Mungkinkah demokrasi di Indonesia dapat ditegakkan? Dua puluh lima tahun lalu, Gusdur menjawab tidak. Hari ini pun, Gusdur mungkin saja masih dengan jawab yang sama. Pada saat itu, Gusdur membicarakan demokrasi secara substantif. Menurutnya, Indonesia memang sudah punya demokrasi sejak awal. Di orde baru pun, pada 1997 misalnya diadakan pemilu. Tapi semuanya itu tidak lebih dari sekedar teknis pelaksanaan sistem demokrasi, sementara titik persoalannya tentu saja bukan pada casing-nya.
Lalu bagaimana kita dapat membayangkan masa depan demokrasi di Indonesia? Pertanyaan ini didiskusikan pada kegiatan cangkrukan spesial Ramadhan yang diadakan oleh Komunitas Gusdurian Yogyakarta di area Masjid Mardliyyah UGM pada 30 Maret 2023. Kegiatan tersebut menghadirkan Firda Rodiyah dari Puan Menulis dan Abdul Gaffar Karim dari Departemen Politik dan Pemerintahan, FISIPOL UGM.
Dalam paparannya, Karim menyebut bahwa pernyataan Gusdur pada 1998 tersebut masih relevan hingga saat ini, bahkan akan terus relevan jika tidak ada perubahan substantif dari iklim demokrasi Indonesia hari ini. Sebagaimana diungkapkan Gusdur, tantangan serius dari demokrasi Indonesia terletak pada pentingnya desentralisasi kekuasaan sehingga tidak terus menerus terpusat tetapi menyebar ke aras lokal. Baginya, tidak ada demokrasi jika masih ada sentralisasi kekuasaan dan sumber daya pada satu tangan tertentu.
Karim juga mencatat bahwa saat ini, peran pemuda, terutama gerakan mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat sipil, memiliki peranan yang penting dalam melakukan kontrol terhadap kekuasaan dan mengawal demokrasi. Untuk itu, keaktifan mahasiswa dalam organisasi-organisasi kampus menjadi faktor penting dalam pengawasan ruang demokrasi.
Hal ini juga disampaikan oleh Rodiyah dalam penyampaiannya yang menggarisbawahi peran penting generasi muda sebagai harapan dalam penguatan demokrasi. Dalam hal ini, ia mengaitkan potensi pemuda terutama dalam kaitannya dengan isu toleransi antar kelompok masyarakat dengan identitas agama dan budaya yang berbeda-beda.
Ada beberapa faktor yang menjadikan pemuda sebagai agensi penting dalam ruang keberagaman yang demokratis. Pertama, Rodiyah melihat tingginya engagement generasi muda di media sosial sebagai posisi strategis yang potensial jika dibarengi dengan peningkatan literasi digital yang beretika. Selain itu, sebagai platform sekaligus ruang publik baru yang jangkauannya sangat luas, media sosial sangat berpengaruh dalam membentuk kultur kehidupan berbangsa.
Kedua, Rodiyah melihat generasi muda sebagai kelompok yang memiliki lebih banyak pengalaman perjumpaan lintas agama dan etnis. Dalam hal ini, ia melihat bahwa kini ada tantangan serius dalam masyarakat yang cenderung sulit untuk keluar dari lingkaran kelompoknya yang sudah menjadi zona nyamannya. Sementara itu, generasi muda cenderung lebih terbuka dan mudah untuk saling menjumpai, terlepas dari perbedaan identitas agama dan etnis.
Dengan posisinya yang signifikan tersebut, para pemuda perlu disiapkan untuk menjadi generasi yang memiliki literasi demokrasi yang baik. Dalam hal ini, pendidikan demokrasi sejak dini perlu dikuatkan melalui institusi-institusi pendidikan termasuk yang berbasis keagamaan. Pendidikan demokrasi ini penting untuk membangun kesadaran akan keberbedaan di tengah-tengah pluralitas bangsa yang memang telah menjadi karakter keindonesiaan bahkan sejak sebelum kemerdekaan.
