Al Qur’an dan tarikh sejarah Nabi Saw tidak pernah mengisyaratkan sistem pemerintahan tertentu dalam Islam setelah Rasulullah wafat. Orang yang menelaah hadits-hadits yang disampaikan oleh para penyusun kitab-kitab hadits dalam bab Imarah (pemerintahan) pun tidak akan menemukan kodifikasi mengenai sistem pemerintahan. Sebaliknya, banyak ditemukan penjelasan bahwa Nabi Saw tidak pernah menunjuk seorang pengganti, tetapi membiarkan urusan itu berdasarkan pilihan umat yang menjalani.
Daulah Islamiyah sendiri lahir sekitar pertengahan abad ke-20, yang berdiri di atas pemikiran-pemikiran dan kecenderungan-kecenderungan yang muncul di bawah bayang-bayang rasa khawatir terhadap hilangnya identitas keislaman akibat westernisasi, imperialisme, dan dominasi penduduk mayoritas di India.
Oleh karena itu, masalah ini tumbuh dan berkembang di dalam Rabithah Islamiyah dan Abu al-A’la al-Maududi, pendiri Jamaah Islamiyah yang ada di sana, yang berakibat pada lepasnya daerah yang mayoritas penduduknya Muslim dengan nama Pakistan pada tahun 1947 M. Suatu hal yang kemudian menciptakan masalah baru bagi kaum Muslim yang tetap tinggal di India, karena berubah menjadi minoritas dan harus berhadapan dengan mayoritas dalam suasana saling mencurigai. Kemudian muncul masalah lain di kalangan internal kelompok yang memisahkan diri, yaitu pecah lagi menjadi dua karena alasan etnik.
Sejarah kelam semacam itu tentu berbeda dengan sejarah Indonesia. Sejak “zaman bergerak” atau awal kebangkitan Nasional pada awal abad ke-19, Indonesia terbentuk dengan pola yang unik. Di masa kolonial itu, segelintir kaum terpelajar justru tersadar bahwa gerakan yang terpecah-pecah sampai kapanpun tidak akan mampu mengusir penjajah. Mereka lalu membentuk berbagai kelompok ideologis yang berbeda namun dengan misi yang sama, yakni Indonesia Merdeka.
Kesadaran untuk berkumpul dalam konggres Sumpah Pemuda terjadi sama sekali bukan atas nama agama apapun. Dan, meskipun mereka datang atas nama Jong-Jong berbagai daerah, ikrar sumpah pemuda yang lahir justru memuat redaksi mengagumkan, yakni kami putra dan putri Indonesia. Redaksi tersebut tidak bermuatan identitas Suku, Agama dan Ras apapun bahkan sebelum Indonesia dilahirkan pada tahun 1945.
Manusia Indonesia menganggap keragaman tersebut sebagai keniscayaan, dan kesepakatan untuk bersatu sebagai warga negara adalah sebuah kesadaran.
Pada perjalanannya, segala sesuatu yang mencoba merongrong Pancasila dan UUD 1945 yang memuat pesan-pesan keadilan universal itu tampaknya selalu tidak berhasil. Rakyat Indonesia sepertinya sadar bahwa warisan dasar Negara yang telah dirumuskan itu ternyata merupakan salah satu yang terbaik di dunia, apalagi untuk negeri yang sangat penuh dengan keragaman seperti Indonesia.
Sebaliknya, Asy-Syahrastani dalam Al-Milal wa An-Nihal sebagaimana dikutip dalam buku Jihad Melawan Teror (2016) mengatakan,”Perselisihan terbesar antarumat adalah perselisihan tentang imamah (khilafah); pedang tidak pernah terhunus di dalam Islam demi sebuah prinsip agama seperti terhunusnya pedang demi imamah di setiap zaman.”
Pernyataan Asy-Syahrastani itu nampaknya logis. Sebab, sepeninggal Rasul Saw pun umat telah terpecah belah, mulai dari masa kekhalifahan Abu Bakar hingga berakhirnya kejayaan Turki Utsmani. Namun, nampaknya, banyak umat Islam yang masih diliputi dendam bercampur delusi pada kejayaan masa lalu, dan tidak berkaca bahwa yang mengakibatkan lemahnya pertahanan umat Islam adalah kejumudan berpikir, tenggelamnya ilmu pengetahuan, dan perebutan kekuasaan.
Bersamaan dengan itu, juga muncul dua kecenderungan. Pertama, kecenderungan yang menganggap sistem politik sebagai salah satu rukun agama, dan kedua, kecenderungan yang menganggap khilafah, yakni bentuk pemerintahan yang dipilih oleh kaum Muslim setelah Rasulullah Saw wafat, sebagai satu-satunya bentuk pemerintahan yang sah dan menjamin penerapan hukum syariah, adalah dua kecenderungan yang belum pernah dikenal oleh agama dan ijtihad kaum Muslim terdahulu, bahkan keduanya hampir saja menyebabkan perpecahan dan kehancuran di banyak negara, kelompok masyarakat dan agama.
Bahaya dari pemakasaan konsep khilafah di Indonesia adalah kecenderungan menganggap demokrasi sebagai sistem kafir, dan bahkan Muslim yang tak sepakat pada khilafah pun belakangan dikafirkan. Padahal, fenomema pengafiran pihak yang berbeda pendapat ini dan dampaknya dengan penghalalan darah adalah bukan hal baru dalam Islam. Kita semua pernah belajar bagaimana Khawarij terjerumus ke dalam bencana ini akibat kesalahpahaman mereka terhadap konsep iman kepada Allah sebagai pokok dan perbuatan sebagai cabang.
Dari Khawarij kita juga belajar, bagaimana mereka tersesat ketika berpegang pada makna lahiriah teks, namun abai pada makna lahiriah teks lain yang bertentangan dengan apa yang mereka pahami.
Faktanya, dalam Islam, identitas keagamaan tidak ditentukan oleh rezim politik yang sedang berkuasa, tetapi ditentukan berdasarkan akidah, ibadah, dan perilaku mereka yang tidak mencakup sistem politik. Sistem politik bukan bagian dari agama dan bukan pula tuntutan dari agama.
Adapun yang termasuk tuntutan syara’ adalah terselenggaranya suatu pemerintahan dalam sebuah kelompok masyarakat untuk menjaga maslahat umum, menetapkan keadilan, menebarkan keamanan, dan melawan agresi dari luar.
Sehingga, dapat dikatakan bahwa, orang-orang yang percaya pada konsep khilafah di Indonesia, sebagaimana dibawa oleh HTI yang diimpor dari Taqiyyudin An Nabani adalah orang-orang yang tuna-sejarah dan mengalami kesalahpahaman dalam konsep khilafah.