Minggu ketiga bulan Novemberdirayakan sebagai Hari Filsafat Sedunia, dicanangkan oleh UNESCO atas dasar kelahiran Socrates. Banyak diskusi di berbagai tempat untuk memperingati hari filsafat dunia ini. Di tahun ini cukup spesial karena berbarengan dengan bulan Rabiul Awal atau dikenal di kalangan muslim bulan maulid Nabi (kelahiran Nabi). Perjumpaan dua hal ini, filsafat dan islam, tidak dapat dihindari.
Menurut salah seorang guru saya saat menerjemahkan kata “filsafat Islam” ada tiga model. Pertama, filsafat Islam adalah pemikiran-pemikiran pada filsuf yang beragama Islam. Kedua, filsafat Islam adalah para filsuf yang berada di wilayah kekuasaan dinasti Islam. Ketiga, filsafat Islam adalah produk-produk pemikiran yang berkaitan dengan agama Islam.
Oleh sebab itu perjumpaan Islam dengan filsafat bukanlah sesuatu yang tabu apa lagi terlarang. Banyak dari masyarakat muslim masih khawatir, takut bahkan trauma saat bersentuhan dengan yang namanya filsafat. Padahal jika kita membuka lembaran-lembaran sejarah, masa kejayaan Islam selalu akrab dengan dunia literasi, filsafat dan diskusi.
Joel L. Kreamer mencatat dalam buku “Renaisance Islam” dengan begitu indahnya, bahwa kedai-kedai kopi di masa itu selalu dilengkapi dengan ruang diskusi dan buku yang sangat banyak.
Tidak ada yang perlu mencari yang dipersalahkan saat Islam dan filsafat tak lagi mesra sekarang ini, bukan lagi saatnya mempersalahkan kitab yang sudah berumur ratusan tahun dan sudah diberikan jawaban dengan sangat cerdas oleh filsuf setelahnya. Juga menyalahkan ketakutan yang dipelihara hingga sekarang oleh para oknum-oknum aktor pengetahuan yang tidak akan menyelesaikan masalah.
Perbincangan soal perjumpaan Islam dan filsafat dalam sejarah yang akan saya angkat adalah pengamatan yang dilakukan Nasr Hamid Abu Zayd dalam bukunya Naqd Khitab al-Din (Kritik Wacana Agama) soal Kiri Islam dan Prioritas Wacana Agama. Nasr Hamid menegaskan bahwa golongan kiri walau berbeda pandangan dengan golongan kanan tapi berangkat dari epistemologi yang dilontarkan oleh teks-teks keagamaan. Walau masih didominasi oleh teks-teks keagamaan tapi tesis-tesisnya sarat dengan wacana kefilsafatan.
Gerakan kiri Islam mungkin agak kurang familiar di telinga para anak-anak zaman now, tapi sejak diprakarsai oleh Sayyid Qutb dengan menerbitkan Ma’rakah al-Islam wa ar-Ra’simaliyyah (Pertarungan Islam dan Kapitalisme) dan karya Mustafa as-Sibai dengan judul Isytirakiyyah al-Islam (Sosialisme Islam) perlu diperkenalkan kembali kepada masyarakat kita khususnya kepada mereka yang selama ini agak anti terhadap golongan kiri.
Menurut Muhammad Abduh, ini adalah respon tantangan kultural yang dilontarkan Barat, disandarkan pada tradisi rasional Mu’tazilah dan Ibn Rusyd di sisi yang lain. Tradisi memihak kiri sebagai ideologi perlawanan imprealisme adalah hal yang lumrah dan bagian dari tradisi yang masih bertahan dari tradisi rasionalitas milik Mu’tazilah.
Soe Hok Gie menuliskan sebuah buku dengan judul yang sangat indah untuk menyebut mereka yang beraliran kiri, yaitu menyebutnya dengan “Mereka Di Persimpangan Kiri Jalan”. Stigma-stigma yang beredar di sekeliling kita bahwa mereka orang-kiri adalah aties, pembunuh dan lain-lain, maka kita perlu melihat untuk apa gerakan kiri Islam ditegakkan.
Kiri Islam bukan dimaksudkan untuk memusuhi atau menakuti sesorang, namun bertujuan untuk memberikan kesadaran kepada umat, memprakarsai kebangkitan umat secara modern, melontarkan berbagai alternatif di hadapan masyarakat, meletakkan kedaulatan di tangan rakyat, dan meninggalkan solusi partikular dan pandangan-pandangan individual menuju konsepsi yang universal dan menyeluruh untuk menempatkan umat dalam sejarah dan menentukan peran umat terhadap dirinya sendiri dan perannya terhadap yang lain, tulis Nasr Hamid.
Kiri Islam dalam perjuangannya terjebak di antara dua sisi perang. Di sisi agama dan pihak yang berkuasa, kiri Islam diidentikkan dengan pengikut dan penghamba marxisme dan ploretar. Sedangkan di sisi kaum kiri lainnya, kiri Islam dianggap eklektik dan legitimatif. Hassan Hanafi dengan gagahnya di buku Min al-Aqidah ila ats-Tsaurah (Dari Akidah ke Revolusi) bahwa kiri Islam adalah usaha untuk menjembatani perbedaan antara mereka dalam tradisi konservatif dengan kelompok sekuler progresif.
Bagi Hassan Hanafi, kelompok tradisi konservatif berpotensi dengan melakukan pemberontakan kepada masyarakat dan memusuhi rakyat dan tanah air, sedangkan kelompok sekuler progresif akan rentan terjatuh kemurtadan dan kontra revolusi.
Melihat keadaan inilah, kita sudah seharusnya sadar bahwa Islam dan filsafat seharusnya tak berada di sisi tebing yang dipisahkan oleh jurang yang dalam dan lebar. Sebab Islam dan filsafat memang sudah seharusnya saling melengkapi bukan malah saling ejek apalagi saling serang. Semoga di bulan Maulid ini yang sekaligus memperingati Hari Filsafat Sedunia akan menjadi momen perjumpaan kembali antara Islam dan filsafat. Sebab di masa sekarang ini, banyak klaim bahwa mereka yang paling benar bahkan menggunakan diksi-diksi menarik seperti “garis lurus”.
Padahal janganlah kita lupa, di perempatan jalan selalu yang disuruh jalan adalah mereka yang “belok kiri”..Fatahallahu alaihi futuh al-Arifin..