Gerakan Anti Hoax dalam Tradisi Ulama Ahli Hadis

Gerakan Anti Hoax dalam Tradisi Ulama Ahli Hadis

Gerakan Hoax ternyata sudah ada dalam sejarah islam

Gerakan Anti Hoax dalam Tradisi Ulama Ahli Hadis

Beberapa minggu lalu, saya mengerjakan tugas makalah studi Hadis. Berbeda dengan teman-teman yang lain yang membahas tentang teori-teori hadis, saya mendapatkan tugas untuk mengaplikasikan teori-teori hadis tersebut dalam satu hadis pendidikan. Saya harus melihat hadis itu shahih atau tidak, kemudian diriwayatkan oleh siapa saja hadis tersebut, lalu melihat asbabul wurud-nya (sebab-sebab turunnya), dan terakhir memaknai hadis tersebut sesuai dengan konteks saat ini.

Saya harus jujur mengakui bahwa proses mengerjakan tugas itu cukup panjang, sangat menguras pikiran dan tenaga. Saya juga meminta teman-teman yang belajar langsung tentang hadis untuk dapat membantu saya memahami proses melihat salah satu hadis pendidikan. Tidak lupa juga, saya menggunakan aplikasi-aplikasi hadis seperti lidwa, maktabah syamilah dan lain sebagainya.

Proses pengerjaan tugas di atas, mengingatkan saya kepada perjuangan para ulama hadis zaman dulu. Sebut saja Imam Bukhari dan Imam Muslim, dua ulama besar hadis yang akrab di telinga umat Islam. Di tengah keterbatasan informasi dan sulitnya alat transportasi, mereka dapat menghasilkan dua maha karya abadi yang dipakai rujukan sepanjang masa. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana sulitnya melakukan sebuah penelitian hadis pada masa itu. Di era digital saja saya merasa kesulitan untuk melakukan penelitian sebuah hadis.

Imam Bukhori adalah seorang muhaddisin yang menulis kitab al-Jaami al-Musnad as-Sahiih. Kitab inilah yang menjadi rujukan para ulama dan akademisi dalam mengutip hadis karena sudah tidak diragukan lagi ke-shahihan-nya. Ia pernah menetap di Makkah selama 6 tahun untuk belajar hadis. Setelah itu, ia berkelana mencari hadis ke berbagai kota seperti Madinah, Khurasan, Syam, Mesir, Bagdad, dan tempat-tempat lainnya. Kriteria yang ditetapkan oleh Bukhari untuk mendapatkan hadis shahih adalah adanya persambungan sanad ditandai dengan pertemuan langsung antara guru dan murid. Bukhari mengatakan bahwa “Aku menyusun kitab al-Jaami al-Musnad as-Sahiih selama 16 tahun. Itu merupakan hasil seleksi dari 600.000 buah hadis.”

Selain usaha mencari ketersambungan sanad, Bukhari pun melakukan usaha lain. Ia miminta petunjuk Allah swt melalui shalat istikharah dua rakaat. Setelah melakukan shalat, barulah ia merasa yakin kalau hadis tersebut adalah shahih.

Sebagaimana gurunya, Imam Muslim pun melakukan hal yang sama. Ia sangat selektif untuk menentukan hadis shahih atau tidak. Ia menghabiskan waktu 15 tahun untuk menyaring hadis sejumlah 300.000 menjadi 3.030 hadis tanpa pengulangan. Jika dihitung dengan pengulangan berjumlah 10.000 hadis. Ini menurut guru besar Universitas Damaskus Muhammad Ajjaj al-Khatib. Dalam proses pemilihan hadis yang akan dimasukkan ke dalam bukunya, ia sangat hati-hati dan teliti. Tindakannya selalu didasarkan pada alasan yang tepat dan rasional.

Ia pun berkelana ke negeri-negeri lain untuk belajar hadis langsung kepada ahlinya. Ia pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir, Khurasan, dan tempat-tempat lainnya.

Lihat, bagaimana kedua ulama tersebut berusaha mencari sumber yang benar untuk hadis yang akan mereka bukukan. Pastinya, dua ulama ini sangat menyadari kemadharatan yang akan timbul jika hadis yang dibukukan tidak dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya. Akan beredar hadis-hadis palsu (hoax), dan kebohongan tersebar ke seluruh penjuru dunia.

Jika dibandingkan dengan perjuangan saya meneliti satu hadis saja, tentu sangat jauh. Saya belajar dari para ulama tersebut satu proses untuk mencari kebenaran. Di tengah keterbatasan para ulama di atas, mereka memiliki semangat baja untuk membuktikan kebenaran.

Di era informasi ini, informasi masuk sangat cepat. Saya mempertanyakan ulang setiap kebenaran dari informasi-informasi yang tersebar di media. Apalagi jika mendapatkan broadcast di WA, saya banyak mendapati informasi-informasi yang tidak jelas sumbernya, info hoax, bernada SARA dan kebencian. Bisakah kita mengambil semangat dua imam besar tersebut dalam mencari kebenaran satu berita yang beredar luas di media sosial? Saya kira kita harus melakukannya saat ini. Saya rasa di era digital ini tidak sulit untuk melacak kebenaran suatu berita melalui mesin pencari internet yang kita agungkan. Hanya perlu mengusir kemalasan saja. Mampukan kita meneladani Imam Bukhari dan Imam Muslim di tengah kemegahan informasi sekarang?  Mari menjadi konsumen informasi yang cerdas dan teliti. Tidak asal membagi apa yang tidak kita ketahui. Wallahhua’lam.

Laelatul Badriyah. Penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.

NB: Artikel ini hasil kerjasama islami.co dan INFID<