkaitan dengan gerakan peduli lingkungan, Sugeng bersama Pokdarwis Desa Nglanggeran mengaku turut getir dan kewalahan melihat perilaku wisatawan.
“Ternyata, justru dengan adanya banyak pengunjung itu dampak kerusakan lingkungan jadi terasa. Mereka meninggalkan sampah dalam jumlah yang sangat luar biasa sehingga kita mencoba untuk melakukan evaluasi pada waktu itu, sekitar tahun 2014-2015.”
Dari situ, Sugeng dan masyarakat setempat bersepakat untuk menaikkan harga tiket masuk untuk pengunjung perorangan menjadi dua kali lipat. Tujuannya adalah untuk menekan jumlah kunjungan wisatawan.
“Wisatawan dalam skala kecil itu biasanya lebih sulit terpantau karena mereka tidak menggunakan jasa tourguide. Akibatnya, kebiasaan buruk seperti membuang sampah dan juga mencoret-coret batu di lokasi wisata tidak terhindarkan,” lanjut Sugeng.
Selain menaikkan HTM, Sugeng dan tim mengaku telah mengedukasi masyarakat agar tidak menebang pohon secara asal dan tidak mengeksploitasi alam Nglanggeran berlebihan. Hasilnya, masyarakat Nglanggeran bersepakat hanya boleh menebang pohon paling banyak dua buah per-tahun.
Di tempat wisata sendiri, Sugeng dan rekan-rekannya juga menginisiasi pembuatan papan himbauan agar pengunjung tidak membuang sampah sembarang di spot yang rawan terjadi pelanggaran. Di samping itu, ia bersama masyarakat setempat memiliki kegiatan rutin seperti bersih-bersih objek wisata tiap tahun.
“Penyampaian secara lisan kepada wisatawan bahwa terdapat tempat-tempat yg kramat sehingga wisatawan dituntut berlaku sopan, tidak merusak alam, dan tidak membuang sampah sembarangan, juga kami upayakan sebagai bagian melestarikan alam sekitar,” pungkas Sugeng.
*) Artikel ini adalah hasil kerjasama islami.co dengan Greenpeace dan Ummah for Earth