Greg Fealy, Islamisme, dan Politik Islam

Greg Fealy, Islamisme, dan Politik Islam

Greg Fealy, Islamisme, dan Politik Islam

Pandangan Greg Fealy soal Islamisme dan demokrasi kontemporer Indonesia, dalam wawancara yang dilansir tirto.id menjadi bahan perhatian publik, yang menarik untuk dicermati. Banyak hal yang dibicarakan oleh Greg Fealy dalam wawancara itu. Akan tetapi, saya akan mendiskusikannya pada hal-hal pokok saja.

Demokrasi dan Perluasan Cakrawala

Greg Fealy, dalam wawancaranya itu berpandangan HTI seharusnya dibiarkan hidup, agar demokrasi bisa berjalan dengan baik, dan bertentangan dengan hak berserikat dan berkumpul. Dari sudut ini, karenanya Jokowi dilabeli lebih buruk dari SBY dalam menindas oposisi Islamis. Tetapi pada saat yang sama, Greg Fealy melihat, kelompok-kelompok sektarian, membahayakan bagi kualitas demokrasi, tetapi pada sisi yang lain, kelompok seperti itu semakin popular di masyarakat. Menurutnya, justru kecenderungan kelas menengah untuk lebih tertarik pada pandangan “islami” itu sangat kuat, yang hal ini menunjukkan arus populernya kelompok ini menjadi alternatif.

Apa yang diungkap Greg Fealy, merupakan pandangan yang wajar-wajar saja, kalau kita menelisik pada asumsi demokrasi yang ingin dikembangkannya. Bila diperhatikan pada pernyataan “pada dasarnya demokrasi itu seperti pasar, ada pertukaran ide di sana”; dan pembelaan terhadap hak berserikat dan berkumpul, dan seharusnya negara membiarkan semua pandangan berkembang, maka asumsi demokrasi liberal yang digunakan untuk membaca soal HTI dalam pandangan Greg Fealy, sangat kuat, dan karenanya, pandangannya itu menjadi wajar dan biasa-biasa saja.

Hanya saja dari sudut ini, Greg Fealy hanya memberikan perspektif terlalu sempit dalam membicarakan demokrasi. Misalnya, kalau dia memberikan perspektif hubungan demokrasi dan negara-negara demokrasi yang bervariasi di dunia (termasuk di barat), terhadap kelompok seperti HTI, mungkin akan lebih memperluas cakrawala, bagaimana demokrasi dan negara demokrasi menyikapi itu. Akan tetapi karena dia hanya menyediakan ruang melihat demokrasi yang membatasi HTI di Indonesia, hanya dari sudut nilai pluralis atau demokrasi yang dianutnya, analisisnya menjadi tidak cukup luas. Petimbangan-pertimbangan negara-negara yang bervariasi menyikapi hal-hal seperti itu, tidak masuk dalam wawasan cakrawala demokrasinya.

Level kedua, Greg tidak melihat kemungkinan bentuk dari sudut Negara Pancasila sebagai perspektif di Indonesia, dan apa yang terjadi di Indonesia ini dari sudut itu. Ketiadaan perspektif ini, menjadikan analisis demokrasinya, seperti meniadakan sama sekali praktik dan perspektif Negara Pancasila dalam diskursus analisisnya, dan bagaimana ia dikembangkan oleh kelompok-kelompok. Seandaianya Greg mau masuk ke dalam soal ini, diskusinya akan masuk ke dalam titik pijak Indonesia. Persoalan lain akan menjadikan pertanyaan-pertanyaannya pada aspek yang lebih menukik: Negara Pancasila seperti apa yang ingin dikembangkan, dan bagimana kelompok-kelompok memainkan dan bermain itu di dalam kerangka perebutan makna ini; atau paling tidak memberi ruang bagi pengembangan perspektif Negara Pancasila dari sudut berbagai kelompok. Bagi banyak orang Indonesia, sudut Negara Pancasila ini, bahkan menjadi lebih penting daripada doktrin-doktrin demokrasi yang diperbicangkan di ruang kuliah, dan Greg tidak menyentuh itu.

