Grup Medsos dan Bujuk Rayu Terorisme

Grup Medsos dan Bujuk Rayu Terorisme

Pemahaman ekstremisme dan radikalisme kini mulai merebak di mana-mana, termasuk diselundupkan melalui text message di telegram atau grup-grup whatsapp.

Grup Medsos dan Bujuk Rayu Terorisme
Wawancara Dita di Tempo, dari perbincangan ini kita bisa tahu bagaimana pandangan ekstrimisnya dipengaruhi apa yang terjadi di digital. Sayangnya, media islam masih banyak yang berhaluan konservatif alih-alih menjadi corong islam yang menyejukkan

Netizen beberapa waktu diriuhkan dengan sebuah foto penggalan koran nasional yang berisi wawancara dengan seorang perempuan yang ditangkap polisi di depan Markas Komando Brimob Depok yang mengaku hendak membantu tahanan atas kasus terorisme yang sedang berontak dari balik jeruji penjara beberapa waktu yang lalu.

Perempuan tersebut bernama Dita Siska Millenia. Ia dalam sebuah wawancara denga Tempo  mengatakan bahwa “saya ingin ISIS ada di seluruh dunia”. Dan yang membuat netizen tercengang adalah dalam penggalan wawancara tersebut Dita menyebutkan yang intinya bahwa membunuh orang lain yang berbeda agama (dalam istilah dia adalah kafir) adalah diperbolehkan. Dan yang tidak sampai nalar kita berfikir adalah ketika ia menyatakan bahwa ingin melakukan pembunuhan tersebut.

Dari situ kemudian nurani kita hendak bertanya-tanya, dari mana sebenarnya asal-usul pemahaman bahwa pembunuhan itu boleh dilakukan kepada seseorang yang hanya berbeda keyakinan dengan diri mereka? Siapa sebenarnya yang membujuk rayu mereka dengan pemahaman-pemahaman yang bertentangan dengan visi kemanusiaan? Ajaran agama yang seperti apakah yang telah mengajarkan mereka pemahaman yang keji seperti itu? Padahal, dalam keyakinan Islam yang kita yakini saja kita diwajibkan untuk menjaga kelestarian kehidupan manusia sebagai anjuran dari  maqashid syari’ah (tujuan-tujuan kemaslahatan syara’).

Kalau dari penggalan wawancara dalam koran tersebut menyebutkan bahwa Dita mendapatkan pemahaman demikian itu dari grup-grup Whatsapp dan Telegram. Awal mulanya Dita berkenalan dengan seorang ikhwan yang sedang belajar di Mesir melalui Instagram. Setelah berkenalan melalui medsos akhirnya dia dimasukkan ke grup-grup Whatsapp dan direkomendasikan untuk mengikuti sebuah chanel Telegram yang banyak membagikan info-info daulah, penggorokan tawanan ISIS dan bermacam-macam kekerasan lainnya.

Dari penggalan wawancara tersebut kita mendapatkan jawaban yang sangat berharga. Bahwa Dita dan tentunya banyak teman-temannya yang lain, terpapar dengan bujuk rayu ajaran teror ISIS tersebut melalui media sosial. Dita dan teman-temannya yang menjadi korban doktrin tersebut hanya cukup dengan memantau grup-grup medsos mereka untuk mendapatkan ajaran-ajaran yang menganjurkan kekerasan.

Doktrinase ajaran teror melalui media sosial ini merupakan fenomena yang cukup marak terjadi belakangan ini. Gawai canggih yang seharusnya dapat menjadi alat jejaring dan tukar-menukar informasi yang positif, dimanfaatkan oleh ISIS dan organisasi teror lainnya untuk membujuk rayu para korbannya untuk melakukan aksi teror yang serupa. Fenomena penyebaran ajaran teror melalui media sosial tersebut juga sekaligus mampu menjadi jawaban kejadian bom bunuh diri yang belakangan ini marak terjadi di Indonesia.

Para pelaku bom bunuh diri ini secara individual melakukan aksi terornya. Mereka mendapatkan tata cara dan strategi untuk melakukan aksi terornya melalui grup-grup medsos yang mereka ikuti. Bahkan, mereka juga mendapatkan pelajaran-pelajaran untuk merakit bom untuk aksi-aksi keji mereka melalui media sosial juga.

Hal lain yang menunjang kesuksesan dari doktrin ajaran teror melalui media sosial adalah sikap korban yang  cenderung pasif dan kurang banyak bergaul. Biasanya mereka ini kurang menjalin sosialisasi dengan lingkungan di sekitar mereka. Kemudian, setelah mereka terpapar dengan pemahaman keagamaan yang mengajarkan kekerasan dan teror, para korban doktrin tersebut menghayati keberagamaan mereka dengan cara yang sangat eksklusif. Mereka kurang mudah menerima masukan ataupun pandangan keagamaan diluar mereka yang berbeda. Mereka juga biasanya sangat mudah menjustifikasi dengan kalimat yang sifatnya negatif kepada orang-orang diluar kelompoknya.

Padahal, media sosial sebagai alat komunikasi yang lintas batas, seharusnya bisa dimanfaatkan oleh kita untuk sebanyak mungkin mengakses informasi yang ada di luar sana dan untuk semakin banyak menambah wawasan dan sudut pandang kita. Akan tetapi, bagi para korban bujuk rayu ajaran teror tersebut, media sosial malah semakin mebuat mereka tertutup dengan informasi yang ada di luar sana. Para korban doktrin teror ini lebih memilih media sosial untuk membunuh dirinya dan peradaban manusia daripada untuk mengembangkan dirinya dan peradaban manusia. Wallahua’lam.

M. Fakhru Riza, Penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.