Memberi hadiah kepada seseorang pada dasarnya adalah perbuatan yang baik dan terpuji. Bahkan Alquran menyatakan,
فَامَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى.
Barangsiapa yang suka memberi dan bertakwa serta membenarkan adanya pahala yang baik, maka Kami kelak akan menyiapkan jalan yang mudah baginya. (Qs. Al-Lail [92]: 5-8).
Dan tentu saja, pada dasarnya menerima hadiah bukan sesuatu yang salah. Nabi Muhammad saw., Abu Bakar al-Shiddiq dan Umar bin Khatthab juga pernah menerima hadiah dari rakyatnya atau dari pihak mana pun, termasuk dari nonmuslim.
Tetapi sikap tersebut tidak berlaku bagi Umar bin Abd al-Aziz, seorang khalifah Bani Umayyah. Ia menolak hadiah dari rakyatnya. Ia memandangnya sebagai suap (risywah). Dalam sebuah pidato yang disampaikannya di depan publik, Umar bin Abd al-Aziz mengatakan,
فَإِنَّ هَؤُلاَءِ أَعْطَونَ الْعَطَايَا مَا كَانَ يَنْبَغِى لَنَا اَنْ نَأْخُذَهَا. وَمَا كَانَ يَنْبَغىِ لَهُمْ اَنْ يُعْطَونَهَا وَإِنِّى قَدْ بَدَأْتُ بِنَفْسِى وَأَهْلِ بَيْتِى.
Mereka telah memberikan hadiah kepadaku sesuatu yang tidak layak aku terima, dan tidak patut pula mereka memberikannya kepadaku. Aku sendiri dan keluargaku akan memulainya.
Lalu ia mengatakan,
كَانَتْ الْهَدِيَّةُ فِى زَمَانِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَدِيَّةً وَالْيَوْمَ رِشْوَةً.
Hadiah pada zaman Nabi adalah hadiah, tetapi hari ini adalah suap.
Imam Bukhari menceritakan ini dalam kitabnya Shahih al-Bukhari. (Baca: Subhi Mahmashani, Falsafah al-Tasyri’, hlm. 233).[]
[Tulisan ini disadur dari buku Lawaamii’ al-Hikmah ‘Pendar-pendar Kebijaksanaan’]