Level Ketiga, Greg tidak memberi ruang bagaimana tentara Indonesia memandang soal demokrasi ini, dan hanya terfokus pada islamisme, dan khususnya soal pembubaran HTI, hubungannya dengan Jokowi-NU, sehingga dia tidak memperluaskan cakrawala pembaca, adanya kelompok yang masih kuat dengan pandangan tertentu soal demokrasi dan islamisme. Dari saudut ini, tulisan Allan Nairm, memberikan pengertian-pengertian yang agak lebih hidup, karena dia memberi ruang adanya hubungan-hubungan ini. Sejauh tentara tidak dilirik sebagai bagian penting dari kelompok yang mengembangkan demokrasi dan bagaimana hubungannya dengan kelompok islamis, justru Greg sedang menyediakan etalase melihat masalah-masalah kebangsaan dari sudut demokrasi an sich. Padahal realitanya, dalam praktiknya jauh lebih rumit dan dinamis untuk hanya dilihat melalui kacamata demokrasi pluralis, bahkan tanpa menyingung dan menganalisis kelompok tentara.

Dari beberapa hal itu, cara berfikir demokrasi yang digunakan Greg Fealy, menjadi pijakan melihat hal-hal lain dari analisis dibawahnya atau turunanya, soal islamisme, hubungan NU-PKS; Jokowi-NU-Ma’ruf Amin; atau kelompok-kelompok elit dan yang lainnya, yang seebnarnya “biasa-biasa saja”; tidak ada informasi penting atau cara analisis yang lebih kritis untuk memperluas cakrawala, kecuali mengulang-ulang, sama seperti pengkritik rezim sebelum HTI dibubarkan. Bedanya, Greg menggunakan basis “demokrasi” yang dianutnya; yang lain mungkin menggunakan analisis islamis; dan yang lain mungkin menggunakan basis HAM yang lebih luas.

Analogi Paku yang Menancap

Greg membuat adanya penekanan risiko paku yang diinjak, setelah menyebut dengan retorika “menindas”, sebagaimana para islamis menyebutnya, yaitu “Jokowi menindas oposisi Islamis” lebih buruk dari SBY. Dengan mengibaratkan paku, semakin kuat diinjak semakin dalam dan mendalam lagi menancapnya. Sepertinya, analogi ini masuk akal, tetapi juga tidak seluruhnya benar, tergantung apakah kita memasukkan kemungkinan bisa menggunakan analogi yang lain apakah tidak, selain paku; atau kita mau memberikan peluang lain selain dari paku yang ditancapkan pada benda yang membuatnya semakin sulit dicabut, apakah tidak, dan itu banyak sekali tamtsilannya. Artinya lagi, analogi tentang hubungan dilarangnya HTI atau menindas kelompok islamis dalam bahasanya, banyak bisa digunakan analogi lain, tidak melulu hanya dengan paku, dan tidak melulu paku dihubungkan dengan benda padat yang ketika semakin diinjak pakunya sulit dicabut.

Asumsi Greg mengandaikan paku itu ditancapkan pada sejenis sebatang pohon dan paku pada benda padat yang memungkinkan paku itu sulit dicabut, semakin diinjak secara keras dia akan semakin dalam menancapnya. Akan tetapi kalau asumsi itu dibaca lain, paku itu dicabut dari pemakuannya, dan diletakkan dalam benda yang lebih lentur, basah, dan berair, lama-lama paku itu akan meleleh, berkarat, adalah tamsilan lain yang juga masuk akal. Itu artinya, selagi Pancasila masih dipertahankan sebagai konsensus nasional, dan cantelan legal untuk mengorganisir gerakan yang ingin mengganti sistem secara total alternatif dari Pancasila tidak ada, maka orang-orang yang terdampak dari kebijakan ini, akan dikondisikan oleh sistem di masyarakat untuk bergerak ke tengah; dan ketika ia menggunakan tandzim simbolnya yang mau mengganti Negara nasional-Pancasila, dia akan dikontrol oleh masyarakat sendiri.

