Gelombang Sufisme Syaikh Hamzah Fansuri

Gelombang Sufisme Syaikh Hamzah Fansuri

Gelombang Sufisme Syaikh Hamzah Fansuri
Sumber: www.litmusbranding.com

 

Oleh: Munawir Aziz*

 Dalam tradisi sastra dan pengetahuan muslim Nusantara, nama Syaikh Hamzah Fansuri adalah garansi tentang peradaban. Syair-syairnya menjadi lipatan sejarah dan artefak kebudayaan untuk memintal masa keemasan kerajaan Aceh. Hamzah Fansuri memberi peta jalan bagi penyair Nusantara untuk berkarya, menandai peristiwa. Syair-syair Hamzah Fansuri tidak sekedar ungkapan kata, namun juga menanda gelora spiritual sebagai laku sufi dan suluknya.

Hamzah Fansuri dilahirkan di tanah Fansur atau Barus, pada kisaran abad ke-16 dan 17 M. Pada tahun itu, tanah kelahirannya masuk ke dalam Kerajaan Aceh Darussalam. Catatan Ali Hasymi (1984) mengungkapkan bahwa Hamzah Fansuri bersama saudaranya, Ali Fansuri mendirikan sebuah dayah (pesantren) di kawasan Singkil, kawasan Aceh.

Dalam risetnya, Abdul Hadi WM (2012) menuliskan bahwa Hamzah Fansuri berada dan hidup pada masa keemasan peradaban Aceh, yakni pada ketika Aceh dipimpin oleh Sultan Sayyid al-Mukammil dan Iskandar Muda. “Ketika itu, Aceh Darusslam menjadi pusat penulisan kitab keagamaan, ilmu pengetahuan dan sastra. Bahasa Melayu memainkan peran penting sebagai bahasa komunikasi intelektual mendampingi peranan Bahasa Arab,” ungkap Abdul Hadi.  Hal ini senada dengan riset Prof A Hasymi, yang menyebut bahwa Syaikh Hamzah Fansuri hidup pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah IV, Sayyidil Mukammil (997-1011 H/ 1589-1604 M), sampai masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Mahkota Alam (1016 – 1045 H/ 1607 – 1636 M).

Syaikh Hamzah Fansuri mahir dalam ilmu-ilmu fikih, tasawuf, falsafah, mantiq, ilmu kalam, sejarah, dan sastra. Bisa dikatakan, Syaikh Hamzah Fansuri merupakan ilmuan yang mengusai lintas ilmu. Bahkan, dalam bidang bahasa, ia mampu berbicara dalam bahasa Urdu, Parsi, Melayu, dan Jawa. Peneliti Malaysia, Prof. Dr. Naguib al-Attas dalam bukunya: “The Mysticism of Hamzah Fansuri”, menyebut bahwa Hamzah Fansuri sebagai Pujangga Melayu terbesar abad XVII, penyair Sufi yang tidak ada bandingannya pada abad itu.

 

Sufisme Hamzah Fansuri

Dalam menulis syair sufistiknya, Hamzah Fansuri memadukan metafisika, logika dan estetika secara berimbang. Dalam hal ini, pengetahuan rasional, intuitif dan empiris menjadi elemen dasar yang sama-sama berperan penting dalam penciptaan puisi. Makna yang terkandung dalam puisi-puisi Hamzah Fansuri, menjadi denyut nadi bagi energi sufistiknya, menjadi gelora dari seluruh pengembaraan batinnya. Dalam hal ini, simbol dan tanda menjadi penting untuk menggambarkan ruh sekaligus pesan spiritual dari penyair. Hamzah Fansuri sangat sadar dengan hal ini, terbukti dari simbol-simbol yang termaktub dalam puisi-puisinya.

