Setahun yang lalu perpolitikan Indonesia mengalami cobaan dengan adanya rangkaian Aksi Bela Islam (ABI). Banyak pengamat mengatakan bahwa fenomena ABI adalah ujian bagi demokrasi Indonesia selepas Reformasi. Hal ini ditandai dengan banyaknya massa aksi yang bersatu untuk mencapai tujuan bersama yaitu menurunkan dan memenjarakan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Apalagi ketika ABI 212 berlangsung jumlah massa aksi diperkiraka mencapai jutaan, bahkan massa aksi ini melakukan shalat Jum’at bersama di Monas yang dihadiri oleh Presiden Joko Widodo.
Setahun telah berlalu, akan tetapi dari rangkaian aksi ABI telah melahirkan adanya gugus baru muslim Indonesia. Sebab, pada saat aksi berlangsung, tidak hanya dari kalangan GNPF MUI semata melainkan juga seluruh umat muslim Indonesia yang sakit hati atas ucapan Ahok. Bahkan setelah aksi selesai mereka membentuk sebuah forum ‘resmi’ demi menjaga keberlangsungan gugus baru tersebut. Salah satunya ialah forum alumni 212, mini market 212, dan sebagainya.
Fenomena gugus baru muslim Indonesia ini, meminjam istilah Vedi R. Hadiz, disebut gerakan Islam populis. Vedi R. Hadiz menjelaskan bahwa Islam populis adalah sebuah peleburan dari berbagai macam kepentingan, aspirasi, dan keluhan dari persilangan beragam kelas sosial seperti masyarakat perkotaan, mulai dari kelas bawah hingga menengah, dan juga segmentasi-segmentasi terpinggirkan dari kaum borjuasi (Vedi R. Hadiz 2015).
Gerakan ABI adalah sebuah upaya untuk mempertautkan lintas berbagai identitas-identitas sosial dan alisansi lintas kelas dalam satu ikatan semi universal berbasis klaim atas umat. Hal itu terlihat dari massa aksi yang hadir pada saat itu. Secara identitas atau ormas keagamaan banyak di antaranya yang di luar FPI atau GNPF MUI, seperti dari NU dan Muhammadiyah. Meskipun NU dan Muhammadiyah sudah mengeluarkan statemen untuk tidak ikut secara organisasi, akan tetapi NU dan Muhammadiyah membolehkan anggotanya ikut aksi dengan syarat tanpa menggunakan atribut yang menjadi ciri khas kedua ormas tersebut.
Lantas apa proyeksi selanjutnya setelah aksi tersebut?, hal ini menjadi pertanyaan menarik yang perlu dibahas. Secara ideologis, gerakan yang coba mereka usung pada awalnya adalah menolak pemimpin non muslim dengan membawa tiga isu krusial yakni China, Non Islam, penista agama. Dari tiga isu krusial ini akan terus dijadikan rujukan jika ada pemilihan daerah berlangsung. Itu artinya isu-isu agama akan terus disebarluaskan demi kepentingan politiknya.
Jika kita cermati lebih dalam lagi, ada sosok sentral yang telah menjadi pusat perhatian yakni Habib Rizieq. Secara organisatoris, Habib Rizieq adalah pemimpin Front Pembela Islam (FPI). Proyeksi politik dari FPI dalam masalah pemimpin adalah menolak adanya pemimpin non muslim dan perempuan. Sentralitas Habib Rizieq tidak lepas dari kemenangan yang diraih ketika aksi berlangsung. Apa yang dimaksud kemengangan di sini ialah kemenangan posisi. Daya tawar yang diajukan oleh Habib Rizieq melalui tiga isu krusial tersebut mampu menarik massa yang begitu banyak. Terbukti ratusan ribu bahkan jutaan umat bersatu untuk menurunkan dan memenjarakan Ahok.
Dengan meletakkan Habib Rizieq dan ormas FPI sebagai sentral maka proyeksi besar dari alumni 212 tidak jauh dari situ. Isu agama akan terus diangkat ketika pemilu datang. Mengingat bahwa ketika agama diangkat ke publik pada saat pemilu itu akan menjadi modal yang jitu demi meraih suara yang banyak.
Isu agama yang diperbincangkan tidak hanya masalah muslim sama non muslim melainkan juga, meminjam dikotomi Clifford Geertz, santri dan abangan. Misalnya kasus Dedi Mulyadi (Kang Dedi) yang dikatakan tidak mencerminkan keislamannya ketika memimpin. Sebab, ketika memimpin Purwakarta kang Dedi memasang atribut-atribut yang menjadi ciri khas dari agama Sunda Wiwitan. Isu seperti ini yang kemudian diangkat ke publik dengan harapan supaya kang Dedi tidak dipilih lagi ketika mau mencalonkan baik bupati atau gubernur.
Ke depannya, gugus baru muslim Indonesia yang lahir dari ABI akan merealisasikan proyeksi besar yang sudah dijelaskan di atas. Melihat dua kasus di atas, bisa disimpulkan bahwa ketika memilih seorang pemimpin harus Islam dan taat kepada agamanya, atau dalam istilah Geertz harus dari kaum santri. Memang tergesa-gesa menyimpulkan demikian, akan tetapi hal tersebut bisa kita jadikan rujukan bersama untuk melihat proyek dari gugus baru muslim Indonesia.