Bahwa orang-orangnya akan tetap beraktivitas di masyarakat dan tidak lagi dengan menggunakan simbol-simbol tandzimnya, itu justru harus didukung, yaitu ketika mereka sudah tidak lagi menggunakan simbol dan tandzim lamanya. Kalau mereka memiliki daya tahan yang cukup, untuk hidup seperti itu, secara alamiah dia akan bergerak ke tengah, dan dituntut untuk mau menghargai hidup bersama dengan konsensus negara nasional berdasarkan Pancasila; dan terserap ke dalam kelompok Islamis lain yang masih hidup. Akan tetapi, mereka juga akan bisa merusak keseimbangan kelompok islamis lain, kalau mereka masih mengusung ide-idenya untuk dikampanyekan di kalangan Islamis sendiri, atau akan berbenturan dengan kelompok islamis sendiri, sejauh mereka tidak mau mundur selangkah, untuk berpijak pada konteks Indonesia.

Lebih dari itu, yang mereka tidak memiliki daya tahan cukup, untuk beradaptasi seperti itu, dan artinya harus beradaptasi dengan kelompok lain di kalangan Islamis (yang berarti hancurnya tandzim yang khas di kalangan mereka), paling ujungnya, memang bisa saja mereka beralih menjadi combatan. Hany saja, saya sendiri ragu mereka mau memilih ini. Sebab jalan itu, di dalam sejarah di Indonesia, tidak memperoleh titik terang, dan mengalami nestapa berlarut-larut, dan mereka menyadari itu. Dan, kalangan kelas menengah yang mendukung itu tidak cukup kuat untuk melakukan hal seperti itu, dibanding rekan mereka dari eks jaringan NII.

Penggunaan Islam sebagai Simbol

Greg Fealy juga menekankan adanya kecenderungan Penggunaan Islam secara politis sebagai simbol yang digunakan elit politik. Sebagian pandangan ini, dapat dikembalikan kepada apa yang terjadi selama ini. Akan tetapi sebagian yang lain, juga tidak tepat. Sebagian yang sulit untuk dibantah adalah Prabowo Cs menggunakan Islamis untuk dapat mendulang suaranya, atau mendukungnya, tetapi kebijakan-kebijakannya untuk mengakomodasi mereka, Greg mewanti-wanti belum tentu benar. Paling aktualnya, rekomendasi ijtima ulama pendukung Prabowo saja tidak diikuti. Demikian pula, menurutnya Jokowi melakukan terhadap Kyai Ma’ruf Amin-NU. Greg bahkan menyebut, “Jokowi membutuhkan ulama sebagai tameng. Saya ragu meski penggunaan Islam secara simbolis meningkat, saya tidak yakin kebijakan politis bernapas Islam itu meningkat.”

Hanya saja, Greg hanya melihat dari satu sisi, seakan-akan, penggunaan dari sudut Jokowi atau Prabowo soal simbol Islam, dan kurang memberi ruang analisis dengan melihat kelompok-kelompok itu juga memanfaatkan Jokowi dan Prabowo, untuk mewujudkan visi Islam yang dapat mereka kembangkan, disamping soal mempengaruhi kebijakan-kebijakan publik. Pada level yang lain, Greg tidak melakukan pembedaan yang mencolok antara mereka yang menggunkaan islam sebagai simbol dalam politik, dan mereka kalangan muslim yang menjadikan sebagai sikap hidup dan kerja-kerja dalam kerangka politik, tanpa menjadikan Islam sebagai simbol politik. Greg menyamakan saja, semua dianggap sebagai pengunaan Islam sebagai simbol; dan kyai ma’ruf sebagai tameng.

Pada sisi yang lain, Greg juga hanya berhenti pada penilikan dimanfaatkan elit, semisal Jokowi dan Prabowo, tetapi juga tidak membicarakan aspek-aspek, siapa yag memanfaatkan Prabowo dan Jokowi: apakah tentara, apakah korporasi internasional, apakah ada faktor share kekuasaan antar kelompok, dan yang lain, sehingga pandangan yang diberikan kepada publik Indonesia mempersempit cakrawala wawasan, seakan-akan Jokowi dan Prabowo itu orang yang sangat sakti, sesuatu yang aktual pula dikritisi.