Dalam syairnya, ikat-ikatan XIV (MS Jak. Mal. 83):

Thayr al-‘uryan unggas Sulthani

Bangsanya nur al-rahmani

Tasbihnya Allah subhani’

Gila dan mabuk akan rabbani

Unggas itu perlu pingai

Warnanya sempurna bisai

Rumahnya tiada berbidai

Duduknya da’im di balik tirai

Awwalnya bernama ruhi

Millatnya terlalu sufi

Tubuhnya terlalu suci

Mushafnya besar suratnya kufi

Arasy Allah akan pangkalannya

Habib Allah akan taulannya

Bayt Allah akan sangkarannya

Menghadap Tuhan dengan sopannya

Kitab Allah dipersandangnya

Ghaib Allah akan tandangnya

‘Alam Lahut akan kandangnya

Pada da’irah Hu tempat pandangnya

Dizkr Allah kiri-kanannya

Fikr Allah rupa badannya

Syurbat tawhid akan minumannya

Da’im bertemu dengan Tuhannya

Subuhnya terlalu terang

Harinya tiada berpetang

Jalannya terlalu henang

Barang mendapat dia terlalu menang

Ilmunya ilmu yang pertama

Madzhabnya madzhab yang pertama

Cahayanya cahaya yang lama

Ke dalam surga bersama-sama

 

Ungkapan thayr al-‘uryan unggas Sulthani menandakan simbolisme yang digunakan dalam puisi-puisi Hamzah Fansuri. Burung yang terbang bebas di angkasa, menandakan kemerdekaan manusia sebagai pribadi, tidak terbebani oleh kepentingan-kepentingan yang remeh. Bahkan, burung sebagai manifestasi makhluk yang sangat pasrah dengan Tuhan, mencari makan dengan secukupnya dan terbang bebas kemanapun pergi. Sedangkan, ungkapan al-‘uryan, makna harfiahnya telanjang. Yakni, jiwa manusia yang tidak memiliki apapun selain keterpautan dengan Allah.

Pemakaian tamsil burung, dalam catatan Hadi WM (2013), menjadi simbol bagi jiwa yang telah mengalami penyucian diri (tazkiyatun nafs). Dalam ungkapan Braginsky (1993) terilhami oleh alegori Fariduddin Atthar yang menulis karya penting: Manthiq at-Thair (Musyawarah Burung). Dalam hal ini, Nur Muhammad merupakan konsep sufistik tentang hakikat kejadian, yang sering ditransformasikan dari penanda cahaya berkilauan dan mutiara menjadi burung pingai, yang memberikan kesan keindahan dan keanggunan. Hikayat Kejadian Nur Muhammad merekam simbol-simbol ini (Edwar Djamaris, 1990).

Pesan sufistik Syaikh Hamzah Fansuri, terungkap dalam ‘Sidang Ahli Suluk’ Bagian I, Bait 9.

“Hapuskanlah akal dan rasamu,

Lenyapkan badan dan nyawamu

Pejamkan hendak kedua matamu

Di sana, kulihat permai rupamu”

Syaikh Hamzah Fansuri menulis beberapa kitab tentang tasawuf, berupa puisi-puisi Melayu Klasik. Ada tiga karangan yang menjadi referensi pemikiran sufistik Syaikh Hamzah Fansuri. Pertama, Syarab al-‘Asyiqin, pedoman sistematis dan ringkas bagi pemula untuk berkelana menuju jalan Tuhan.

Kedua, kitab berjudul Asrar al-Arifin. Ikhtiar tasawuf untuk pembaca level menengah, dengan pengetahuan yang lebih tinggi. Ketiga, kitab al-Muntahi, yang memberi tafsiran atas hadist “Barang siapa mengenal dirinya sendiri, maka akan mengenal Tuhannya,” . Dalam puisi-puisinya, Syaikh Hamzah Fansuri menulis secara sederhana, mudah difahami, dan ekspresif.

Dalam pandangan Hamzah Fansuri, puisi-puisinya menjadi media untuk berdakwah sekaligus menebar cinta, menebar kebahagiaan hidup. Estetika sufi yang berdasarkan cinta (isyq) dan cinta menjadi tema sentral sastra sufi. Kitabnya yang berjudul Syarab al-‘Asyiqin, menjadi penyuluh jalan untuk mencari keheningan menuju Tuhan. Syarab al-‘Asyiqin dimaknai sebagai ‘minuman pecinta’. Minuman yang paling memabukkan, dalam ungkapan Hamzah Fansuri, yakni anggur tauhid, mereguk kenikmatan cinta kepada Allah.

