Genealogi Santri dan Konsekuensinya Terhadap Agama dan Negara

Genealogi Santri dan Konsekuensinya Terhadap Agama dan Negara

Genealogi Santri dan Konsekuensinya Terhadap Agama dan Negara
Ilustrasi, dalam film Sang Kiai, tampak Hadratusyaikh KH Hasyim Asyari dicium tangannya oleh para santri dan umat islam

Tahun 1960, Clifford Geertz menggunakan kata “santri”, bersama dengan term “priyayi” dan “abangan”, untuk merujuk pada penggolongan masyarakat jawa menurut tingkat ketaatan menjalankan ajaran ibadah agama Islam. Jauh sebelum itu, perumusan kata “santri” melewati perjalanan linguistik yang sangat kompleks.

Nurcholis Madjid, dalam Bilik-Bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, mengatakan bahwa terdapat dua pendapat mengenai asal-usul istilah “santri”. Pertama, adalah pendapat yang mengatakan bahwa “santri” itu berasal dari perkataan “sastri”, sebuah kata dari bahasa Sanskerta, yang artinya melek huruf. Agaknya dulu, lebih-lebih pada permulaan tumbuhnya kekuasaan politik Islam di Demak, kaum santri adalah kelas “literary” bagi orang Jawa. Hal ini disebabkan pengetahuan mereka tentang agama didapat melalui kitab-kitab beraksara dan berbahasa Arab. Dari sini bisa kita asumsikan bahwa menjadi santri berarti juga menjadi tahu agama (melalui kitab-kitab tersebut). Atau paling tidak  seorang santri itu bisa membaca al-Qur’an yang dengan sendirinya membawa pada sikap lebih serius dalam memandang agamanya.

Pendapat kedua mengatakan bahwa istilah “santri” berangkat dari bahasa Jawa, persisnya dari kata “cantrik” yang artinya “seseorang yang selalu mengikuti seorang guru ke mana guru ini pergi menetap” dengan tujuan dapat belajar darinya. Sebenarnya, kebiasaan “cantrik” ini masih kisa kita lihat sampai sekarang, tetapi sudah tidak “sekental” seperti yang pernah kita dengar.

Dalam kamus bahasa Indonesia, “cantrik”, salah satunya, memiliki arti “magang”. Misalnya seseorang hendak memperoleh kepandaian dalam pewayangan, menjadi dalang atau menabuh gamelan, dia akan mengikuti orang lain yang sudah ahli. Dalam konteks ini, ia biasanya disebut “dalang cantrik”, kadang-kadang juga dipanggil “dalang magang”.

Berbeda dengan Cak Nur, Zamakhsyari Dhofier, dalam Tradisi Pesantren, mengatakan bahwa “santri” bermula dari bahasa India, “shastri” yang merujuk pada sebagian orang yang memahami kitab-kitab agama Hindu, atau secara umum seorang pakar kitab suci agama Hindu. Serupa dengan Cak Nur, kata “santri” melekat kepada bagian masyarakat yang memahami literatur-literatur agama.

Ahmad Baso, intelektual NU sekaligus aktivis pesantren, memperkaya diskursus tentang “santri”. Baso mengatakan bahwa kata “santri” berasal dari  kata bahasa Tamil “chatri”, “chattiri”, “shattri”, yang berarti orang yang alim dalam bidang keagamaan. Istilah Tamil tersebut dibawa ke Nusantara oleh Syekh Jumadil Kubro pada tahun 1407 saat ia berada di Tamil-Malabar mewakili Calicut, Pasai, Malaka, dan Aru. Penjabaran ini disampaikan Ahmad Baso dalam Panel Diskusi di Simposium Khazanah  Pemikiran Santri dan Kajian Pesantren, MU’TAMAD 2022 di Jakarta (22/10).

Sampai sini, penggunaan “santri” untuk merujuk kaum religius dan intelektual Jawa oleh Clifford Geertz menjadi masuk akal secara etimologis. Secara terminologis, makna santri terus bertransformasi. Misalnya, K.H. Ma’ruf Amin saat menjabat sebagai Rais ‘Aam PBNU menegaskan bahwa sebutan “santri” bukan hanya diperuntukkan bagi orang yang berada di pondok pesantren dan bisa mengaji kitab. Namun, santri adalah orang-orang yang meneladani para kiai.

Dalam momentum Resolusi Jihad, “santri” dimaknai sebagai mereka yang menuntut ilmu keislaman di pondok pesantren. Mereka diberi wawasan keislaman melalui bimbingan ulama, kyai, atau ustadz. Para santri, dalam konteks ini, diartikan sebagai bagian masyarakat Islam religius yang memiliki semangat sebagaimana yang terkandung dalam Resolusi Jihad, yaitu anak bangsa yang memiliki komitmen keislaman sekaligus keindonesiaan.

Namun, pada 2015, seiring dengan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015, terdapat tawaran untuk memperluas terminologi santri. Wacana itu berangkat dari realitas bahwa ada komunitas Muslim di luar pondok pesantren yang juga berkontribusi dalam memperjuangkan kemerdekaan dan mempertahankannya. Sejumlah organisasi Islam mengusulkan agar mereka ini juga diberi rekognisi.

Dengan demikian, terminologi santri dimaknai secara inklusif sebagai seluruh anak bangsa yang memiliki spirit Resolusi Jihad, yaitu kompromi yang proporsional antara komitmen keislaman dan keindonesiaan. Ke-Islaman-nya tidak melunturkan ke-Indonesiaan-nya, juga sebaliknya, ke-Indonesiaan-nya tidak merusak ke-Islaman-nya.

Dengan demikian, dalam konteks berbangsa dan bernegara, kategorisasi Geertz menjadi tidak relevan. Pun juga dengan kajian-kajian etimologi lainnya. Santri perlu dimaknai secara komprehensif sebagai aktor yang mampu mengharmonisasi agama dan negara secara utuh. Santri harus dipahami sebagai agen yang memahami bahwa agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam mengembangkan agama, demikian juga negara memerlukan agama sebagai rujukan moral dan etika bernegara. Santri merupakan mereka yang memahami bahwa peran agama dan negara bersifat resiprokal.

Bangga mempunyai predikat sebagai santri. Bangga turut memperjuangkan harmonisasi agama dan negara hingga hari ini. Selamat Hari Santri 2022.