Kesadaran akan kebhinekaan ini semakin menemukan relevansinya dengan menguatnya isu politik identitas akhir-akhir ini, terutama menjelang pemilu. Baru-baru ini misalnya, kasus penutupan patung Bunda Maria di Yogyakarta menunjukkan bagaimana penyalahgunaan identitas, yang dianggap mayoritas dan superior terhadap yang lain, untuk melanggar kebebasan orang lain. Aji Binawan Putra, perwakilan dari GUSDURian Yogyakarta yang juga hadir dalam diskusi ini, menyayangkan kejadian yang menjadikan momen bulan suci Ramadhan sebagai alasan untuk melegitimasi tindakan intolerannya.
Bentuk lain dari politik identitas yang didiskusikan dalam forum ini adalah politik Pendidikan agama di ruang sekolah. Selain isu-isu pemaksaan cara berpakaian dan mengikuti kelas mata pelajaran agama yang bukan agamanya, politik identitas nyatanya juga hadir dalam ruang kebijakan.
Salah satu subjek warga negara yang menghadapi dampak dari politik pendidikan agama ini misalnya adalah penghayat kepercayaan. Sekalipun Mahkamah Konstitusi pada 2017 telah menegaskan status kewargaan mereka secara konstitusional sebagai yang setara dengan penganut agama, banyak penghayat yang belum mendapatkan hak pendidikan kepercayaan di sekolah.
Kasus-kasus ini merupakan beberapa dari sekian banyak persoalan yang mengindikasikan kemunduran dan penyempitan ruang demokrasi. Dalam skala yang lebih luas, tanda-tanda kemunduran demokrasi semakin jelas terlihat dengan pembatasan kebebasan berpendapat dan pembuatan undang-undang yang dilakukan secara kontroversial.
Pertanyaannya kemudian adalah, bentuk demokrasi apa yang sebenarnya dibutuhkan dalam konteks Indonesia? Menurut Karim, tidak ada suatu bentuk demokrasi yang dapat dikatakan ideal. Namun demikian, jika memperhatikan kultur kewargaan di Indonesia, sistem demokrasi yang cenderung berkiblat pada demokrasi liberal sesungguhnya tidak kontekstual untuk Indonesia. Prinsip one man one vote yang individualis misalnya tidak begitu cocok untuk diterapkan dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia yang memiliki kekhasan komunalitas.
Dengan demikian, di samping keharusan untuk melakukan pembenahan di berbagai lini demokrasi, makna demokrasi secara lebih esensial perlu benar-benar dipikirkan bersama. Dalam hal ini, ide Gusdur tidak hanya masih relevan dengan pesimisme kritisnya terhadap penegakan demokrasi, namun juga usulannya soal desentralisasi kekuasaan dan sumber daya.
Saya sendiri tertarik untuk mengaitkan persoalan desentralisasi dalam demokrasi ini dengan salah satu dari nilai-nilai Gusdur, yaitu kearifan tradisi. Berangkat dari nilai tersebut, demokrasi dapat dikatakan perlu berbasis pada nilai-nilai dari beragam tradisi Indonesia. Artinya, ide dan sistem demokrasi di Indonesia tidak boleh “ditunggalkan” maknanya. Demokrasi itu sendiri mesti ditempatkan dalam konteks keberagaman Indonesia yang tentu saja juga akan memiliki persepsi soal demokrasi yang beragam.
Catatan pentingnya kemudian adalah bagaimana generasi milenial yang merupakan subjek penting bagi masa depan demokrasi dapat tetap terhubung dengan berbagai tradisi mereka dan bahkan melestarikannya untuk kepentingan bersama di ruang demokrasi. Perspektif tentang “Demokrasi Tradisional” semacam ini, dengan peran aktif generasi milenial di dalamnya, mungkin saja dapat menjadi salah satu jawaban bagi tantangan masa depan demokrasi di Indonesia.