Peneliti sastra Indonesia, A Teew menyebutkan bahwa ada tiga corak puisi Hamzah Fansuri. Pertama, individualitas, puisinya tidak anonim seperti biasa terjadi dengan sastra Melayu lama. Syaikh Hamzah Fansuri mengungkapkan pribadinya sepadu dengan karyanya, tidak hanya dalam kolofon namun juga dalam narasi puisinya. Ia memadukan namanya sebagai pengarang dengan kepribadian dan moral dalam puisinya.

Kedua, Hamzah Fansuri menciptakan bentuk puisi baru untuk mengungkapkan gerak sukmanya. Hal ini berdampak pada perkembangan puisi di Indonesia pada abad ini, dengan penciptaan Soneta oleh penyair pada tahun 1920-an. Ketiga, Hamzah Fansuri menggunakan bahasa-bahasa kreatif dalam syairnya. Ia menggunakan kata-kata Arab yang sangat menonjol, dalam imajinasi puitiknya.

Semasa hidupnya, Hamzah Fansuri suka menjelajah dan melakukan perjalanan panjang ke penjuru Nusantara dan Tanah Arab. Jejak perjalanannya, antara lain: Pahang, Ayttuhaya, Mughal India, Makkah, Madinah dan Baghdad. Ketika Hamzah Fansuri berkelana ke Mughal India dan Farsi, ia menyerap pengetahuan tentang Wahdatul Wujud, yang bersumber dari pemikiran Ibn ‘Arabi yang lahir dari peradaban Andalusia. Ketika bermukim di Aceh pada akhir abad 16, Hamzah Fansuri mengajarkan paham Wahdatul Wujud. Pada masa itu, Aceh menjadi pusat peradaban Nusantara, kekuasaan politik, dan lingkaran kerajaan Islam menggantikan Malaka yang diserang Portugis pada 1511.

Namun, ketika di Aceh, Hamzah Fansuri mendapat kritikan keras dari Nuruddin al-Raniri. Bahkan, beberapa kelompok mengusulkan Hamzah Fansuri untuk dibunuh dan dibakar beserta karyanya. Dari jejak ini, puisi-puisi Hamzah Fansuri tidak banyak terlihat dalam karya Nusantara sebagaimana Hikayat Aceh (Ooi Keat Gin, 2004: 561-562). Belum banyak karya yang melampaui dan mendahului syair Hamzah Fansuri. Dalam analisa Syed Naguib al-Attas, syair Hamzah Fansuri dianggap berasal dari ahli mistik Sumatera abad 16 (Siti Hawa Haji Saleh: 123, al-Attas, 1970: 322).

Dalam catatan Jodhi Yudono (2013), ada empat versi makam Hamzah Fansuri. Versi pertama, beliau dimakamkan di Desa Oboh, Kecamatan Runding, Kota Subulussalam, berjarak 14 kilometer dari Subulussalam, Aceh Selatan. Versi kedua, makamnya terletak di Desa Ujung Pancu, Kecamatan Pekan Bada, Aceh Besar. Dalam kisah yang diwariskan kepada generasinya, Syaikh Hamzah Fansuri pernah bermukim di kedua kawasan tersebut. Sedangkan, makam lainnya, terletak di Langkawi, Malaysia serta di Makkah. Perbedaan versi dalam penyebutan lokasi makam, menunjukkan betapa Syaikh Hamzah Fansuri dikenal oleh khalayak luas, dengan kecintaan mendalam pada sosoknya.

Bagi tradisi Islam dan sufisme Nusantara, Hamzah Fansuri merupakan jembatan untuk menautkan peradaban Nusantara dengan jaringan Islam di Arab dan Eropa. Syair-syair Hamzah Fansuri menjadi ekspresi sufistik, betapa denyut nadi dan gairah spiritualnya terpadu dengan kiasan-kiasan tentang budaya dan politik Nusantara. Inilah jejak panjang Syaikh Hamzah Fansuri dalam peradaban Islam Nusantara [].

 

*Munawir Aziz, peziarah dan peneliti, menulis dan mengedit beberapa buku tentang Kajian Islam Nusantara, Aktif di Gerakan Islam Cinta, disapa via @MunawirAziz.