Gerhana Kala Zaman Nabi

Gerhana Kala Zaman Nabi

Nabi pernah mengalami gerhana matahari. Lalu, apa yang beliau lakukan?

Gerhana Kala Zaman Nabi

Di Indonesia, gerhana matahari tidak hanya menjadi fenomena alam, tetapi juga sebagai Festival. Rangkaian Festival Gerhana diselenggarakan di Palembang, 8-9 Maret 2016. Sementara di Makassar, diselenggarakan Festival Battu Rattema Ri Bulang. Festival di kota ini memadukan nuansa religius, pendidikan dan kebudayaan.

Menurut perkiraan saintifik, gerhana matahari akan terjadi pada 9 Maret 2016. Sejumlah negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, diperkiraan akan mengalami gerhana matahari. Inilah fenomena alam yang menjadi bagian dari siklus kehidupan.

Lalu, bagaimana gerhana matahari dalam sejarah hidup Nabi Muhammad?  Sebagaimana tercatat dalam Sirah Nabawiyyah, sejumlah gerhana terjadi pada zaman Nabi, bahkan dikaitkan dengan meninggalnya putranya, Ibrahim bin Muhammad.

Pada sejumlah riwayat, disebutkan bahwa sepanjang hidup Nabi Muhammad terjadi sekitar enam kali peristiwa gerhana matahari. Yang paling banyak dikisahkan, adalah gerhana cincin, yang terjadi ketika hati meninggalnya Ibrahim bin Muhammad, putra Nabi dari istri asal Mesir, Maryam al-Qibtiyyah. Peristiwa ini, terjadi pada 27 Januari 632 M, di Madinah al-Munawwarah. Selain itu, ada juga beberapa kali peristiwa gerhana yang penuh, separuh dan berbentuk cincin.

Salah satu riwayat, menyebutkan bahwa Rasulullah meluruskan pemahaman orang-orang tentang gerhana, karena dikaitkan dengan kematian manusia, atau peristiwa lainnya. Al-Mughirah bin Syuaib berkata: “Pada masa Nabi Muhammad SAW pernah terjadi gerhana matahari, yaitu di hari meninggalnya putera beliau, Ibrahim.” Orang-orang lalu berkata: “Gerhana matahari ini terjadi karena meninggalnya Ibrahim!”, Maka Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya , matahari dan bulan tidak akan mengalami gerhana disebabkan karena mati atau hidupnya seseorang. Jika kalian melihat gerhana, shalat dan berdoalan kepada Allah” (Shahih Bukhari, 985).

Gerhana: Alam dan Agama

Ada perbedaan dalam syariat dan kitab-kitab fiqh dalam memahami fenomena gerhana matahari dan bulan. Ada dua istilah untuk menyebut gerhana: yakni kusuf dan khusuf.

Kusuf, merupakan peristiwa dimana sinar matahari menghilang baik sebagian atau total pada siang hari, yang terhalang oleh bulan yang melintas di antara bumi dan matahari. Sementara, khusuf merupakan peristiwa di mana cahaya bulan menghilang  baik sebagian ataupun total pada malam hari, karena terhalang oleh bayangan bumi, serta dikarenakan posisi bulan yang berada di balik bumi dan matahari.

Sebagian besar ulama, bersepakat bahwa penggunaan istilah kusuf untuk gerhana bulan, dan khusuf untuk gerhana matahari. Hukum shalat gerhana bulan maupun matahari, adalah Sunnah Muakkadah. Allah berfirman, dalam surat al-Fusshilat (37): “Dan dari sebagian tanda-tanda-Nya adalah adanya malam dan siang, serta adanya matahari dan bulan. Janganlah kamu sujud kepada matahari atau bulan, tetapi sujudlah kepada Allah yang menciptakan keduanya.

Sedangkan, dasar shalat gerhana, yang bersumber dari hadits, yakni ungkapan Rasulullah SAW. “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah sebuah tanda dari tanda-tanda Allah SWT. Keduanya tidak menjadi gerhana disebabkan kematian seseorang atau kelahirannya. Bila kalian mendapati gerhana, maka lakukanlah shalat dan berdoalah hingga selesai fenomena itu” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad).

Dalam catatan ulama Nusantara, Kiai Shaleh bin Umar (Kiai Shaleh Darat as-Samarani), dalam kitab Majmua’atu al-Syariah al Kifayati lil-Awam, terutama dalam bab Fashlun fil Kusufaini, menjelaskan bahwa shalat dua gerhana hukumnya sunnah muakkad. Yang diperintahkan untuk mengikuti shalat gerhana, yakni laki-laki dan wanita.

Diperbolehkan untuk shalat sendirian (munfarid), dan lebih utama dilakukan secara berjamaah. Hal inilah yang menjadi ringkasan ketentuan dari Kiai Saleh Darat. []

Munawir Aziz adalah dosen dan peneliti.  Twitter: @MunawirAziz