Hatta ketika menyebut penggunaan Kyai Ma’ruf sebagaia tameng oleh Jokowi, dilihat dalam optik yang sama ketika Prabowo memanfaatkan para Islamis. Tentu tidak sesederhana itu, dengan hanya melihat pada aspek kekuasaan-politik, dengan tidak memberi ruang pada penglihatan yang lebih luas bagi imajinasi, bagaimana risiko-risiko dari dukungan ini atau memberi tempat kepada mereka: islamis dan NU-kyai Ma’ruf Amin di satu sisi, bagi masa depan arus kultural Islam dan masa depan Negara Pancasila. Maka pandangan Greg tidak cukup memberikan gambaran yang berarti dan cukup memuaskan untuk melihat dinamika ini bagi imajinasi demikian, terutama bagi generasi yang tidak menjadikan masa depan Islam hanya melalui kekuatan kekuasaan politik.

Lebih-lebih lagi, Greg tidak memberikan cara pandang terhadap arus kelas menengah yang sedang demam islami itu, seakan-akan ini akan menjadi jalan bagi tsunami politik. Artinya, dia tidak memberikan penilainya secara kritis terhadap arus itu, kecuali hanya fokus pada penggunaan simbol Islam oleh elit, sehingga luputlah tilikan yang kritis kepada kelas menengah yang demam “islami” itu. Tentu saja karena itu hanya wawancara yang tidak terlalu panjang, tidak memungkinkan itu dibahas, bisa saja alasan ini digunakan. Akan tetapi hal ini juga bisa dilihat keengganannya untuk masuk ke topik itu, justru menjadi sesuatu yang penting ditelaah: kaitanya dengan kemungkinan adanya tsunami kelas menengah muslim ini (sebagai yang semu atau riil) dalam masyarakat Indonesia, dan ini perlu pembicaraan tersendiri; dan aspek hubungan analisis demokrasinya dengan para Islamis sendiri.

Level yang lain, Greg tampaknya mengasumiskan bahwa penggunaan simbol Islam itu tidak senafas dengan kebijakan politis Islam yang meningkat. Hal ini, dapat dilihat dari segi: dia membatasi bahwa representasi politik Islam (bukan Islam politik) itu hanya, kelompok islamis dengan berbagai variasinya dan NU di sisi lain, dan tidak memberi ruang pembacaan dimana Jokowi dan semisalnya mewakili sejenis Islam juga. Cara pandang seperti ini, sama seperti para Islamis, yang mendalilkan bahwa yang memperjuangkan Islam itu ya hanya mereka, yang membela umat Islam ya hanya mereka; yang membela ulama hanya mereka; dan di sisi lain, juga sama dalam substansinya dengan mereka yang mengatakan, bahwa Islam Jawa itu bukan Islam.

Pandangan demikian itu, akan mengakibatkan pada hal berikutnya, dimana kebijakan yang dianggap islami itu mengandaikan ketidakyakinanny pada “kebijakan politis bernafas islam itu meningkat.” Hal ini, benar adanya kalau yang dimaksud kebijakan politis bernafas Islam itu, adalah kebijakan politik dengan memakai islam sebagai al-ismu, atau simbol-simbolnya, atau sejenis itu. Kalau pemerintah Jokowi atau Prabowo membuat kebijakan publik, tentang perlindungan anak, atau mereevaluasi secara drastis Freeport, dan sejenisnya yang tidak ada kaitannya dengan simbol Islam, dengan sendirinya akan dikeluarkan dari politik Islam.

Konsekuensinya, ketika berbicara kebijakan yang substansi dimana Islam sebagai al-musamma tidak mendapatkan ruang analisisnya, sebagai bagian dari kepentingan umat Islam, akan dikeluarkan dari politik Islam. Dan, yang seperti ini tidak menggambarkan pandangan besar masyarakat muslim Indonesia dalam melihat kebijakan politik, yang melihat bahwa meskipun namanya tidak harus Islam, kalau sesuai dengan nilai-nilainya, dan menimbulkan kemashlahatan, akan menjadi bagian kepentingan mereka, tanpa harus dipertentangkan dengan “kebijakan bernapas Islam”. Wallohu a’lam.